Keris Mpu Gandring menghilang usai berhasil menggenapi tujuh korban sesuai kutukan sang pembuat saat Ken Arok membunuhnya.
18 tahun setelah Pusaka Penebar Petaka itu menghilang, seorang pendekar muda yang baru turun gunung menggegerkan dunia persilatan dengan memegang Pusaka Penebar Petaka itu di tangan nya.
Siapakah dia? Apa hubungannya dengan bayangan hitam yang mencabut keris pusaka itu di tubuh sang korban terakhir saat Seminingrat menghabisi nyawa Apanji Tohjaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan Kali Mati
"Kami memang harus melanjutkan perjalanan ke Kadipaten Kurawan, Nimas Saraswati..
Ada tugas yang harus kami selesaikan", ujar Arya Pethak seraya mengambil singkong bakar dari perapian. Dengan hati-hati Arya Pethak mulai mengupas kulit singkong yang gosong.
"Memang tugas apa itu Kakang? Apa harus terburu-buru melaksanakannya?", tanya Rara Saraswati lagi. Dia masih berusaha untuk mencegah kepergian Arya Pethak dan kawan-kawan nya dari rumah Ki Lurah Tondowongso.
"Maaf aku tidak bisa mengatakan tugas apa yang aku lakukan, Nimas Saraswati. Semakin cepat tugas itu ku laksanakan semakin ringan pula beban yang aku tanggung", Arya Pethak tersenyum tipis menjawab pertanyaan Rara Saraswati.
Mendapat jawaban itu, wajah Saraswati merengut kesal. Dia segera bangkit dari tempat duduknya dan langsung berjalan menuju ke arah kamar tidur nya. Ketiga orang itu hanya saling berpandangan sejenak melihat kelakuan Rara Saraswati.
"Dasar perempuan. Sedikit sedikit marah. Apa dia pikir kalau marah bisa menyelesaikan masalah?
Mbok ya mikir sedikit kenapa?", gerutu Klungsur sambil mencomot satu singkong bakar yang sedikit gosong di depan nya.
"Perempuan memang begitu Sur, mikir nya pakai hati tidak pakai otak", sahut Gajah Wiru yang memang menyadari bahwa Rara Saraswati menaruh hati pada Arya Pethak.
"Saya tau itu, Pendekar Pedang Merah. Tapi mbok ya sedikit bisa mengerti perasaan laki laki seperti apa.
Keinginan tak di turuti langsung ngamuk seenaknya saja", Klungsur terus menggerutu tidak jelas.
Malam semakin larut menyelimuti Desa Karangan. Cuaca musim penghujan yang tak menentu semakin membuat suasana begitu sepi. Menjelang pagi, hujan deras mengguyur wilayah Desa Karangan dan sekitarnya.
Pagi menjelang tiba di wilayah Desa Karangan. Hujan deras masih terus mengguyur tempat itu hingga matahari tak nampak di langit timur.
Arya Pethak dan kawan-kawan nya sedang bersiap untuk berangkat tengah mengemasi barang-barang berharga mereka di buntalan kain mereka masing masing.
Begitu selesai, mereka berkumpul di serambi kediaman Lurah Desa Karangan bersama para prajurit Kadipaten Kurawan untuk berpamitan.
"Hujan nya masih deras Ndoro, kita menunggu reda dulu ya baru berangkat?", tanya Klungsur sambil membenarkan buntalan kain di punggungnya.
"Ya harus Sur, memang kamu mau hujan-hujanan setelah kita berangkat?
Tentu tidak bukan?", sahut Sekarwangi alias Si Ragil Kuning seakan mengetahui apa yang dipikirkan oleh Klungsur.
Pria bertubuh bogel itu menoleh ke arah Sekarwangi dan langsung menutup mulutnya. Diantara mereka berempat, hanya Sekarwangi yang paling di takuti oleh Klungsur. Sejak masih di kota Kadiri, putri Patih Pranaraja itu memang galak pada Klungsur.
"Sudah jangan ribut. Kita tunggu hujan reda. Kalau sudah reda, kita berangkat", ujar Arya Pethak menengahi ribut mereka berdua.
Tak berapa lama kemudian hujan deras berangsur mereda. Tumenggung Jaran Gandi segera berpamitan pada Ki Lurah Tondowongso untuk melanjutkan perjalanan menuju ke kota Kadipaten Kurawan. Ki Lurah Tondowongso dan para warga Desa Karangan mengantar mereka hingga tapal batas desa. Hanya Rara Saraswati yang tidak tampak dari rombongan warga desa itu.
Pasukan Kadipaten Kurawan dan rombongan Arya Pethak terus memacu kudanya menuju ke arah barat daya, ke ibukota Kadipaten Kurawan. Usai hujan meski jalanan becek, rombongan itu tetap bersemangat untuk segera sampai di Kurawan.
Usai melewati kota Pakuwon Binangun dan membeli perbekalan disana, rombongan itu bergerak cepat. Mereka ingin sampai di Pakuwon Mejayan sebelum malam menjelang. Sebab jika sampai kemalaman, mereka bisa bisa harus bermalam di hutan lagi.
Ternyata keinginan tak seindah harapan. Saat matahari tergelincir ke barat, hujan deras kembali mengguyur di perjalanan mereka hingga mau tidak mau mereka berhenti dan berteduh di sebuah pondok kayu kosong yang ada di tepi jalan raya yang membelah hutan lebat di wilayah selatan Pakuwon Mejayan yang terkenal angker. Hutan itu bernama Hutan Kali Mati.
Tumenggung Jaran Gandi meminta mereka bermalam saja di tempat itu karena hari mulai gelap dan hujan masih terus mengguyur wilayah itu dengan deras.
Para prajurit Kadipaten Kurawan menggerutu dengan keputusan Tumenggung Jaran Gandi karena tahu bahwa tempat itu bukan tempat untuk manusia tapi merupakan tempat yang terkenal sebagai istana para demit dan lelembut. Namun mereka tidak berani membantah perintah dari atasan mereka.
Klungsur segera mengumpulkan potongan kayu yang berserakan di tempat itu untuk membuat api unggun. Di bantu Gajah Wiru, Klungsur menata kayu kering itu di tengah pondok agar semua orang bisa berbagi kehangatan dari panas api unggun. Beruntung batu api milik nya tidak terkena air hujan hingga mudah untuk menyalakan api.
Pondok kayu itu lumayan besar hingga mampu memuat mereka semua untuk berteduh dengan nyaman dari derasnya hujan yang terus turun seakan tak mau berhenti.
Tiba-tiba terdengar suara burung hantu bersahutan...
Lalu petir menggelegar yang membuat nyali para prajurit Kadipaten Kurawan semakin ciut.
"Kakang,
Apa kau tahu hutan ini terkenal dengan sebutan hutan kematian?", tanya seorang prajurit bertubuh gempal dengan kumis tebal pada seorang prajurit yang lebih tua di sampingnya.
"Aku tahu hutan ini memang angker, Kapi Wara. Tapi kalau sebutan hutan kematian aku baru dengar dari mulut mu", jawab si prajurit yang lebih tua itu dengan sedikit keras.
"Huuuussssss...
Jangan keras-keras suara mu Kang. Aku dengar dari teman ku, katanya selain tempat para begal, hutan ini merupakan tempat kematian bagi manusia yang berani untuk tinggal di tempat ini karena hutan ini merupakan istana para demit dan lelembut.
Hiiiiiiiiiiii...
Aku takut kang", ujar si prajurit bertubuh gempal itu dengan mimik wajah penuh ketakutan.
"Kau ini badan besar, kumis sebesar lengan tapi takut pada hantu.
Prajurit macam apa kau ini?", gerutu si prajurit yang berada di sampingnya.
Mendadak hujan deras berhenti turun. Di susul angin kencang yang tiba tiba saja berhembus dari selatan. Suasana tempat itu semakin menyeramkan bagi semua orang.
Dalam waktu tak berapa lama kemudian, mendung menghilang dari langit berganti sinar bulan yang melewati purnama. Dari jauh, terdengar suara lolongan serigala hutan bersahutan.
Dari arah utara terdengar derap langkah kaki kuda dan lonceng berdentang. Para prajurit Kadipaten Kurawan saling berpandangan. Menurut berita yang mereka dengar, itu adalah suara kereta kematian yang akan mengampuni nyawa setiap orang yang di temui.
Wanara Bungkul, salah satu prajurit yang di tuakan dalam pasukan itu langsung berdiri.
"Gusti Bekel,
I-itu suara kereta kematian Gusti Bekel. Kita harus cepat pergi dari tempat ini", ucap Wanara Bungkul dengan penuh ketakutan. Mendengar ucapan itu, semua orang segera berdiri.
"Kau mau pergi dengan segala pikiran pengecut mu itu atau tetap tinggal di sini dan menghadapi tantangan ini bersama sama, Bungkul?", sahut Tumenggung Jaran Gandi memotong pembicaraan.
"Tapi Gusti Tumenggung...", ujar Wanara Bungkul yang wajahnya sudah memucat.
"Tidak ada tapi tapian. Diam disini saja. Kalau kau berani melangkah satu langkah saja keluar dari pondok kayu ini maka kau bukan prajurit Kadipaten Kurawan lagi", ancam Bekel Menjangan Kalung segera.
Mendengar ancaman itu, Wanara Bungkul langsung diam. Para prajurit Kadipaten Kurawan diam diam menempatkan tangan mereka pada gagang senjata masing-masing.
Thhiinnggg..
Thiiinggg!!
Suara langkah kaki kuda dan lonceng berdentang itu semakin mendekat. Suasana semakin tegang diantara para prajurit Kurawan dan pengikut Arya Pethak.
Di depan pondok kayu, suara langkah kaki kuda dan lonceng berhenti.
"Ada orang rupanya!"
Terdengar suara berat seorang laki-laki yang membuat semua orang bersiap siaga.
Langkah kaki terdengar mendekati pondok kayu. Saat yang menegangkan itu, Bekel Menjangan Kalung yang ada di dekat pintu langsung melesat ke arah bayangan hitam yang mendekati tempat itu seraya menusukkan kerisnya.
Shreeeeettttthhh..
Si bayangan hitam yang terkejut dengan serangan dadakan itu langsung melompat tinggi ke udara dan mendarat di dekat pintu masuk pondok kayu.
"Tunggu dulu!
Kenapa kau serang aku?", ucap si bayangan hitam yang membuat Bekel Menjangan Kalung dan para prajurit Kadipaten Kurawan menyadari bahwa yang datang adalah seorang manusia. Mereka langsung menarik nafas lega.
"Eh kau kau manusia ya? Bukan demit atau gebderuwo?", tanya Wanara Bungkul dengan cepat.
"Kurang ajar!
Tentu saja aku manusia. Buka mata kalian lebar-lebar. Ini kaki ku masih menapak tanah", ucap si bayangan hitam yang muncul tadi. Saat dia mendekat ke perapian, tampak jelas wajah keriput nya yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang kakek tua.
"Maafkan kami Kisanak..
Orang-orang ku terlalu ketakutan mendengar cerita tentang keangkeran tempat ini makanya mereka bersikap seperti itu.
Maafkan kami", ujar Tumenggung Jaran Gandi sambil membungkukkan badannya.
"Huhhhhh...
Dasar orang orang aneh. Masih hidup di samakan dengan demit", gerutu kakek tua itu yang segera duduk di depan perapian. Baju orang tua itu basah kuyup hingga dia menggigil kedinginan.
"Maafkan kami kakek tua..
Kau sendiri juga aneh. Malam buta seperti ini berkuda tanpa membawa obor atau pelita. Siapapun orangnya pasti mengira kau hantu. Apalagi bunyi lonceng mu itu mirip lonceng yang di gunakan pandita pada upacara kematian", ujar Arya Pethak yang mendapat berkah karena Sekarwangi dan Paramita memeluk erat tubuh pemuda tampan itu. Dua gadis cantik itu benar-benar ketakutan.
Bekel Menjangan Kalung segera menyarungkan keris di pinggangnya, begitu juga para prajurit Kadipaten Kurawan yang sudah bersiap untuk bertarung akhirnya kembali duduk melingkari api unggun yang di buat oleh Klungsur.
"Kau ini mau kemana kisanak? Hingga malam begini masih kemalaman di jalan seperti ini", tanya Gajah Wiru yang penasaran dengan orang tua itu.
"Sebenarnya aku ingin mencari murid ku. Aku mendengar kabar bahwa dia telah membunuh beberapa tokoh aliran putih. Aku ingin menghentikan nya dan membawanya kembali ke pertapaan ku di Gunung Wilis.
Apakah kalian pernah bertemu dengan seorang lelaki berwajah pucat dengan rambut panjang yang hampir menutupi seluruh wajahnya?", tanya kakek tua itu seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling nya.
"Tunggu dulu,
Bukankah tadi siang sewaktu kita melintas di Pakuwon Binangun, kita mendengar tentang pembantaian di rumah makan? Bukankah itu ciri ciri pelakunya?", ucapan Bekel Menjangan Kalung langsung membuat semua orang tersadar. Kakek tua renta ini adalah guru Iblis Golok Pucat yang telah membunuh orang orang Padepokan Gunung Hijau.
"Kakek tua,
Murid mu baru saja membunuh beberapa orang di wilayah Pakuwon Binangun tadi beberapa hari yang lalu.
Mungkin murid mu masih ada di sekitar tempat itu kalau kau ingin bertemu dengan nya", ujar Tumenggung Jaran Gandi sambil menghela nafas panjang.
"Terimakasih atas kabar yang kau berikan, kisanak.
Ijinkan aku ikut bergabung bersama kalian untuk malam ini disini. Besok pagi akan ku teruskan mencari keberadaan Lembu Awu.
Oh iya sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Mpu Sasi dari Gunung Wilis", kakek tua itu tersenyum tipis. Gurat sepuh terlihat jelas dari wajahnya.
"Mpu Sasi dari Gunung Wilis?
Bukankah itu nama orang yang berjuluk sebagai Dewa Golok Awan dari Gunung Wilis?", tanya Bekel Menjangan Kalung yang terkejut setengah mati mendengar kata kakek tua yang bernama Mpu Sasi itu.
"Ah itu hanya julukan waktu aku masih muda. Sekarang aku sudah tua dan Golok Awan sudah ku wariskan pada Lembu Awu.
Karena tanggung jawab itulah aku mencari Lembu Awu untuk meminta kembali Golok Awan agar tidak di gunakan untuk berbuat kejahatan", jawab Mpu Sasi seraya tersenyum simpul.
"Rupanya kau benar-benar orang berilmu tinggi, Mpu Sasi.
Mohon maafkan tindakan ku tadi yang menyerang mu", Bekel Menjangan Kalung menghormat pada Mpu Sasi segera.
"Sudahlah tak perlu di bicarakan lagi. Sebaiknya kita bicara hal yang lain saja.
Nah kalau boleh tau, kalian ini mau kemana?", tanya Mpu Sasi yang mengalihkan pembicaraan.
Mereka terus mengobrol hingga larut malam. Arya Pethak masih tetap terjaga sedangkan Sekarwangi tidur berbantal paha kirinya. Paramita pun tidur di samping paha kanan Arya Pethak. Klungsur pun sudah mendengkur di sudut pondok kayu.
Malam segera berganti pagi. Meski sinar matahari hanya mampu menerobos celah celah awan untuk sampai ke bumi, namun cukup mampu untuk menghangatkan udara yang dingin.
Sekarwangi menggeliat dari tidurnya. Saat membuka mata, dia melihat Arya Pethak tertidur sambil duduk. Melihat lelaki tampan itu merelakan pahanya untuk bantal tidur nya semalam suntuk, Sekarwangi tersenyum manis.
Pagi itu mereka segera mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Mpu Sasi yang hendak berpamitan kepada rombongan pasukan Kadipaten Kurawan langsung menoleh ke arah Utara. Serombongan orang berkuda dengan tampang seram seperti orang jahat mendekati pondok kayu tempat mereka beristirahat.
Setelah mendekat barulah kelihatan siapa mereka. Rupanya mereka adalah orang-orang Kelompok Kelabang Ireng yang dipimpin oleh Walang Sangit dengan diikuti oleh Mahesa Paku dan beberapa orang anak buah pilihan.
"Sungguh suatu kebetulan. Dewa Siwa benar benar berpihak kepada ku. Tak perlu repot-repot mencari, eh orang nya ada disini hahahaha", tawa menggelegar terdengar dari mulut Walang Sangit.
"Orang-orang Kelabang Ireng..
Kalian rupanya yang datang. Mau apa kalian kemari?", hardik Tumenggung Jaran Gandi dengan suara keras. Dari dulu dia tidak suka dengan orang orang kelompok pengacau keamanan seperti mereka.
"Kedatangan kami sudah jelas. Kalian bukan yang membunuh Kebo Gunung dan anak buah nya?
Hari ini kami akan membuat perhitungan dengan kalian semua terutama orang yang membunuh Kebo Gunung", ujar Walang Sangit yang segera melompat turun dari kudanya diikuti oleh Mahesa Paku dan anak buah Kelompok Kelabang Ireng.
"Akan ku ladeni kemauan mu, hai orang orang Kelabang Ireng. Akulah yang membunuh Kebo Gunung", ucap Bekel Menjangan Kalung yang segera meraih gagang pedang di pinggangnya.
"Kau?
Huahahahahahaha....
Cecunguk seperti mu tidak akan mampu menghabisi nyawa Kebo Gunung. Aku sudah tau siapa pembunuh Kebo Gunung dari Bango Ireng", Walang Sangit mendelik tajam ke arah Arya Pethak dan segera menunjuknya.
"Dia orangnya!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ikuti terus kisah selanjutnya kak 😁
Yang suka silahkan tinggalkan jejak kalian dengan like 👍, vote ☝️, favorit 💙 dan komentar 🗣️ nya yah 😁
Selamat membaca 😁😁🙏🙏😁😁