Zhavira adalah seorang gadis yang manja. Dibesarkan oleh ayahnya seorang diri setelah mamanya pergi entah kemana.
Kehidupan zha berubah total ketika ayahnya meninggal, terutama setelah seorang pria datang dan mengambilnya atas wasiat sang ayah. Pria bernama Edo Lazuardo itu mengemban amanat untuk mengurus zha setidaknya hingga ia dewasa.
Zha merasa hidupnya terkekang bersama Om bekunya, dan selalu saja ada masalah diantara mereka berdua. Apalagi dengan jarak usia yang cukup jauh untuk saling mengerti satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan tidak, tapi belum
"Kak Van! Kok gitu? Dya ngga suka," kesal lidya yang melihat pujaan hatinya justru membela zha.
Ya, lidya suka zavan sejak pria itu pindah sekolah di semester satu hingga saat ini mereka akan tamat. Tapi pria itu dingin, dan tak pernah menimpali atas apa yang lidya beri. Ia lebih banyak diam, tukang bolos, dan sering berkelahi jika ada sesuatu yang tak ia sukai.
"Jika tak suka, pulanglah." Van membalas Dya dengan nada datarnya. Gadis itu hanya mendengkus kesal, mengepalkan tangan dan menghentakkan kakinya dengan kuat dilantai.
"Dinda ikut, biar kita samaan." Gadis itu meraih spidol ditangan zavan dan mulai menotol pipinya dengan tinta hitam yang ada.
Zha tersanjung melihat pengorbanan keduanya, bahkan spontan zha memeluk dinda dengan rasa haru yang dimilikinya. Berharap dinda memang tulus ketika bershabat dengannya saat ini.
Bel kemudian berbunyi. Zavan kemudian pamit meninggalkan zha untuk kembali ke kelasnya. Ia berjalan dengan santai meski semua menatap kenehan wajah tampan itu saat ini. Apalagi sang guru yang pasti akan mengomel lagi, seperti miss lola yang tengah memarahi dinda dan zha didalam kelasnya.
"Dinda! Ngapain muka kamu begitu? Jangan buat ulah kamu ya," omel miss lola padanya. Tapi zha membela, dan miss lola diam ketika bicara.
"Maaf, Miss. Dinda hanya menghibur zha tadi,"
"Oh... Baiklah kalau begitu. Istirahat nanti usahakan spidol itu lepas dari muka! " titah miss lola dengan wajah garangnya.
Dinda dan zha mengangguk. Kekompakan mereka terhenti begitu saja, mungkin zavan disana juga tengah dimarahi oleh wali kelasnya. Tapi tak apa, setidaknya hati zha tak segalau tadi saat ini.
"Kamu itu sudah dewasa, Zavan. Kamu itu sudah Dua puluh tahun sekarang, tapi masih saja berkelakuan_"
"Karena saya masih SMA. Jadi, saya hanya menyesuaikan diri saat ini. Tak salah, bukan?" potong zavan pada ucapan miss nana-wali kelasnya. Wanita paruh baya itu hanya bisa menahan emosi dengan menggigit bibir dan menggelengkan kepalanya, dan ia bahkan sudah kehabisan kata-kata untuk siswa tertua yang ada didepan matanya saat ini.
Jika bukan karena ayah zavan adalah salah satu donator terbesar di Yayasan, mungkin juga ia sudah akan didepan dari sekolah itu untuk kesekian kalinya setelah hampir sepuluh kali pindah sekolah selama hidupnya. Yang mana zavan juga pernag cuti dna tak ingin bersekolah lagi selama dua tahun kala itu.
Zavan juga bersikukuh untuk tak melepaskan tint aitu dari wajahnya hingga ia pulang sekolah, dan bahkan menantang sang wali kelas untuk memanggil mamanya kesana. Tapi, miss dona tak akan melakukannya kali ini. Ia hanya akan melapor pada mama zavan untuk menasehati, meski itu semua juga tak akan begitu berarti.
Hingga saat istirahat tiba, zavan Kembali masuk ke kelas zha. Saat itu melihat dinda telah bersih dari spidol dan melihat raut penyesalan diwajahnya."Maaf, Kak Van..." lirihnya tertunduk lesu didepan pria tampan itu.
"Ke kantin yuk," ajak Van mengalihkan kesedihan mereka berdua. Tapi zha menolak karena masih malu dengan wajah yang mungkin akan membuat jijik semua orang disana nantinya. Untung van dan dinda kompak terus memnujuk dan mendukungnya hingga keluar dan berjalan bersama menuju kantin kesukaan mereka.
Zha duduk dipinggir, di balkon agar ia bisa melihat pemandangan disana. Dan juga wajahnya sedikit gatal, hingga terpaan hangat sinar matahari sedikit dapat meringankan rasa gatal yang Ia rasakan saat ini. Sedangkan zavan tengah memesan makanan untuk kedua gadis yang tengah bersamanya. Hal itu sontak membuat siswa lain tercengang dengan perubahan tingkah laku zavan yang sudah mereka pahami selama ini.
"Dia... Kenapa?" tanya salah seorang siswa yang ternganga melihat tingkahnya. Tapi semua hanya menggelengkan kepala, dan sama sekali tak berani menegur atau bahkan lanjut membicarakannya.
"Kak Van, mukanya jelek." Lidya datang dengan sebuah tisu dan mencoba meghapus noda diwajah tampan itu, namun van segera mencekal tangannya.
"Kak van kenapa? Kakak jadi omongan orang disana, Dya ngga rela!!"
"Kau bukan siapa-siapaku. Selama aku belum menghapusnya, maka taka da orang lain yang bisa." Tatapan zavan begitu tajam, hingga Dya mundur beberapa langkah dengan segala rasa nyeri dalam hatinya.
**
"Bagaimana zha hari ini?" tanya Om edo pada seseorang yang ada disana, dan ia segera melaporkan zha dengan segala kegiatannya disekolah. Dan bahkan, dengan persahabatan barunya yang mulai dekat dengan beberapa orang disana.
Tak hanya itu, bahkan om edo juga mempertanyakan siapa saja yang dekat dengan zha saat ini disekolahnya. Hanya saja, pelapor tak menyebutkan zavan secara lengkap pada bosnya. Ia hanya menyebut seorang teman pria yang juga dekat dengan temannya yang Bernama dinda. Entah, apa yang membuat pelapor itu tak menyebutkan identitas zavan secara lengkap pada om edo saat itu. Tapi om edo juga tak begitu menaruh kecurigaan padanya.
"Taka ada gejala tentang alerginya?" sambung om edo dengan pertanyaannya.
"Tidak, tuan... Zha tampak sehat meski bintik diwajahnya belum hilang semua,"
"Baik, terus awasi dia." Om edo segera menutup telepon itu dan melanjutkan segala pekerjaan yang ada.
Begitu banyak, apalagi ia sempat cuti meski hanya beberapa hari belakangan ini. Ia sedang tidak disarankan ke tambang, karena disanalah traumanya berasal. Dan meski harus dilawan, mereka semua hanya takut jika justru akan bertambah parah dan bisa membahayakan nyawa bos mereka
"Tuan, sebentar lagi kita ada pertemuan dengan Pt. Antareksa. Dan kita akan membahas mengenai alat berat untuk tambahan armada kita di tambang kedua," ucap sang sekretaris padanya.
Om edo hanya mengangguk, lalu bersiap pergi menggunakan jasnya. Perjalananan kali ini om edo bersama Om jek sebagai supirnya, karena mereka tak mau om edo menyetir sendirian terlalu jauh. Mereka semua benar-benar menjaga bosnya agar tak Kembali dengan trauma dan rasa sakitnya.
Pertemuan dilaksanakan disebuah restaurant sembari makan siang bersama. Mereka melakukan pembahasan sesuai dengan apa yang dijadwalkan dalam materi mereka sebelumnya.
"Saya turut berduka cita atas meninggalnya pak seto," ucap rekan kerja om edo disela istirahat mereka.
"Ya, kita semua kehilangan, Tuan. Apalagi saya, yang memang begitu dekat dengannya. Yang bahkan, beberapa orang menganggap saya kelainan menjalin cinta dengan sahabat pria saya sendiri." Om edo tersenyum kecil ketika mengingat semua kenangan itu. Dan andai zha melihatnya, pasti ia akan sangat terkesima.
Tak hanya om edo, bahkan Pak Burhan yang menjadi koleganya saat itu tertawa sekeras kerasnya. Ia terkekeh mengingat hot news yang sempat menggemparkan dunia mereka berdua, yang bahkan nyaris beberapa kolega memboikot bisnis bersama perusahaan om edo akibat adanya berita itu. Apalagi didukung, dengan kegagalan pernikahan yang sempat terjadi.
"Tapi, sepertinya akan sulit menepis semuanya jika Pak edo masih betah melajang hingga sekarang. Apakah benar-benar belum ada gambaran pasangan?"
"Ya, bukannya tidak... Hanya belum," jawab Om edo sembari menyeruput kopi yang ada ditangannya saat ini.