NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

" Lamaran "

Langit Paris malam itu tampak seperti lukisan Tuhan yang sedang tersenyum. Bintang-bintang berkerlip di atas Menara Eiffel yang berdiri anggun, seolah sedang menjadi saksi bisu peristiwa penting dua manusia yang datang dari dunia yang berbeda—tapi dipertemukan oleh nasib yang sama.

Liana duduk bersila di atas rumput, mengenakan sandal hotel yang tak semewah tamu-tamu lain, namun terasa lebih jujur, lebih membumi. Angin musim semi membelai rambutnya pelan, seperti ibu yang menenangkan anaknya sebelum tidur.

Di sampingnya, Johan menarik napas. Ia menyelipkan tangannya ke dalam jaket dan mengeluarkan sebungkus kecil dari kain beludru tua. Tak ada kotak cincin, tak ada kilau emas atau berlian. Hanya sesuatu yang tampak biasa, tapi memuat seluruh semesta di dalamnya.

Liana menoleh dengan alis terangkat. “Apa itu?”

“Coba buka,” kata Johan, lirih, tapi pasti.

Dengan ragu-ragu, Liana membuka gulungan kain itu. Di dalamnya, sebuah kertas tua yang warnanya seperti daun jatuh di musim gugur. Ada tulisan tangan Johan di sana. Rapi, tapi gemetar. Tertulis dengan tinta keberanian yang ia kumpulkan dari luka, tawa, dan perjalanan panjang mereka.

Liana mulai membaca:

> “Aku tidak tahu nama pasti dari rasa ini, tapi aku percaya orang-orang menyebutnya jatuh cinta. Rasa yang tumbuh diam-diam, setelah sekian lama tanahnya kering, setelah lama tak ada yang berani menanam benih.”

> “Aku pun tak tahu cara melamar seseorang yang hidupnya pernah menyatu dengan sunyi hutan, yang langkahnya lebih jujur dari beton kota, dan yang tawanya mampu meredam badai dalam dadaku.”

> “Tapi kalau kau bersedia, aku ingin kita membangun rumah yang tak punya pagar. Kita tanam pohon jambu di depan, bunga liar di belakang, dan jangan lupa tanaman Mandragora—yang pernah menyelamatkan kita.”

> “Tak perlu pesta. Tak usah gaun mahal. Cukup satu janji. Janji yang akan jadi tiang pancang hidup kita. Seperti akar Mandragora itu, yang tak terlihat, tapi memeluk tanah dengan kuat.”

> “Kalau kau setuju, balikkan kertas ini.”

Liana menggigit bibir. Matanya berkaca. Tanpa suara, tangannya bergetar saat membalikkan kertas itu.

Tertulis satu kalimat:

"Nikah yuk?"

Dan di sampingnya, ditempelkan sebuah gantungan kecil dari akar Mandragora, berbentuk seperti manusia mini. Bukan sekadar benda, tapi simbol dari pertemuan mereka di titik tergelap hidup—dan dari situlah mereka bertumbuh.

Liana memandang Johan. “Ini... ini lamaran paling gila yang pernah aku lihat. Bahkan di film yang aku tontonpun belum pernah ada yang seperti ini.”

Johan menyeringai. “Gila, tapi serius.”

Liana menggeleng, lalu membuka ranselnya. Ia mengeluarkan kalung dari akar pohon tua, buatan tangannya sendiri—dibuat di sebuah batu besar di tepian sungai, tempat pertama kali mereka saling mengenal.

Ia mengalungkannya ke leher Johan.

“Kalau kamu punya keberanian melamarku pakai akar, maka aku jawab dengan akar pula. Biar alam yang jadi saksinya. Biar langit yang mencatat.”

Mereka tak berkata apa-apa lagi. Hanya duduk bersebelahan, menatap langit malam yang mulai dingin. Menara Eiffel berkedip lembut, seperti ikut mengangguk pelan.

Tak ada “Will you marry me?” Tak ada “Yes, I do.”

Hanya seutas akar dan sehelai kalung.

Dan di antara dua benda itu, dua dunia berdamai: kota dan hutan.

Dan dua hati—yang sempat hilang arah—akhirnya menemukan rumah.

~

Pagi itu, Paris belum sepenuhnya bangun. Kabut tipis masih malas bergeser di antara atap-atap tua. Udara menggigit pelan. Seolah kota ini ingin berkata: tenang saja, tak perlu buru-buru.

Di sudut Rue Montorgueil, di bawah terpal kafe kecil berwarna cokelat pudar, Johan dan Liana duduk berdampingan. Meja bundar kecil di depan mereka basah sedikit oleh embun, dihiasi dua cangkir espresso dan sepiring croissant yang belum disentuh.

Liana menatap kosong ke roti itu, lalu berkata lirih, “Pagi ini rasanya... aneh.”

Johan menoleh sekilas, tangannya masih memegang cangkir. “Aneh gimana?”

“Kayak masih nunggu alarm bunyi. Nunggu seseorang datang nyubit pipi. Ternyata... semuanya nyata.”

Johan mengangkat alis. “Kita benar-benar duduk di sini. Dan kedinginan.”

Liana tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena ia paham, Johan memang tak pandai merangkai kalimat romantis. Tapi justru karena itulah—kalimatnya selalu terasa nyata.

“Jo,” bisiknya pelan. “Nanti, kalau semua ini berubah... aku harap kamu tetap jadi Johan. Yang berpihak ke orang kecil. Yang nggak gampang jatuh cinta, tapi sekali jatuh, serius setengah mati.”

Johan menatapnya. Dalam diam, ia mengangguk. “Dan kamu tetap jadi kamu. Yang kalau lapar bisa salah masuk ruang rapat, nyelonong duduk padahal itu pertemuan dewan direksi.”

Liana tertawa sampai menepuk pahanya sendiri. “Itu sekali, Jo! Dan itu juga salah satunya karena kamu lupa ngingetin.”

“Jadi kita udah pacaran, nih?” tanya Liana sambil mencubit lengan jaket Johan. “Kayak Kalmi dan Desi yang bucin itu? Yang kamu ejek setiap bertemu?”

Johan menyesap kopi, lalu berkata datar, “Kayaknya iya. Tapi semoga kita nggak se-bucin itu.”

Liana tertawa lagi. “Semoga? Kamu tuh romantisnya kayak batu nisan.”

Johan hendak membalas, tapi langkah tergesa memotong pagi itu. Seorang pria berjas panjang mendekat cepat, langkahnya berat tapi teratur.

“Johan!” serunya.

Johan menoleh. “Pierre?”

Pierre sampai di meja mereka, napasnya sedikit terengah. “Maaf. Rapat dimajukan. Investor Qatar mendarat lebih awal. Anda ditunggu di Hôtel de Ville sekarang.”

“Sekarang?” Johan mendecak kecil.

Pierre mengangguk. “Mr. Laurent sudah tanya Anda tiga kali. Dan Anda tinggalkan ponsel di ruang kerja.”

Ia menyerahkan ponsel itu ke Johan. Layarnya berkedip.

Johan menatap Liana. Tak berkata apa-apa.

Liana membaca sorot matanya, lalu berkata lembut, “Pergi, Jo. Dunia kamu masih butuh kamu.”

Johan berdiri. Ia ragu sebentar, lalu menarik secarik kertas dari saku jaketnya. Kalung buatan Lia yang semalam dipeluk langit Eiffel.

“Aku bawa ini ya. Buat pengingat. Kalau nanti suasana jadi terlalu ribut... aku masih punya alasan buat diam.”

Liana mengangguk pelan. “Jangan lupa makan siang.”

“Kalau Pierre ingetin, pasti ingat.”

Pierre menoleh dengan ekspresi datar. “Saya ini bukan alarm pengingat makan siang.”

Mereka bertiga tertawa sebentar. Tapi seperti embun pagi, tawa itu cepat menguap.

Johan melangkah pergi. Tak menoleh. Tapi langkahnya pelan, seperti ingin menyimpan tiap detik.

Liana diam di tempat. Menatap punggungnya sampai menghilang di tikungan. Ia menatap meja kecil itu: kopi yang mulai dingin, croissant yang masih utuh, dan embun yang mulai mengering.

Ia menghela napas panjang. Hatinya tenang.

Karena ia tahu, sesuatu telah tumbuh.

Bukan janji, bukan kata-kata. Tapi akar.

Akar yang kecil, tak kelihatan. Tapi kalau dibiarkan hidup, ia akan menembus apa pun. Termasuk hati paling keras sekalipun.

Dan hari ini, akar itu resmi mulai tumbuh.

Perlahan lahan. Tapi terus menguat.

1
Mika
kejar kejaran yang dag Dig dug serr
Lara12
makin seru aja ceritanya nih/Scream/
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!