NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Kandungan

Rahasia Di Balik Kandungan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Romansa
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Leel K

Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5. Aku Benci Perasaan Ini

Lantai marmer yang dingin terasa membekukan punggung Claire yang tak sadarkan diri. Cahaya pagi yang samar, menyusup melalui celah gorden ruang tamu yang belum sepenuhnya dibuka, menciptakan garis-garis terang di wajahnya yang pucat. Beberapa saat kemudian, suara panik dan langkah kaki tergesa memecah keheningan penthouse. Perlahan, kesadarannya mulai kembali. Ia samar-samar mendengar suara panik Samuel memanggil namanya.

“Nyonya!” Suara Samuel terdengar memecah kebingungan di kepala Claire. Pria itu segera berlutut di samping tubuh Claire yang terkulai lemas di lantai.

Pendengaran Claire semakin jelas. Setelah namanya dipanggil beberapa kali, ia mendengar Sekretaris Sam menghubungi seseorang dengan suara cemas. Lalu tak berselang lama kemudian ia mendengar suara Aaron. Langkah kakinya terdengar tenang, mantap, semakin dekat ke arahnya. Suaranya terdengar pelan dan terkontrol, tanpa nada terkejut yang kentara, kontras dengan kepanikan Samuel.

“Kenapa tidak mengangkatnya ke kamar?” tanya Aaron, suaranya jelas terdengar oleh Claire meskipun matanya masih berat untuk terbuka.

Entah apa yang dikatakan Sekretaris Sam sebagai jawaban, Claire kemudian merasakan tubuhnya berada pada tangan lain, diangkat dengan hati-hati, didekap dengan erat namun terasa lembut. Ia mencium aroma parfumnya—aroma maskulin yang sangat familiar—yang entah mengapa, secara perlahan, meredakan kegelisahannya dan memberinya sedikit rasa aman.

Tubuhnya diangkat, dibaringkan di tempat yang lebih nyaman—tempat tidur di kamarnya. Claire mengerahkan tenaga untuk membuka matanya lagi. Ia berhasil, dan melihat siluet Aaron duduk di sisi tempat tidur, di sebelahnya. Ia bisa melihat punggung lebarnya yang terbalut jas dan profil sebagian wajahnya yang buram di bawah cahaya.

“Kenapa masih belum sampai?” Aaron bertanya lagi, suaranya terdengar tidak sabar.

Claire menggerakkan jari-jarinya di atas selimut. Dorongan kuat untuk meraih pria itu muncul saat jarak mereka begitu dekat, saat kehangatannya terasa nyata di dekatnya. Tangannya terulur lemah. Ah... aku memegang tangannya.

Senyum kecil, nyaris tak terlihat, terukir di bibir Claire. Ia merasakan kehangatan tangan Aaron yang kini melingkupi jemarinya. Namun hal yang lebih membuatnya tenang—sangat tenang—ialah fakta bahwa Aaron tidak menepis tangannya. Perasaan aman itu kembali membuatnya terlelap.

“Direktur, dokter sudah sampai,” kata Samuel dari ambang pintu. Di belakangnya, dokter pribadi Aaron, Dr. David Sterling, muncul dengan tas medisnya, tampak tergesa-gesa.

“Cepat periksa keadaannya,” perintah Aaron, suaranya tegas dan mendesak.

David bergegas mendekati wanita yang terbaring di atas tempat tidur. Ketika hendak memeriksa, matanya menangkap tangan Nyonya Silvan yang berpegangan rapuh pada tangan direktur—hanya jari-jarinya yang tersangkut di antara jari manis dan kelingking direktur.

David menatap bingung, kemudian mengangkat pandangan ke arah direkturnya, namun ternyata sudah ditatap lebih dulu dengan dingin oleh Aaron. Tatapan itu membuat David bergidik.

“Direktur, sa-saya akan memeriksa Nyonya,” ucapnya gugup, buru-buru mengalihkan pandangan.

“Aku tidak membayarmu hanya untuk berdiri di sana,” balas Aaron, suaranya sinis dan tajam.

David meneguk ludah, gelisah. Bagaimana caranya membuat direkturnya yang protektif ini pindah sebentar agar dia punya ruang untuk memeriksa sang nyonya dengan leluasa?

“Pergi ke sisi lain, cepat!” Suara Aaron meninggi.

David dan Samuel tersentak kaget. David dengan cepat melompat pergi ke sisi lain tempat tidur.

Sementara itu, Aaron memandang wajah pucat Claire. Ia melihat betapa lesunya wanita itu sekarang, sangat berbeda dengan pagi ini—sebelum ia meninggalkan penthouse—saat senyum cerah itu terukir di wajahnya. Perlahan pandangannya turun di atas jemari lentik wanita itu yang tersangkut di jarinya.

Sesaat tadi, begitu Claire meraih jarinya, terbesit keinginan kuat dalam diri Aaron untuk menarik tangannya, melepaskan diri dari sentuhan itu. Namun sebuah keengganan aneh yang tak terjelaskan menahannya, bahkan hingga detik ini, membuat jari-jemari mereka tetap terpaut lemah.

Ingatannya kembali pada pagi ini. Claire yang tersenyum cerah padanya di dapur, tanpa sedikit pun jejak kesedihan tadi malam di wajahnya. Claire yang berjalan terburu-buru ke arahnya, membawa nampan berisi sarapan sederhana hanya agar dia mau makan sesuatu buatannya. Lalu Claire yang menunduk diam saat kata-kata kasarnya meluncur begitu saja dari bibirnya.

Perasaan aneh—campuran kekesalan, sedikit keheranan, dan sesuatu yang lain—menyusup di hatinya. Sesuatu yang ia kenal, namun enggan untuk ia akui keberadaannya. Aaron menghela napas berat. Aku benci perasaan ini.

Kembali ia memandang wajah Claire. Wajah wanita yang kini menjadi istrinya, namun sedang mengandung anak mendiang kakaknya. Wanita yang tampak begitu mencintai Benjamin, namun entah mengapa kini berusaha meraih hatinya, membuat segalanya semakin rumit.

Benjamin, batin Aaron getir, sang pembuat masalah. Dan Claire, pembawa masalah itu padaku. Mereka berdua seolah ditakdirkan untuk merumitkan hidupnya, bahkan dari balik kubur.

...****************...

Ketika Claire sadar kembali sepenuhnya, ia menemukan dirinya seorang diri di dalam ruangan itu—kamar tidurnya—dengan infus yang terpasang di tangannya. Udara terasa lebih segar dan tenang dibandingkan lantai marmer dingin sebelumnya.

Tak lama setelah ia bangun, pintu diketuk pelan, lalu seorang pria berjas putih masuk ke dalam. Wajah Dr. David Sterling, dokter pribadi Aaron.

"Bagaimana perasaan Anda, Nyonya?" tanyanya ramah, suaranya lembut.

Claire hanya diam menatapnya. Pikirannya masih agak berkabut.

"Perkenalkan, saya David Sterling," dia membungkuk hormat. "Dokter pribadi Tuan Aaron."

"Di mana Aaron?" tanya Claire, suaranya lemah dan sedikit kecewa.

"Direktur sedang berada di perusahaan, Nyonya. Beliau ada rapat yang sangat penting siang ini," jawab David, berusaha terdengar profesional.

Claire menghela napas, jelas menunjukkan kekecewaannya. Ia berpaling muka kemudian, menoleh ke arah dinding kaca kamarnya yang menunjukkan pemandangan langit sore dengan gedung-gedung yang tampak bercahaya jauh di sana.

"Anda mengalami dehidrasi parah dan sedikit tanda depresi," kata dokter, menyampaikan diagnosisnya dengan nada hati-hati. "Ditambah dengan kondisi kehamilan Anda, Nyonya perlu istirahat total dan menghindari stres." 

Claire tidak menggubris sepenuhnya, hanya diam sambil terus menatap ke arah luar jendela. Dokter kemudian meminta izin dan keluar dari kamar itu, memberi ruang bagi Claire.

"...Aku haus," gumamnya beberapa saat kemudian, suaranya begitu pelan, hampir tak terdengar.

Belum setengah menit ia mengatakan hal itu, pintu kamar kembali terbuka dan Dr. David muncul lagi, kali ini membawa segelas minuman dan teko kaca air. Wajahnya tampak sedikit... tergesa-gesa?

"Silakan, Nyonya," kata David, meletakkan gelas di meja nakas di samping tempat tidur.

Claire tertegun melihatnya sejenak. Secepat itu? 

Ia berusaha bangun untuk minum, menggeser tubuhnya. Ketika David hendak membantu Claire duduk, Claire secara reflek menepis tangan David.

Ah… Claire yang sadar apa yang telah dia lakukan juga ikut terkejut dengan refleksnya sendiri. David menarik tangannya, ekspresinya sedikit terkejut tapi cepat kembali normal. 

"Maaf," ucap Claire, suaranya lirih. 

David sedikit membungkuk, "Tidak, Nyonya. Sayalah yang semestinya meminta maaf karna sudah lancang." Ia lalu menambahkan, "Silahkan lakukan senyaman Anda."

Claire tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia membenarkan duduknya perlahan, mencari posisi yang nyaman tanpa bantuan, lalu meraih gelas air.

"Kalau begitu, saya akan berada di luar jika Anda membutuhkan sesuatu, Nyonya," kata David, beranjak menuju pintu.

Claire hanya mengangguk pelan sambil minum. Pikirannya kini tertuju pada Aaron. Ia teringat bahwa ia sempat memegang jari pria itu sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya.

Melihat tangannya yang telah memegang Aaron, ia sedikit mengangkatnya di udara, memandanginya. Kehangatan itu, rasanya masih menempel di sana. Ia merindukannya.

Claire hendak turun dari tempat tidur dengan susah payah. Dan pintu kamarnya terbuka lagi—untuk ketiga kalinya dalam waktu singkat—Dr. David datang lagi, kali ini dahinya sedikit berkeringat seperti seseorang yang baru saja terburu-buru datang.

"Akan saya bantu," ucapnya mendekati Claire, tampaknya ia kembali menerima instruksi.

Claire menggeleng pelan, mengibaskan tangan di udara sambil berusaha sendiri untuk sampai duduk di tepi tempat tidur.

"Nyonya—" David bersikeras.

"Saya bisa," tolak Claire, suaranya sedikit lebih tegas sekarang. Ia berhasil duduk di tepi tempat tidur, duduk sebentar, menghela napas lelah.

Ia menoleh ke arah David, dokter yang tampaknya selalu muncul tepat ketika ia membutuhkan sesuatu. "Anda selalu datang kemari begitu cepat... apa Aaron tahu hal ini?" Ada nada ketidaksenangan dalam suaranya, ketidaknyamanan karena privasinya terasa terganggu, bahkan oleh seorang dokter.

Meskipun dia seorang dokter, tapi tetap saja...

"Itu..." Wajah David sedikit bingung, ia mengusap keringat di dahinya dengan sapu tangannya, ragu harus menjawab sejujurnya atau tidak. "Direktur memang yang memerintahkan saya untuk tetap berada di sini sementara beliau pergi."

"Di sana," lanjut David, menunjuk ke sebuah titik di sudut atas ruangan dengan dagunya.

Mata Claire melebar melihat benda kecil itu terpasang di sana, nyaris tak terlihat. Kamera pengawas.

"Direktur memerintahkan untuk memasang kamera pengawas di sana sebelum beliau pergi rapat," jelas David, suaranya terdengar sedikit tidak nyaman saat harus mengakui ini. "Rekamannya tersambung pada ponsel pribadi Direktur."

Claire mengerjapkan mata, seakan masih memproses informasi itu. "Tersambung di ponsel Aaron?"

David mengangguk kaku, "I-iya. Meskipun mungkin tidak nyaman, Nyonya, Direktur mengatakan bahwa ini hanya sementara saja sampai kondisi Anda benar-benar pulih dan tidak ada risiko lagi."

"Tidak!" kata Claire cepat, tanpa sadar sedikit meninggikan suara. Ia merasa malu kemudian menundukan kepalanya, "Maksudku... tidak apa-apa. Tidak masalah." Ini Aaron.

Apa Nyonya baru saja tersenyum? David meragukan penglihatannya. Tidak, mana mungkin ada seseorang yang tersenyum saat aktivitasnya diawasi setiap saat?

Claire mengangkat wajahnya lagi, melihat lurus ke arah kamera pengawas di atas. Senyum kecil itu masih ada, namun kini tampak... rumit.

Sementara di sisi lain kota, di balik meja kerja kebesarannya, Aaron mengernyitkan dahi memandang layar ponselnya yang memperlihatkan rekaman langsung dari kamar Claire. Kenapa dia terus melihat ke arah sini? Pikirannya terasa campur aduk, tidak memahami tatapan dan senyum samar di wajah istrinya itu.

1
Ezy Aje
lanjur
Aura Cantika
Kepalang suka deh!
Leel K: Aaah... makasih 🤗
total 1 replies
Coke Bunny🎀
Cerita yang bikin baper, deh!
ナディン(nadin)
Nggak bisa move on.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!