Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Begitu Asing
Dari kejauhan Naren dapat melihat Shanaya yang begitu fokus memperhatikan sesuatu di layar laptop. Kecantikan wanita itu bertambah berkali-kali lipat hari ini di mata Naren. Bagaimana tidak, Shanaya tampak serius dengan kacamata di wajahnya.
Rasanya Naren tidak ingin menganggu fokus wanita baik itu, tetapi ia juga harus membawa titipan ibunya.
Naren tersenyum saat Shanaya menyadari keberadaanya di balik dinding kaca transparan. Wanita itu berdiri dan menyambutnya.
"Hay anak-anak ganteng," sapa Shanaya pada kedua putra Naren.
"Naresa memang ganteng seperti ayah, Tante," jawab Naresa terlalu pede dan dibalas kekehan kecil oleh Shanaya.
"Tante punya es krim dan beberapa cemilan loh. Tadi tante belinya kebanyakan," celetuk Shanaya berjalan ke sudut ruangan untuk mengambil paper bag cukup besar.
"Buat Naresa dan Darian," ujar Shanaya yang tidak pernah luput dari perhatian Naren yang masih berdiri di dekat pintu.
"Duduk Ren."
Naren mengangguk dan segera duduk di sofa empuk, sedangkan anak-anaknya mulai fokus pada pemberian Shanaya usai mengucapkan terimakasih.
"Ada apa mencariku?" tanya Shanaya.
"Mau memberikan titipan dari Ibuk. Katanya ucapan terimakasih karena sudah merawat aku di rumah sakit."
"Terimakasih dari kamu apa?"
"Itu ...." Naren seketika menjadi gugup, benar juga dia hanya membawa titipan ibunya, padahal yang dirawat adalah dirinya.
"Aku bercanda Naren. Aku ikhlas merawat kamu. Lagian waktu itu aku nggak sibuk-sibuk banget." Shanaya tertawa melihat ekspresi Naren.
"Tetap saja harus berterimakasih bukan?"
"Nggak harus kok." Shanaya melirik paper bag yang masih Naren genggam. "Kok titipan tante belum diberikan sih? Atau jangan-jangan kamu lebih mau sama isinya?" Lagi sebuah candaan keluar dari mulut Shanaya.
"Aku hampir lupa." Naren segera menyerahkan titipan ibunya.
Ia memperhatikan Shanaya yang tampak antusias menerima pemberiannya. Seolah sangat berharga padahal isinya hanya kue kering.
Mengenal Shanaya sejak bangku kuliah, baru kali ini Naren menyadari bahwa sikap dan wajah Shanaya sangat berbanding terbalik.
Jika diam atau mengerjakan sesuatu orang mengira Shanaya sedang marah dan tipe orang yang galak. Padahal jika sudah dekat wanita itu penuh kehangatan dan hati yang baik.
"Kamu baik ke semua orang?" tanya Naren akhirnya.
"Iya, tapi sama kamu agak dilebihin dikit."
"Kenapa?"
"Mungkin aku suka sama kamu," gumam Shanaya masih fokus pada kue kering di dalam toples. Wanita itu sibuk memotret dengan angel berbeda.
"Di lihat dari usaha dan sikapmu, sepertinya kamu suka banget sama anak-anak. Kenapa sampai sekarang belum menikah?" tanya Naren seolah tidak mendengar gumaman Shanaya. Ia tidak ingin suasana menjadi canggung.
"Belum nemu yang cocok. Tapi kalau kamu mau aku siap kok, apalagi bonus anak-anak lucu."
"Ternyata kamu suka bercanda." Naren tertawa kecil. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya, ternyata sudah jam 7 malam.
"Sebagai rasa terimakasihku, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Kebetulan Nares dan Darian belum makan."
"Boleh banget."
....
Seperti ajakan Naren, mereka akhirnya makan malam bersama di sebuah restoran yang tidak terlalu mewah. Mereka tampak terlihat seperti keluarga kecil yang sangat sempurna. Terlebih sejak tadi Shanaya terlalu antusias berbicara dengan anak-anak Naren.
Membuat seorang wanita yang telah melahirkan anak-anak tampan itu merasa sakit hati. Apa yang dia miliki dulu seolah direbut oleh temannya sendiri. Naren pun tersenyum hangat dan sesekali menatap Shanaya sehingga api cemburu semakin membakar jiwanya.
Apa yang pernah dia buang terlihat sangat bersinar sehingga ia menyesal telah membuangnya. Nadira ingin mengambilnya kembali, tetapi tidak punya kesempatan lagi.
"Bengong terus dari tadi. Kalau nggak bisa kerja keluar, menyusahkan," omel rekan kerjanya membuat Nadira tersadar dari lamunan. "Nih antar ke meja 9."
"Iya." Nadira menerima troli berisi makanan lezat. Mendorongnya menuju meja 9. Langkahnya memelan menyadari meja yang hendak ia tuju adalah meja Naren.
Nadira mengambil napas panjang, memejamkan matanya sejenak sampai akhirnya memberanikan diri mendekat. Ia harus membuang rasa malunya menjadi pelayan di sebuah restoran agar bisa hidup dengan baik. Dan bertemu Naren di situasi seperti ini tidak pernah ia bayangkan dalam hidupnya.
"Ibu?" seru Darian, membuat Naren dan Shanaya langsung menoleh.
"Ayah, kok ibu ada di sini? Katanya ibu ada di rumah," protes Naresa.
Sedangkan Nadira sendiri masih fokus menghidangkan makanan di atas meja tanpa menyahuti panggilan anak-anaknya. Yang lebih menyakitkan lagi, Naren menatapnya tanpa menyapa sedikitpun.
"Selamat menikmati," ujarnya dengan suara serak. Setelah itu berlalu ke kamar mandi.
Nadira menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar mandi. Menepuk dadanya yang terasa sesak menyadari Naren tidak lagi seperti dulu. Air matanya terus berjatuhan mengingat sikap Naren yang seolah tidak mengenalinya.
Sakit rasanya melihat pria yang dulu sangat mencintainya, memperjuangkan dia mati-matian tampak acuh.
"Aku tahu aku salah, tapi kenapa secepat ini kamu melupakanku mas?" lirih Nadira dengan suara seraknya.
Rasanya tagisan saja tidak membuat luka dihatinya mengering. Ia ingin Narennya kembali seperti dulu, dia berjanji akan berubah dan menjaga rumah tangganya.
Nadira terus menangis di dalam kamar mandi, sedangkan Naren sendiri menikmati makan malam seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ibu kok nggak muncul lagi ayah?" tanya Naresa dan Darian.
"Mungkin ibu sibuk, nanti kita temui ibu. Sekarang ibu lagi kerja jadi nggak boleh diganggu," jawab Naren.
"Darian mau tambah dagingnya nggak?" tanya Shanaya melihat Darian sangat lahap.
"Mau tante." Darian mengangguk.
Makan malam mereka berjalan sangat lancar bahkan setelah kedatangan masa lalu Naren. Selain pria itu dapat mengendalikan dirinya, Shanaya pun tidak terlalu ikut campur apalagi bertanya hal pribadi sehingga tidak merasa canggung sepanjang makan malam.
"Shanaya apa kamu nggak papa kalau pulang sendiri?" tanya Naren hati-hati.
"Nggak apa-apa."
"Maaf."
"Santai saja Naren, aku bisa naik taksi kok." Shanaya tersenyum, tidak lupa melambaikan tangan pada anak-anak Naren yang sudah berada di dalam mobil.
Setelah kepergian Shanaya, Naren pun masuk ke mobil. Duduk di sana sambil menyadarkan tubuhnya pada jok. Dia tidak mengantar Shanaya pulang sebab akan menunggu Nadira selesai dengan pekerjaanya.
Naren tidak tega membuat anak-anaknya menahan rindu pada sang ibu hanya karena masalahnya. Dia tidak boleh egois sebagai seorang ayah.
Jam dan menit terus berlalu hingga tidak terasa pukul 10 malam. Tidak lama ia melihat mantan istrinya keluar dari restoran.
Naren turun dari mobil, mengikuti langkah Nadira yang hendak ke pinggir jalan.
"Nadira," panggil Naren.
Naren tersenyum melihat Nadira berbalik, tetapi tidak berlangsung lama menyadari mata wanita itu bengkak seperti habis menangis. Ia berjalan semakin dekat sampai jarak mereka hanya satu langkah. Ia terkesiap saat mentan istrinya itu langsung memeluk dan menangis sejadi-jadinya.
.
.
.
.
.
.
Ini Naren kalau luluh kebangetan sih
udah kmu sm shanaya aja aku dukung pake bgtttt😄
tapi jangan Leona deh orang tuanya konglomerat takut Nanti Naren nya juga minder
dan takutnya orang tua Leona ga mau menerima anak2 Naren
jadi sama shanaya aja
semoga Naya juga sayang anak2 Naren