NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:896
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pembawa petaka

Pak Agus mendadak tak mampu menggerakkan tubuhnya saat makhluk mengerikan itu melangkah mendekat.

“Ada yang tersisa… banyak sekali…” desisnya dengan suara serak, membuat udara di sekeliling seakan membeku.

Mata Pak Agus terbelalak lebar, napasnya tersengal, semakin sesak ketika sosok itu terkikik nyaring lalu menyergapnya dengan gerakan aneh dan tak wajar.

“Pak! Bapak kenapa?” suara seorang guru perempuan memecah ketegangan, sambil menepuk-nepuk bahunya. Pak Agus tampak seperti tersentak, wajahnya pucat seolah baru saja melihat sesuatu yang tidak kasatmata. “Pak Agus!”

Pak Agus terlonjak pelan, mengerjap berkali-kali sebelum akhirnya mengusap wajahnya sendiri. “Astaghfirullah…” bisiknya lirih, mencoba menenangkan diri.

“Pak Agus kenapa? Jangan bengong pagi-pagi begitu, Pak,” ujar guru perempuan itu dengan nada iba. Ia jelas tak memahami apa yang baru saja dialami rekannya.

“Iya… saya cuma keinget sesuatu,” jawab Pak Agus, sedikit berbohong. Dalam hatinya, pertanyaan justru berputar semakin kuat: mengapa penglihatannya barusan terasa begitu nyata? Apakah itu hanya halusinasi, atau pertanda sesuatu yang lebih buruk?

“Tadi saya mau nanya, spidol whiteboard saya habis. Saya sudah cek di penyimpanan dekat jendela, ternyata kosong. Mungkin Bapak ada simpanan?” tutur guru itu, mencoba kembali pada urusannya.

“Oh, maaf, Bu. Saya lagi nggak fokus,” sahut Pak Agus. Ia buru-buru membuka laci meja, mengambil dua spidol, lalu menyerahkannya.

“Terima kasih, Pak,” ucap guru itu sembari tersenyum, kemudian berpesan sebelum meninggalkan ruangan, “Jangan bengong sendirian lagi, Pak.”

Pak Agus hanya mengangguk dan membalas dengan senyum tipis. Tangannya kembali mengusap wajah, bibirnya komat-kamit melafalkan doa, berharap dirinya dijauhkan dari hal-hal buruk yang seolah sudah mengintai.

Mengenyahkan segala bayangan gelap yang masih menggerogoti benak, ia berusaha berdiri tegak. Ia harus menyibukkan diri dengan rutinitas sekolah, agar tidak kembali terperangkap dalam halusinasi yang menakutkan itu. Dengan langkah hati-hati, Pak Agus meninggalkan ruang guru sambil melantunkan doa-doa perlindungan.

Namun, begitu ruangan itu benar-benar kosong, sekelebat bayangan hitam melesat dari satu sudut ke sudut lain. Sesosok entitas berjongkok di atas meja Pak Agus. Tubuhnya berlumuran cairan kental berwarna merah pekat, kedua tangannya yang panjang bertumpu ke depan. Posisi duduknya menyerupai kera, tapi wajahnya mirip kelelawar dengan tatapan tajam, seakan siap melahap mangsa kapan saja.

Sementara itu, di kelas, kegiatan belajar berjalan tertib. Keheningan hanya dipecah oleh suara Bu Arum yang tengah menerangkan materi biologi. Kali ini ia menjelaskan tentang simbiosis mutualisme, interaksi dua organisme berbeda spesies yang saling memberi keuntungan dari kebersamaannya.

Ratna duduk di bangku paling belakang, tepat di sisi barisan meja yang ditempati Kevin. Alih-alih memperhatikan pelajaran yang sedang dijelaskan Bu Arum, Kevin lebih sibuk memainkan permen karet yang sudah lama kehilangan rasa manisnya.

Tatapan jahilnya sesekali melirik Ratna. Gadis berambut tergerai itu tengah serius menyalin beberapa istilah asing yang belum sempat ia pahami artinya. Tiba-tiba saja sesuatu mendarat di atas bukunya, membuat Ratna terlonjak kaget.

“Bu! Ratna malah makan di kelas!” seru Vani sambil mengacungkan tangan.

Ratna sontak kelabakan, mengibaskan telapak tangannya. “Enggak, Bu. Ini punya…” Ucapan Ratna terhenti ketika ia menoleh dan mendapati Kevin tengah bersiap melemparkan permen karet bekas ke arahnya. Akhirnya, ia mengurungkan niat untuk menjelaskan bahwa tumpukan permen karet di mejanya bukan miliknya.

“Ratna, belajar itu butuh konsentrasi, bukan malah mengunyah permen,” tegur Bu Arum sembari meraih bungkus permen karet yang sudah terbuka di meja Ratna. Sang guru juga sempat memperhatikan wajah Ratna, memastikan gadis itu memang tidak sedang mengunyah. Tatapannya lalu menyapu seluruh kelas, tapi Kevin sudah pandai menyembunyikan tingkahnya seolah tak terjadi apa-apa.

“Kita lanjutkan pelajarannya,” ujar Bu Arum, lalu berjalan kembali ke depan kelas sambil menyimpan permen karet itu di mejanya.

Kegiatan belajar pun berlanjut hingga bel istirahat berbunyi. Bu Arum beranjak keluar kelas, membawa serta permen karet yang tadi ia sita.

Begitu suasana terasa lebih leluasa, Kevin langsung bergerak menuju bangku Ratna. “Lu harus ganti permen karet yang dibawa Bu Arum tadi.”

“Tapi itu bukan salah aku,” Ratna mencoba membela diri, suaranya terdengar ragu.

“Udah berani nyaut sekarang,” sahut Vani dan Kila hampir bersamaan.

Kevin melepas permen karet dari mulutnya, lalu hendak menempelkannya ke seragam Ratna. Gadis itu cepat beringsut, berusaha menghindar. Untunglah ia duduk seorang diri sehingga cukup leluasa untuk menggeser badan.

“Iya, bakal aku ganti,” ucap Ratna cepat, tak ingin masalah semakin keruh.

“Bagus. Nanti beli di kantin aja. Awas lu beli yang murah.” Kevin menempelkan permen karet bekas kunyahannya di bawah meja Ratna. Ia terkekeh puas, lalu melenggang pergi bersama geng reseknya.

Ratna menghela napas panjang. Dengan lelah, ia memasukkan buku-buku ke dalam tas. Sekilas, pandangannya menangkap sosok lain yang juga sedang membereskan alat tulis, namun sembari melirik ke arahnya.

Ya, aku memang menyedihkan. Jadi bahan bully dan tontonan gratis. Ratna mendengus dalam hati, lalu bangkit tanpa memedulikan tatapan yang terus mengikutinya.

Ia menuruti ucapan Kevin. Melangkah ke kantin untuk membeli permen karet, dengan harapan aman karena geng itu biasanya nongkrong di atap sekolah pada jam istirahat pertama.

Namun, Ratna tak menyadari ada Vani di kantin, duduk santai di salah satu meja sambil menunggu pesanan jusnya. Begitu melihat Ratna datang, naluri usilnya seketika menyala.

Ratna mempercepat langkahnya, hampir berlari kecil. Tepat saat ia hendak melewati meja, Vani menjulurkan kaki. Tak ada ruang bagi Ratna untuk menghindar—ia tersandung keras dan tubuhnya terhempas ke lantai.

Gelak tawa pecah memenuhi kantin. Ratna terperanjat, buru-buru merapikan roknya yang sempat tersingkap terlalu tinggi.

“Warna Pink, Bro! Rasa Stoberi!” teriak seorang siswa, memancing tawa lebih riuh lagi.

Malu yang menyesakkan dada membuat wajah Ratna memerah. Ia bangkit dengan tergesa di tengah suara ejekan yang kian membahana. Belum lagi suara Vani yang terus mengiris telinganya.

“Ngobral celana dalam? Jangan terlalu murah ya, Dek, ya…”

Kali ini Ratna tak sanggup menahan air mata. Dengan kepala tertunduk, ia berlari meninggalkan kantin, didera rasa malu yang kian menyesakkan. Seperti biasa, satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menangis. Menangis, dan terus menangis, seakan itu satu-satunya teman yang sudi menemaninya.

Di bangkunya, Ratna menunduk dalam. Kedua tangannya terkepal kuat, menahan gejolak amarah yang tak bisa ia luapkan. Ia tak mungkin meledak di depan umum, tak mungkin pula berteriak-teriak tanpa kendali. Maka, ia menarik sebuah buku bersampul tebal dari dalam tas—buku baru yang selalu menjadi pelarian setiap kali hatinya hancur.

Marah… dan lebih marah lagi sama diriku yang cuma bisa diam begini. Tapi mereka yang membuatku jadi batu, gak bisa melawan, gak bisa membela diri sesuka hati.

Ratna menggertakkan giginya. Vani… tawamu hari ini mungkin gak akan lama lagi berubah jadi tangis. Karmamu akan datang lewat tanganmu sendiri.

Ratna menekan pena hingga ujungnya hampir menembus kertas, lalu menorehkan tanda seru di akhir kalimat. Setelah itu, ia menutup buku bersampul tebal itu dan menundukkan kepala, merebahkan kening di atas permukaannya.

Isak yang masih tersisa ingin pecah lagi, tapi ia paksa berhenti. Namun, suara langkah pelan yang memasuki kelas membuatnya terguncang. Ratna buru-buru menegakkan tubuhnya. Jantungnya berdebar—takut kalau yang datang adalah Kevin, menambah penderitaan yang sudah ia tanggung sejak pagi.

“Lu nggak apa-apa?” suara seorang siswa terdengar, tenang tapi sungguh-sungguh. Lelaki bernama Satria, yang sejak awal istirahat diam-diam memperhatikan Ratna, kini berdiri di depannya. Ia menyodorkan sebungkus tisu kecil.

Ratna menatap uluran itu dengan mata berkaca-kaca, tapi cepat memalingkan wajah. Baginya, semua anak di sekolah ini sama saja—tidak ada yang benar-benar peduli.

“Aku nggak apa-apa,” ucapnya singkat.

Satria hanya mengedikkan bahu, tak memaksa. Ia melangkah kembali ke bangkunya, membiarkan Ratna larut dengan pikirannya sendiri.

Di sudut kantin, tanpa disadari siapa pun, sesosok gadis berkulit pucat dengan bola mata seluruhnya putih sedang memperhatikan Vani. Tatapannya menusuk, seolah menembus dinding keramaian, hanya tertuju pada satu sasaran.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!