"Assalamualaikum Kapten"
.
Ini bukanlah drama Korea,
Dia bukan Kapten RI Jeong Hyuk,
Dan aku bukan Yoon Se Ri.
Tapi ini takdir Allah
Takdir yang membuat ku berpikir.
Apakah kita dipertemukan,
Hanya untuk diperkenalkan ?
Atau,
Mungkinkah kita dipertemukan,
Untuk disatukan ?
*****
Hallo semua 👋
Mohon maaf sebelumnya karena Karya ku yang judulnya "Angel's Story" tidak bisa dilanjutkan lagi.
Maka dari itu, aku memutuskan untuk membuat cerita baru yang terinspirasi dari drakor CLOY.
Hanya saja ini bernuansa Islami.
So, Happy reading guys 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azurra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanpa Joo Young (2)
Wirma menikmati sejuknya udara pagi hari dari balkon kamar anaknya, Nayla. Selesai salat subuh, wanita paruh baya itu memutuskan pergi ke kamar anaknya sebab rasa rindu yang selalu menderanya.
Tepat sudah delapan hari berlalu sejak hari kecelakaan itu terjadi. Kini, dia mulai bertekad untuk menjalani hari dengan kenyataan bahwa Nayla tak akan pernah Kembali lagi bersama mereka.
"Ma, kamu disini ternyata."
Robbi akhirnya bisa bernapas lega saat mendapati Istrinya tengah berdiri di balkon kamar Nayla. Pasalnya wanita itu berlalu begitu saja dari hadapannya saat mereka telah selesai menunaikan ibadah salat subuh bersama-sama.
Wirma menoleh sekilas dan tersenyum.
"Maaf mas," ujarnya.
Jalan dua susun yang terlihat jelas dari balkon kamar itu mulai ramai dengan para pengendara roda empat maupun dua. Saat ini, di Gorontalo tengah menunjukan pukul enam lebih tiga puluh menit.
Robbi merangkul pundak istrinya saat dia sudah berada di samping kiri Wirma.
"Mas juga merindukan Nayla," ujarnya yang tau betul bahwa wanita itu tengah merindukan putri kesayangan mereka.
"Aku gak pernah mengira kalau kita akan kehilangan kedua anak kita dengan cara yang seperti ini," lirih Wirma.
"Sstt, sudah kehendak yang di atas."
"Aku tau Mas. Tapi, ada satu hal yang akhir-akhir ini aku sesali," ia menatap manik mata Robbi.
"Apa itu?"
"Kita tak sempat mengatakan kebenaran tentang status kedua anak kita."
"Apa maksudmu?"
"Kamu tau betul Mas, bahwa Nayla dan Naufal itu bukan saudara kandung."
Wajah Robbi mengeras mendengar kenyataan yang sudah lama ia kubur.
"Aku sudah bilang, jangan pernah bicarakan hal ini," dia membuang tatapannya ke halaman rumah.
"Aku tau, tapi kita tidak bisa lari dari kenyataan itu Mas. Mereka bukanlah saudara kandung."
"Percuma Wirma. Mereka kini telah tiada," ujar Robbi dengan sedihnya.
Nasi telah menjadi bubur. Mungkin kalimat itu bisa mewakili keadaan mereka berdua saat ini. Bertahun-tahun lamanya menyembunyikan kenyataan dari kedua anak mereka yang dengan takdir Allah saling mencintai, namun ego mereka begitu besar, hingga tragedi kecelakaan Naufal dan Nayla berhasil merenggut nyawa lelaki muda itu.
Masih teringat jelas oleh Wirma kala itu, pertemuan pertamanya dengan bayi Nayla. Begitu menyesakkan hatinya sebagai seorang wanita dan seorang ibu.
Oktober 1996
Wirma beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Robbi yang saat ini tengah mengantri untuk mendaftarkan bagasi mereka. Saat ini mereka tengah berada di Kuala Lumpur Internasional Airport untuk melakukan perjalanan pulang ke Indonesia.
"Mas, aku ke toilet sebentar yah."
Robbi mengangguk menanggapinya. Wanita berhijab merah itu berbalik dan melangkah menuju toilet terdekat.
Tak perlu waktu lama untuk Wirma buang air, wanita itu keluar dan hendak mencuci tangannya pada wastafel. Sambil menatap pantulan dirinya pada cermin, ia membasuh tangannya.
Wirma mengernyit saat mendengar isak tangis seseorang yang berasal dari toilet paling ujung di dalam bilik itu.
Perlahan dia mendekati sumber suara dan mengetuk pintunya pelan.
"Permisi puan," ujarnya.
Masih terdengar isakan dari dalam. Namun sedetik kemudian, pintu toilet itu terbuka.
"Maya? Ya Allah."
Wirma terkejut saat mendapati salah satu teman sekelasnya semasa ia senior high school dengan luka lebam di pipi kiri serta luka kecil di sudut bibirnya. Lebih mengejutkan lagi, dua bayi yang ada dalam pelukannya. Wanita rapuh itu menggendong kedua anaknya yang masih tertidur pulas.
"Wirma," lirihnya. Seketika air matanya mengalir kembali.
"Apa hal ni? Kenapa bisa jadi macam ni?" Wirma bergerak mengamati seluruh tubuh wanita itu.
Tangannya bergerak membawa Maya mendekati wastafel tempat ia berdiri tadi. Beruntungnya toilet saat ini tengah sepi. Hanya ada mereka berdua serta kedua bayi yang dibawa wanita itu.
"Ini anak kau?" tanya Wirma.
Wanita itu mengangguk. Air matanya mengalir lagi memandangi wajah tanpa dosa kedua bayi itu.
"MasyaaAllah, cantiknya dua budak ni," Wirma tersenyum simpul namun raut wajahnya kembali cemas.
"Kau kenape? Cerita ka aku," tangannya bergerak memegangi kedua pundak Maya.
"Suamiku dah gila Wirma," ia meneteskan air matanya lagi. "Dia ada hutang banyak sangat ka peniaga cina dika kampung kami. Sebab tak bisa bayar, dia gadaikan aku ka peniaga tu. Aku tak sudi. Aku lari dari kampung bawa dua budak ni. Sebab lelaki gila tu, nak jual juga anak-anak aku ini. Aku tak sudi jadi budak **** dan kehilangan anak-anak ini."
"Aku kabur ka Airport sebab aku nak pergi ke Korea tempat pakci aku tinggal. Tapi aku tak yakin dia masih hidup ka tidak, kite dah lama lost kontak," ia menatap Wirma dengan mata sembabnya. "Aku tak tau harus buat apalagi. Duitku juga tak cukup buat beli tiket untuk tiga orang. Tolong aku Wirma," lirihnya.
Wirma membisu sekaligus sedih mendengar cerita temannya itu. Tangannya bergerak merogoh tas selempang yang ia pakai dan mengeluarkan dompetnya dari sana.
"Ini," tanpa ragu-ragu, ia mengulurkan tangannya yang memegang sebuah kartu kredit Internasional hadiah ulangtahun pernikahannya dengan Robbi yang ke enam tahun. Baginya, uang bukan masalah asalkan untuk menolong sesama yang membutuhkan.
"Ambillah. Beli tiket untuk anakmu dan pergi ke tempat yang aman."
Maya menggelengkan kepalanya.
"Bukan ini yang aku butuhkan bantuan darimu Wirma."
"Lalu apa?"
Maya meneteskan air matanya, "Bawa salah satu anakku ini bersamamu. Tolong rawat dia seperti anakmu sendiri. Sebab aku tak yakin bisa menghidupi mereka bersama. Aku juga takut, bila mana lelaki itu tau tempat persembunyian ku dan berbuat hal lebih gila padaku dan anak-anak ini."
"Setidaknya, jikalau aku ditemukan dan dibunuh oleh lelaki itu, ada salah satu anakku yang masih hidup."
Wirma membisu lagi mendengar pernyataannya. Sebagai seorang ibu, tentu dia menginginkan yang terbaik untuk anaknya walau harus mengorbankan nyawa.
"Tolong aku Wirma," ujar Maya.
Wirma menatap kedua wajah anak Maya. Hatinya begitu pedih kala mengingat seandainya dia tidak keguguran, tentu cabang bayi yang dikandungnya kini sudah bisa ia gendong.
"Namanya siapa?" tanya Wirma sambil mengelus pipi mungil salah satu anak Maya.
"Ini Nayla. Dia yang lebih tua. Yang ini Kayla," jawab Maya sambil menatap anaknya yang ada di tangan kiri.
"Mereka lahir lima hari yang lalu," tambahnya.
Wirma mengambil alih bayi Nayla dari tangan Maya.
"Aku,"
"Terimakasih Wirma. Terimakasih. Tolong jaga anakku layaknya anak kau," ia menangis lagi.
"Pergilah. Bawa kartu ini untuk memulai kehidupan mu yang baru bersama Kayla. Aku janji akan menjaga Nayla dengan sepenuh hatiku, layaknya anak kandungku."
Maya meneteskan air matanya seraya menatap manik mata Wirma yang kini juga berkaca-kaca.
Dia menerima kartu yang disodorkan oleh Wirma dengan berat hati.
"Terimakasih Wirma. Aku tidak akan melupakan pertolongan mu ini."
"Asal kau janji akan tetap hidup dengan baik dan bertemu kembali dengan anakmu ini. Aku ingin kelak dia tau, bahwa kau adalah ibu kandungnya."
Maya mengangguk, "Aku tidak bisa janji. Tapi aku akan berusaha untuk tetap hidup demi anak-anak aku."
Maya mendekati wajah bayi Nayla yang ada di gendongan Wirma.
"Mama pergi dulu yah Nak. Kamu harus hidup dan tetap sehat bersama keluarga barumu. Jika Allah mengizinkan mama untuk panjang umur, mama pasti akan menemui mu lagi," ia mengecup pipi mulus bayi Nayla.
"Terimakasih sekali lagi Wirma. Aku pergi, Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam warahmatullah."
Wirma memandangi punggung Maya yang kini kian menjauh dari bilik toilet. Wanita itu mempercepat langkahnya dengan rasa cemas suaminya bisa menemukan posisinya sekarang.
"Ya Allah, aku percaya yang terjadi kini adalah takdir darimu. Tapi, bagaimana aku menjelaskannya nanti ke keluarga mas Robbi?" ujar Wirma pelan.
"Terutama Naufal," tambahnya.
"Kamu disini ternyata."
Suara itu membuat ia mendongak.
"Mas,"
"Ini anak siapa? Kok bisa ada di kamu?" tanya pria itu.
"Aku akan jelaskan nanti. Ayo kita pergi dari sini," tangannya hendak menarik tangan Robbi untuk beranjak dari depan toilet itu.
"Pergi kemana? sebentar lagi kita akan flight."
"Kita tunda kepulangan kita malam ini. Ayo Mas. Kita balik ke rumah sekarang," ujar Wirma penuh penekanan.
Robbi menghela napasnya pasrah, "Tunggu sebentar, Mas batalin bagasi kita dulu," ujarnya dan langsung berlalu dari hadapan Wirma.
--------
Robbi memijat pangkal hidungnya setelah mendengar semua cerita dari Wirma, istrinya. Dia tak habis pikir dengan rencana Tuhan yang kini tengah melibatkan keluarga kecilnya.
"Boleh ya Mas? Kita rawat anak ini layaknya anak kita." Wirma memelas.
Robbi masih membisu seraya memandang wajah polos bayi Nayla. Seketika menyeruak rasa kasih sayang seorang ayah dalam benaknya. Tangannya bergerak mengelus wajah bayi itu dengan sayang.
"Entah mengapa, aku juga menyayangi anak ini," bisiknya namun masih bisa didengar oleh Wirma.
Wirma memandanginya dengan tatapan haru dan tersenyum. Seketika dia memeluk tubuh suaminya dan menangis dipundaknya.
"Terimakasih. Terimakasih Mas Robbi," dia merenggangkan pelukannya dan menatap lekat manik mata pria itu. Baginya, ucapan Robbi barusan sudah bisa menjadi jawaban dari permohonannya.
"Aku mencintaimu," ia mengecup pipi Robbi begitu singkat dan langsung menciumi pipi bayi Nayla dengan gemas. Wirma merasa sangat beruntung memiliki suami yang sangat menyayanginya dan pengertian dengan dirinya. Kini dia merasa hidupnya begitu sempurna. Suami yang ia cintai dan dua anak menjadi pelengkap.
Aku berjanji akan menepati janjiku, May. Kamu harus selamat.
-------
"Bagus. Untuk pelafalan kalimat sehari-hari, kamu sudah mulai bisa. Tapi nada bicaranya belum seperti orang Korea," Na Ra tertawa. "Kamu harus rajin-rajin berlatih," tambahnya.
Ji Kyung ikut tertawa dan mengangguk, "Baik. Ibu guru Na Ra," ujarnya yang langsung membuat Na Ra mencebikkan bibir.
"Dan untuk bahasa formalnya disesuaikan saja yah. Seperti yang ada di buku ini," Na Ra kembali menjelaskan apa yang tertulis dibuku pada Ji Kyung.
Sepuluh menit berlalu, tepat satu jam lebih tiga puluh menit sesi jam belajar Ji Kyung berjalan. Gadis itu nampak sangat memperhatikan penjelasan serta arahan dari Na Ra.
"Aaahh, akhirnya selesai juga," ujar Ji Kyung seraya merenggangkan otot kedua tangannya.
Na Ra tersenyum melihatnya.
"Boleh aku bertanya?"
Ji Kyung mengangguk, "Tentu."
"Maaf, apa kau sudah punya pacar?"
Ji Kyung tersenyum kikuk, "em, Iya. Lebih tepatnya calon suami?" ujarnya yang terdengar tak yakin.
Na Ra mengernyit singkat lalu menghela napasnya, "Yah, ku pikir kau tak punya pacar. Padahal aku berencana mengenalkan mu pada kakak ku."
"Tapi mengapa kau terdengar tidak begitu yakin soal calon suamimu?" tanya Na Ra lagi.
"Yah, seperti yang kau tau. Aku kehilangan ingatanku. Satu-satunya hal yang ku ingat adalah kepercayaan pada Tuhan ku."
"Oh, aku mengerti. Sulit bagimu untuk percaya pada orang lain kan?"
Ji Kyung mengangguk pelan, "Aku tengah berusaha mempercayainya," jawabnya.
"Siapa orangnya?"
"Kim Joo Young," jawab Jia seraya tersipu. Untuk pertama kalinya dia menyebutkan status dirinya sebagai kekasih dari pria itu.
"Wah, aku tak kepikiran. Aku mengira kalian adalah saudara sepupu atau teman. Kapten Kim juga tak bercerita lebih tentang dirimu."
"Oh ya?"
Na Ra menganggukkan kepalanya, "Iya. Dia hanya mengatakan alasan kenapa kau harus belajar di rumah sakit," jawabnya.
"Oh begitu. Mungkin dia berpikir bahwa ini privasi, jadi tak bisa sembarang untuk diceritakan," Jia menyengir.
"Tapi Ji Kyung, apa kau orang Korea juga?"
Jia mengangguk dengan ragu, "Dari apa yang diceritakan Joo Young kepadaku seperti itu. Ibuku warga negara Malaysia sedangkan ayahku warga negara Korea. Dan sejak kecil aku hanya tinggal di Malaysia, itulah kenapa aku tak bisa berbicara dengan bahasa Korea," jelasnya.
"Oh yah? Tapi mengapa aku merasa wajahmu tak asing yah. Seperti kita sudah pernah bertemu, tapi aku lupa dimana dan kapan," Na Ra menggaruk tengkuknya.
"Mungkin perasaanmu saja Na Ra," Jia tersenyum.
Na Ra mengerucutkan bibirnya, "Iya, mungkin begitu," ia membalas senyumannya.
"Dikeluarga kami, hanya ada satu orang yang muslim." Na Ra memulai cerita saat tak terjadi lagi pembahasan diantara mereka.
"Siapa?" tanya Jia penasaran.
"Kakak ku yang kedua. Nama Koreanya Jung Yu Jin. Nama Islamnya Alfatah Abdullah. Dia sudah jadi Mualaf sejak tiga tahun yang lalu."
"Wah, Alhamdulillah. Sudah bertambah saudara seiman."
"Kakak ku jatuh hati pada Islam sejak ia ditugaskan menjadi Kapten pasukan perdamaian PBB di Irak. Dia seorang Kapten pasukan khusus tingkat dua saat ini. Dan sekarang sedang menjalankan misi khusus ke Albania. Mungkin beberapa hari lagi kembali."
"Sekolah?" tanpa sadar Jia mengucapkan kata itu.
Na Ra mengernyit mendengar ucapan Jia.
"Sekolah?" tanya Na Ra mengulangi ucapan gadis itu.
Jia menatapnya, "Iya. Apa tempat untuk menjalankan misi seorang tentara itu dinamakan sekolah?" tanya Jia pada Na Ra.
Na Ra tampak menimbang-nimbang kemudian mengangguk.
"Kak Yu Jin juga pernah mengatakan padaku bahwa saat dia akan menjalankan misi, itu berarti dia tengah bersekolah. Karena saat di Medan perang, mereka para tentara akan bertarung sekuat tenaga untuk menang. Usaha mereka untuk menang itulah yang mereka jadikan pelajaran. Bertarung hingga berusaha agar tetap selamat sama saja mereka tengah belajar melatih kemampuan mereka saat terjadi perang atau misi yang baru. Mungkin itulah kenapa saat mereka pergi ke Medan perang, mereka malah mengatakan akan pergi ke sekolah," ia terkekeh. Sedangkan Jia hanya ber-Oh-ria seraya tersenyum.
"Oh yah Ji Kyung, apa boleh kita foto berdua?"
Jia menganggukkan kepalanya, "Tentu."
Dengan riang, Na Ra berpindah tempat duduk disamping Jia. Kedua gadis itu berpose foto selfie hingga beberapa kali.
"Aku akan menguploadnya ke Instagram. Kamu punya akun Instagram?" tanya Na Ra.
"Aku tidak punya," jawab Jia.
Gadis disampingnya menghela napas singkat, "Yah, baiklah. Akan aku upload yah?" ia meminta persetujuan dari Jia.
Sambil tersenyum gadis itu mengangguk.
Na Ra mengupload foto mereka ke akun Instagramnya dan menambahkan caption Sista 🌷 pada foto itu.
"Halo, Oppa?" ujarnya setelah menerima panggilan yang masuk ke ponselnya.
"Sudah di parkiran? Oke, aku segera kesana."
Gadis itu memutuskan sambungan teleponnya dan langsung merapikan buku-buku serta laptop yang ia bawa.
"Sudah ada yang menjemput mu?" tanya Jia yang melihat Na Ra merapikan bawaannya.
"Iya, kakak ku yang pertama menungguku di parkiran."
Jia hanya ber-Oh-ria sambil melihatnya.
"Aku pamit dulu yah Ji Kyung. Sampai ketemu lagi besok."
Na Ra melambaikan tangannya pada Jia saat ia telah mencapai ambang pintu kamar rawat Jia.
"Sampai jumpa besok," ujarnya seraya membalas lambaian tangan Na Ra hingga pintu itu tertutup sempurna.
--------
"Bagaimana hari ini?" tanya Yong Hwa saat Na Ra sudah masuk ke mobilnya.
"Lancar kak. Murid ku kali ini cerdas. Dia bisa menghafal dalam waktu singkat dan juga tekun untuk mengikuti instruksi dariku. Tak heran sih, dia bisa berbahasa Inggris dan Jepang," ujar Na Ra seraya memakai seat belt.
"Oh yah? Baguslah. Itu tandanya dia tak menyusahkan adiknya kakak yang tersayang ini," ia terkekeh dan mulai menjalankan mobilnya.
Mobil sport hitam itu mulai membelah jalanan kota setelah keluar dari pekarangan rumah sakit.
"Aku punya fotonya loh kak. Mau lihat?"
"Boleh."
"Ini dia kak," ujarnya setelah berhasil membuka media foto yang ada pada ponselnya.
Na Ra menyodorkan layar ponselnya agar bisa dilihat oleh Yong Hwa. Dan saat pria itu hendak melirik ponsel Na Ra, dering ponselnya mengalihkan perhatiannya.
"Sebentar dek," ujarnya seraya meraih ponselnya yang ada di dashboard.
Na Ra mengerucutkan bibirnya seraya menarik tangannya kembali.
"Ck. Kebiasaan. Pasti urusan kantor lagi," hardiknya pada Yong Hwa yang memang selalu mengutamakan kepentingan perusahaan walaupun sedang diluar jam kerja.
Gadis itu mengalihkan pandangannya dari Yong Hwa yang kini tengah sibuk berbicara dengan seseorang lewat teleponnya.
********to be continued*****
Hallo semua 👋
Semoga terhibur dengan cerita ini 🙏
Jangan lupa tinggalkan jejak like ataupun Vo-ment untuk sekedar mejadi support aku buat lanjut nulis kisah ini yah ☺️
Terimakasih 🤗***
semoga skripsi.a lancar n segera wisuda... good blaze...!!!