Valeria bahagia ketika sang adik, Cantika diterima sebagai sekertaris di sebuah perusahaan. Setelah 3 bulan bekerja, Cantika menjalin hubungan dengan pimpinannya.
Ketika Cantika mengenalkan sang pimpinan kepada Valeria, dia terkejut karena pria itu adalah Surya, orang yang dulu pernah menjalin cinta dengannya sewaktu SMU, bahkan pernah merenggut keperawanannya.
Apakah yang Valeria lakukan selanjutnya? Apa yang akan terjadi pada mereka? Apakah hubungan mereka akan berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Nita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 25
Sepekan setelah kejadian itu berlalu, aku merasa lebih enteng menjalani semua aktivitas, tidak ada beban, tetapi juga merasa kesepian karena tidak ada seseorang yang datang lagi di kantorku. Jika ada suatu hal dalam hubungan kerjasama perusahaan kami, akan ada utusan yang datang, bukan dirinya seperti awal dulu.
Kutepiskan rindu itu, ada seseorang yang lebih mencintainya dan selalu berada dekat dengannya. Kusibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan kantor, sengaja aku pulang lembur setiap hari agar pikiran tentangnya tersisihkan.
Sepulangnya dari kantor, perutku terasa sangat lapar karena seharian berada di depan komputer hingga lupa makan siang, mobil kubelokkan di sebuah restoran seafood pinggir jalan.
Pelayan memberikan daftar menu. Setelah menulis menu, pelayan segera mengambilkannya. Sambil menunggu aku buka gawai untuk sekedar mengisi waktu. Tiba-tiba di depanku telah duduk seorang Surya. Udah kaget, ditambah jantungku mau copot karena debaran yang tak berirama setelah melihatnya. Kenapa kami selalu dipertemukan, padahal aku tidak berjodoh dengannya.
"Kenapa lihat gawai sebegitu asyiknya sampai ga sadar ada orang dari tadi di depannya. Untung aku bukan copet, kalo iya, hilang udah tas kamu," omelnya begitu cepat.
Aku masih sibuk menenangkan jantungku yang sedari tadi susah diatur. Hingga meneguk air mineral yang disediakan di atas meja pun, debaran itu tidak hanyut juga.
"Kenapa kamu di sini?" Tanyaku sambil meletakkan gawai di atas meja.
"Makan, ini rumah makan, kan?"
Cowok di depanku ini menyebalkan sekali, tapi kenapa aku jadi bodoh saat di depannya. Ugh...
"Kamu masih jalan sama Reno?" Tanya dia sambil menengok ke pelayan yang membawakan makanan kami.
"Iya," dustaku.
Kusendokkan nasi dan cumi ke mulutku.
"Kamu kan tahu kalo Reno itu punya istri? Kenapa kamu mendekatinya? Kamu ga tahu apa kalau itu hal yang keliru."
Dia mengomeliku seperti seorang kakak memarahi adiknya.
Aku diam saja mendengarnya, dari mana dia tahu status Reno? Ah iya, seorang Surya pasti dengan mudah mencari tahu sesuatu, apalagi tentang teman lama.
Kami diam dan hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu. Setelah dia selesai makan, dia beranjak dari kursinya.
"Ternyata kamu seorang pelakor, aku ga nyangka."
Lalu dia pergi dari hadapanku, berjalan menuju kasir. Kutatap kepergiannya hingga tak terlihat oleh mataku. Kuhela nafas, percuma juga menjelaskan duduk persoalannya. Jika dijelaskan, aku juga bukan siapa-siapanya, ga pengaruh juga. Biarlah dia membenciku, sekalian.
Setelah menyelesaikan makan, aku beranjak menuju ke meja kasir,
"Berapa, Mbak?"
"Tadi udah dibayar sama Bapak tadi, Bu."
Kasir itu tersenyum padaku.
"Oh, ya udah, makasih, Mbak. Mari."
Langkahku cepat menuju ke parkiran, berharap dia masih ada di sana sekedar ingin kuucapkan terima kasih, tetapi sosoknya udah tidak terlihat lagi.
Dengan gontai aku melangkah ke mobil. Mobil melaju lambat di jalanan yang ramai. Barisan mobil merayap di jalan yang kulalui. Akhirnya aku sampai di rumah agak malam.
"Lembur lagi, Val?" Papa membuka koran sambil melihat ke arahku dengan posisi kacamata yang agak melorot.
"Iya, Pa."
"Akhir-akhir ini sering lembur, apa semua karyawan kamu suruh lembur?"
"Ga, Pa. Cuma aku aja."
"Jangan terlalu banyak lembur, nanti kamu kecapekan, Nak," mama menimpali.
"Iya, Ma."
Kuambil handuk di depan kamar mandi, lalu membersihkan diri. Setelah mandi rasanya menggigil, kedinginan. Seeprtinya ga enak badan. Segera kupakai piyama panjangku, dan mengoles minyak kayu putih ke seluruh tubuh, tetapi masih saja menggigil.
"Ma..."
Aku memanggil mama, tapi mama ga mendengar.
"Ma..."
Kembali kupanggil yang kedua kalinya, lalu semua tiba-tiba gelap.
Glodak!
Aku terjatuh tak sadarkan diri, samar-samar aku mendengar suara gaduh papa dan mama.
***
"Dia hanya kelelahan, tetapi butuh istirahat yang maksimal untuk kembali pulih. Terlalu banyak pikiran juga bisa membuat kelelahan menjadi penyakit."
Dokter memeriksaku, kulihat di tangan telah terpasang jarum infus, lalu aku menengok ke samping, ada papa dan mama di sana.
"Kamu udah sadar, Nak?" Mama mengusap dahiku dengan lembut.
Aku mengangguk lemah.
"Kamu ada di rumah sakit, harus benar-benar istirahat total selama beberapa hari," kata papa menasihatiku.
"Untung saja kami memergokimu terjatuh, kalau tidak, entah apa yang terjadi," mama menimpali.
"Ma, Tapi besok kerjaanku..." Aku berusaha bangun dan duduk.
"Dokter akan buatkan surat cuti, kamu tenangkan pikiran ya? Kalau ga, kamu ga sembuh-sembuh," mama membantu menopang punggungku.
Bola mataku mengitari ruangan VIP ini. Meski sepertinya nyaman, tapi rasanya tetap tidak ingin menginap dan ingin pulang.
Mau gimana lagi, kalau ga menuruti kata dokter, aku bakalan sakit lagi.
Gawai papa berdering, papa terdengar berbicara dengan adikku.
"Besok Cantika dan Surya akan ke sini," kata papa setelah mematikan gawai.
Aduhh, aku ga mau terihat sakit di depannya. Ingin rasanya kukemasi barang-barang dan beranjak dari tempat itu.
Mama menemaniku di ruangan ini, sedangkan papa pulang untuk menjaga rumah. Mataku sangat berat, mungkin karena pengaruh obat tidur yang diberikan dokter di dalam infus. Akhirnya aku tertidur lagi.
***
Esok harinya, Cantika dan Surya datang, mereka membawakanku parcel buah. Saat berbincang, aku tidak menatap wajah Surya, teringat pembicaraan kami di restoran seafood kemarin, kurasa jengah bila bertemu dengannya. Dia pun seolah seperti sangat kesal padaku, tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Setiap kali pandangan kami tak sengaja bertemu, dia melengos. Kami seperti perang dingin, tapi tidak ada yang menyadari hal ini.
Udah sakit, tambah sakit hati pula. Biarlah Tuhan dan aku saja yang tahu sebenarnya.