Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Belajar Ikhlas
"Mas Alif,"
Rania segera membantu suaminya untuk kembali berbaring di sofa, kali ini wanita itu tidak tahan untuk menangis.
'Ya Allah, bagaimana hidupnya jika tanpa diri ku? Haruskah aku membatalkan gugatan itu, aku sangat prihatin melihatnya' batin Rania yang terbawa suasana.
"Akh... sakit," pekik Alif tatkala Rania menyentuh lukanya.
"Sudahlah Mas, kamu jangan terlalu memaksa. Diamlah di sini, aku akan mengobati lukanya," ucap Rania.
Alif diam saja tidak menjawab, ia memejamkan matanya. Seluruh tubuhnya begitu sakit, apalagi hatinya. Ia sangat kecewa terhadap Rania, setelah kebersamaan mereka yang begitu lama, ternyata hanya perlu beberapa saat untuk melupakannya.
"Ini akan sedikit perih, jangan bergerak dulu ya," ucap Rania.
Alif membuka mata, ia menatap Rania dengan tegas.
"Sudahlah Nia, aku bisa sendiri. Jangan terlalu baik pada ku, supaya diri ku tidak salah paham. Aku tahu kamu bisa melupakan aku dengan sangat mudah, tapi maaf aku tidak bisa seperti itu,"
Alif segera mengambil alih pekerjaan Rania, ia membalut lukanya sendiri. Hati Rania teriris mendengar sindiran halus dari suaminya. Sebenarnya jauh di lubuk hatinya yang paling dalam ia masih memiliki rasa sayang terhadap suaminya, namun sebisa mungkin tidak ia rasakan karena tidak ingin menggoyahkan keputusannya. Inilah kelemahannya, tidak bisa menyakiti orang lain walau orang tersebut berlaku tidak baik kepadanya.
"Mas, aku sungguh-sungguh minta maaf, tolong jangan membuat ku merasa bersalah pada mu," ucap Rania.
"Ini bukan salah mu, ini murni kesalahan ku yang tidak bisa menjaga perasaan mu. Aku akan berusaha ikhlas menerima semua keputusan mu,"
Alif kembali membaringkan diri dan memejamkan mata setelah selesai membalut lukanya, ia mengacuhkan Rania yang sedari tadi tak lepas memandangnya. Rania semakin di liputi rasa bersalah.
☆☆☆
Sore harinya.
Alif sudah merasa sehat, ia sudah bisa beraktifitas seperti biasanya walau lukanya masih terasa nyeri. Namun sikapnya sedikit berubah, ia bersikap acuh kepada Rania. Ia hanya berbicara kepada kedua anaknya tanpa mengindahkan kehadiran istrinya.
"Ayah mau kemana? Kenapa semua baju ayah di masukkan tas itu?" tanya Alisa sedih.
"Ayah harus pergi, ayah akan tinggal bersama nenek. Kalian baik-baik di sini ya, jangan menyusahkan ibu. Ayah pasti akan sering menjenguk kalian di sini,"
Alif tidak bisa membendung lagi air matanya, ia memeluk keduanya dengan kesedihan yang mendalam. Rania merasa begitu pedih melihat mereka bertangis-tangisan. Apakah dirinya terlalu egois, membuat anak mereka menjadi korban atas ketidak puasaan dirinya akan suaminya?
"Ayah... hiks... hiks..."
Kedua anaknya seolah tidak mengizinkan ayahnya pergi, bahkan Bintang yang tidak dekat dengan ayahnya ikut terisak dan memeluk suaminya itu. Ada perang batin di dalam hati Rania. Jiwanya bergejolak, hatinya ikut meronta. Benar-benar pilihan yang rumit.
Rania masuk ke dalam kamar untuk menenangkan diri, ia terus menangis dalam diam. Mereka berhasil membuat dirinya menjadi labil. Emosinya sangat terkuras.
'Oh Tuhan, pemandangan ini begitu menyakitkan' batin Rania.
"Ayah... Jangan pergi," pinta Alisa.
Kedua pipi gadis itu telah banjir air mata, betapapun ayahnya jarang bersama mereka, namun di detik-detik terakhir Alif berhasil mengukir kenangan manis di hati kedua buah hatinya.
"Tidak bisa Sayang, ayah harus pergi. Ibu mu lebih bahagia jika tidak ada ayah di rumah ini," ucap Alif.
Rania mendengar semua yang di katakan suaminya. Mengapa sekarang seolah dirinya yang begitu jahat? Rania merasa tersudut.
"Ayah, aku akan membujuk ibu supaya membiarkan ayah di sini. Ayah sekarang sudah baik, nenek juga sudah tidak marah-marah lagi. Ibu pernah bilang jika jodoh maka Tuhan akan menyadarkan kalian, itu tandanya ibu dan ayah masih berjodoh," ucap Alisa.
"Percuma Nak, ibu mu sudah tidak mencintai ayah lagi. Lebih baik ayah segera pergi, maafkan ayah ya,"
Alif melangkah pergi di iringi tangisan anak-anaknya. Kesedihan memenuhi rumah itu.
"Ayah... hiks,hiks. Jangan pergi..."
Rania tidak kuasa lagi menahan sesak di dadanya, ia segera berlari keluar kamar.
"Cukup Mas, berhenti!" perintah Rania.
Alif segera menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rania, kedua anaknya juga memandang wanita itu dengan heran.
"Aku mohon kamu tetap tinggal di sini, demi anak-anak," pinta Rania.
"Maaf Rania aku tidak bisa, aku akan belajar untuk ikhlas melepas mu," ucap Alif.
"Ayah..." panggil Alisa.
"Maaf Sayang, ayah tidak bisa," ucap Alif.
"Tapi kenapa, Mas?" tanya Rania.
"Bukankah kamu lebih bahagia jika aku tidak ada, untuk apa aku tetap tinggal jika harus menyaksikan harapan semu. Aku tidak bisa melupakan mu dengan mudah, mungkin dengan meninggalkan rumah ini membuat ku cepat ikhlas merelakan kepergian mu,"
Alif terus melangkah menjauhi mereka, tagisan kedua buah hatinya makin keras membuat hati Rania terasa tercabik-cabik.
"Berhenti Mas! Tetaplah di sini, aku akan mempertimbangkan kembali perceraian itu,"
Seketika seulas senyum tersinggung di bibir semua orang kecuali Rania. Naluri seorang ibu membuatnya harus mengambil keputusan itu, Ternyata membuat anak-anak mengerti tentang kondisi rumah tangga mereka tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika orang lain akan tegas dan tidak memperdulikan hal lain ketika hati telah tersakiti, tidak dengan Rania yang berhati lembut.
Anak-anak adalah harta yang paling berharga untuk dirinya, ia rela menderita asal melihat mereka bahagia. Mungkin memang dirinya masih berjodoh dengan Alif, ia pasrah dan telah menyerahkan semua kepada Sang Pencipta.
"Apa kamu serius akan memberi ku kesempatan? Aku tidak ingin terlalu berharap lagi, sangat sakit jika jauh dari kenyataan," ucap Alif.
"Iya Mas, aku akan mempertimbangkannya lagi. Tolong beri waktu aku untuk berpikir, aku tidak ingin membuat keputusan di saat emosi," balas Rania.
"Terima kasih, Nia,"
Alif segera memeluk Rania, wanita itu tidak menolak namun juga tidak membalas. Kedua anaknya turut bahagia dan memeluk keduanya. Tidak ada yang lebih berarti bagi seorang ibu selain melihat kebahagiaan anak-anaknya.
☆☆☆
Malam semakin larut, cahaya bulan yang temaram mengintip dari balik jendela yang tidak tertutup. Gemerlap bintang yang bertaburan menghiasi indahnya langit di malam yang sunyi. Dua insan yang bersatu dalam biduk rumah tangga tengah asyik dengan perasaannya masing-masing.
Rania berbaring di sebelah putranya,Ia mencoba memejamkan matanya yang masih cerah. Sedangkan suaminya di luar juga di liputi kegelisahan yang mendalam. Kerinduan yang sangat dan hasrat yang menggelora karena sekian lama tidak melakukan penyatuan membuat keberaniannya meningkat.
Alif mulai mendekati istrinya yang terpejam, napasnya kian memburu. Tanpa bertanya lebih dulu ia ******* bibir istrinya sembari tangannya meremas kedua bongkahan kenyal milik istrinya. Rania tersentak, kedua matanya membulat sempurna mendapat serangan yang tiba-tiba.
"Mas tolong hentikan," Rania menolak dan menjaga jarak dengan suaminya.