Tirani Ibu Mertua

"Bim, sepertinya, Niken ibu bawa pulang saja ke Jakarta. Laras ikut bersama ibu saja." Ucap Bu Lusi di ruang tamu usai kembali dari kediaman Bima memperingati 40 hari kematian Pak Widodo.

"Tapi, Bu, Niken masih pengobatan di sini."

"Di Jakarta juga banyak dokter yang bagus. Nanti ibu akan Carikan yang terbaik untuk Niken."

Sahut Bu Lusi sambil duduk.

"Maafkan atas perlakuan Ibu pada Niken."

Bima tertunduk sedih.

"Jika dulu, Ibu menyadari, Ibumu akan memperlakukan Niken seperti ini, ibu...."

Bu Lusi menitikkan air matanya perlahan karena sedih dan kecewa.

"Maafkan Ibu Saya, dan saya yang belum bisa mendamaikan Ibu dengan Niken."

Bima memegang punggung tangan Bu Lusi, dengan penuh penyesalan.

"Bim, Niken tidak pernah menceritakan ini semua pada Ibu. Apalagi pada kakaknya. Jika, Bagas tahu, dia akan sangat marah, dan langsung membawa Niken pergi dari sini. Tapi, Ibu tahu, Niken masih memiliki harapan bahwa ibumu mau menerima dia, sekali pun, bukan dia. Paling tidak Laras. Tapi, Laras pun tidak diterima baik oleh ibumu." Bu Lusi menggeleng dengan sedih.

"Maafkan saya, Bu. Bima janji, akan menjaga Niken dan Laras, apapun yang terjadi. Bapak yang dulu bisa meyakinkan, Niken untukenikah dengan saya. Bapak juga yang selalu mau menerima Niken apa adanya. Bahkan, Bapak lah yang selalu bisa meredam amarah Ibu terhadap Niken." Bima menerawang mengingat kenangan akan Pak Widodo.

"Bapakmu itu orang yang baik. Niken selalu mengagumi, Bapakmu, dia selalu merindukan figur seorang ayah selama ini. Lalu, dia bertemu dengan kamu dan Bapakmu. Meski perlakuan ibumu tidak baik padanya, Niken masih mengingat kebaikan Bapakmu, Bima. Tapi, sekarang, Bapakmu sudah tidak ada. Niken juga keadaannya seperti itu. Alangkah baiknya, Niken, ibu bawa ke Jakarta saja. Supaya, kamu bisa fokus bekerja di sini. Baik pekerjaannyamu, mau pun pabrik."

Bu Lusi menatap Bima dengan tatapan tajam, namun lembut.

"Sudahlah, sudah larut malam, ibu mau tidur dulu. Kamu istirahat saja dulu."

Bu Lusi beranjak dari tempat duduknya, dan masuk ke kamar Laras, untuk tidur.

Bima beranjak, dari kursinya, lalu mengunci pintu rumah, lalu menuju kamar.

Niken telah terbaring di ranjang sambil memunggungi Bima.

"Aku mendengar semua pembicaraanmu dengan ibu." Niken membalik tubuhnya, dan dengan susah payah berusaha untuk duduk bersandar sandaran tempat tidur.

"Niken, sudahlah, tidur saja. Nggak usah memikirkan ucapan ibumu. Aku akan berusaha sekuat tenaga menjaga dan membela kamu. Kamu adalah istriku. Dan Laras adalah puteriku."

"Tapi, kamu bakal kerepotan, Mas. Aku juga berkali kali memikirkan hal ini. Tapi, selama ini, aku masih berusaha bertahan, untuk menjalani ini semua bersamamu, Mas. Tapi, sejak malam tadi, ibumu bahkan menolakmu dan menganggap aku tak ada. Bukan hanya diriku, tapi Laras. Laras cucunya sama sekali tidak dapat diterima oleh ibumu, Mas. Salah apa anak kita, Mas?"

Tutur Niken sambil mengusap air matanya.

"Jadi, kamu ingin pergi ikut ibu? Meninggalkan aku sendiri, menghadapi semua ini."

Bisa menggelengkan kepalanya, lalu duduk di tepi ranjang.

"Aku tak tahu, Mas. Keadaanku terkadang tidak stabil. Tapi, aku tidak ingin menyusahkan dirimu untuk mengurusku."

"Aku mencintaimu, Niken. Menerima kamu dalam keadaan apa pun. Kamu ingat, saat awal dulu kita menikah, dan tinggal kost di Jakarta. Kamu mau menjalani semua denganku. Lalu, saat aku mendapatkan tawaran pekerjaan di Yogya, kamu juga mau mengikuti. Bahkan merelakan karirmu. Kamu mau membantu Bapak, di pabrik dengan gaji yang jauh lebih rendah saat di Jakarta dulu. Menghemat, dan kita menjalani ini semua. Menghadapi ibu bersama."

Bima menatap Niken, yang masih tertunduk sedih.

"Tapi, aku cacat, Mas. Benar apa kata ibumu. Apa yang bisa aku lakukan? Aku istri yang cacat, tidak bisa berbakti pada suami dan keluargaku."

Bima memeluk Niken.

"Ssstttt... Kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Yakinlah, kamu pasti sembuh, dan kita bisa melewati ini semua."

Bima mengelus punggung istrinya dengan lembut.

"Tidurlah! Besok jadwal terapi lagi, kan?"

Niken mengangguk pelan.

Lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur, dibantu oleh Bima.