Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Nasib Si Pelit dan Rahasia yang Terjaga
Varo hanya bisa berdiri mematung saat melihat Ibu Sarah dengan cepat menyambar seluruh tumpukan uang gajinya. Wajah Varo tampak pucat, ada rasa ingin protes tapi lidahnya seolah kelu. Dia tahu betul, kalau dia berani membantah satu kata saja, Ibu Sarah akan mengeluarkan jurus andalannya: mengungkit jasa-jasa membesarkan Varo sampai sukses. Akhirnya, Varo hanya bisa menarik napas panjang dan membiarkan dompetnya dikuasai penuh oleh ibunya.
Ibu Sarah tidak membuang waktu. Dengan langkah seribu, dia langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Dia duduk di pinggir kasur, lalu mulai menghitung lembaran uang merah itu dengan mata yang berbinar-binar.
"Wah, rezeki nomplok ini namanya! Banyak juga ternyata jatah bulan ini," gumam Ibu Sarah sambil menjilat ujung jarinya agar lebih mudah menghitung uang.
"Totalnya ada lima juta tujuh ratus ribu. Mantap! Ini bisa buat aku belanja baju baru, perhiasan juga mungkin. Nah, sisanya yang sejuta ini buat uang dapur rumah. Hahaha, rasain kamu Aini! Sekarang kamu nggak bakal pegang uang sepeser pun. Biar kamu tahu gimana rasanya jadi pengemis di rumah sendiri kalau nggak punya duit!"
Ibu Sarah merasa di atas angin. Dia membayangkan Aini akan datang merengek padanya meminta uang untuk membeli keperluan pribadi.
Namun, di luar dugaan, Aini sama sekali tidak merasa kehilangan. Malahan, dia merasa beban di pundaknya terangkat. Selama ini Aini lelah harus mengatur uang yang pas-pasan dari Varo untuk memberi makan orang serumah yang makannya banyak tapi tidak tahu terima kasih. Aini sendiri memiliki tabungan rahasia yang jumlahnya berkali-kali lipat dari gaji Varo, ditambah lagi usaha rumah makannya sedang meledak pesanannya. Uang sejuta dari Varo itu benar-benar tidak ada artinya bagi Aini sekarang.
Sore harinya, saat Aini sedang duduk santai di teras menikmati semilir angin, Ibu Sarah datang menghampiri dengan dagu yang terangkat tinggi.
"Ngapain kamu duduk di situ senyum-senyum? Oh, Ibu tahu... Pasti lagi akting ya? Padahal aslinya kamu lagi nangis dalam hati karena uang belanja sekarang Ibu yang pegang, kan?" ejek Ibu Sarah sambil melipat tangan di dada dengan gaya angkuh.
Aini menoleh perlahan, dia memberikan senyum yang sangat manis, jenis senyum yang biasanya membuat Ibu Sarah curiga.
"Loh, kenapa harus sedih, Bu? Justru Aini mau ngucapin terima kasih banget sama Ibu. Akhirnya Ibu mau bantu nanggung beban mikirin menu setiap hari. Memasak buat orang sekeluarga dengan uang segitu itu butuh keahlian khusus, Bu. Aini seneng banget karena sekarang Ibu yang bakal buktiin keahlian itu. Ibu hebat ya, berani ambil tanggung jawab sebesar itu dengan uang yang... yah, terbatas," jawab Aini dengan nada yang sangat tenang namun menusuk.
Ibu Sarah langsung melotot, matanya hampir keluar.
"Halah, nggak usah sok kuat! Kamu pasti lagi pusing mikirin gimana mau beli bedak sama baju baru, kan? Makanya, jadi istri itu yang becus, jangan cuma bisa dandan tapi nggak bisa nyenengin suami, sampai suami sendiri lebih percaya uangnya dipegang Ibu!"
Aini berdiri perlahan, dia menatap mata mertuanya tanpa rasa takut.
"Terserah Ibu mau menilai gimana. Tapi Aini beneran bersyukur kok. Oh iya, sekadar tips aja ya, Bu. Jangan kaget kalau nanti di pasar uangnya tiba-tiba habis padahal belanjaannya baru sedikit. Inget loh, harga bahan makanan di Jakarta lagi gila-gilaan. Selamat pusing-pusing ria ya besok pagi di pasar, semoga Ibu nggak darah tinggi pas denger harganya, hehe," ucap Aini sambil tertawa kecil lalu masuk ke kamar tanpa menunggu balasan mertuanya.
"Dasar menantu kurang ajar! Lihat saja besok, aku bakal buktiin kalau aku bisa belanja lebih banyak dari kamu!" teriak Ibu Sarah yang mukanya sudah merah padam karena kesal.
Besok paginya, tepat jam 5 subuh, suasana rumah sudah gaduh. Ibu Sarah ingin membuktikan bahwa dia adalah ratu belanja yang paling hemat.
Brak! Brak! Brak!
"Ainiii! Bangun kamu! Ini sudah jam lima lewat, matahari hampir nongol!" teriak Ibu Sarah sambil menggedor pintu kamar Aini sekuat tenaga.
Aini membuka pintu dengan wajah yang masih mengantuk tapi terlihat santai.
"Ada apa sih, Bu? Pagi-pagi sudah teriak-teriak kayak orang lagi kebakaran jenggot saja. Ketuk pintu yang sopan sedikit kan bisa, Bu."
"Makanya jangan jadi pemalas! Istri macam apa kamu ini, jam segini masih molor! Ayo bangun, antar Ibu ke pasar sekarang juga!" perintah Ibu Sarah seenaknya.
"Loh, kan uangnya di Ibu. Kenapa harus Aini yang antar? Biasanya kan Ibu bilang Aini boros kalau ke pasar. Ya sudah, Ibu berangkat sendiri saja biar lebih puas belanjanya," sahut Aini sambil bersandar di kusen pintu.
"Kamu ini selalu saja menjawab kalau dikasih tahu! Sudah, jangan banyak alasan. Cepat ambil kunci motor! Ibu nggak mau ya nanti di pasar kehabisan barang bagus gara-gara kamu telat bangun!"
Aini hanya memutar bola matanya. Dengan terpaksa dia mengambil kunci motor. Dia pikir bisa libur ke pasar, eh ternyata tetap saja dijadikan sopir gratisan.
Sesampainya di pasar, Ibu Sarah langsung disambut dengan realitas yang pahit. Ternyata perkataan Aini benar-benar terbukti. Semua harga barang naik dua kali lipat. Ibu Sarah mulai berkeringat dingin melihat label harga.
Aini hanya mengikuti dari belakang, membawa tas belanjaan kosong sambil memperhatikan tingkah mertuanya yang mulai panik.
"Bang, daging sapi paha belakang ini sekilo berapa?" tanya Ibu Sarah ke tukang daging langganan Aini.
"Daging sapi paha belakang 145 ribu sekilo, Bu. Kalau yang has dalam malah 160 ribu. Mau ambil berapa kilo, Bu?" jawab si tukang daging sambil mengasah pisaunya.
"Apa?! 145 ribu?! Kamu jangan bercanda ya, Bang! Daging begini saja kok harganya kayak harga emas! Kamu pasti mau nipu saya karena saya baru belanja di sini ya?" semprot Ibu Sarah dengan suara lantang.
Tukang daging itu langsung menghentikan kegiatannya dan menatap Ibu Sarah dengan tatapan tidak suka.
"Aduh Ibu, ini harga pasar, bukan harga karangan saya. Ibu lihat saja di sana, malah ada yang jual 150 ribu. Kalau Ibu mau yang murah, ya beli kaki sapi saja sana buat sop."
"Nggak bisa gitu dong! Saya tawar 80 ribu saja sekilo! Itu sudah harga yang sangat adil menurut saya. Bagaimana? Mau tidak?" ucap Ibu Sarah dengan nada memaksa.
Tukang daging itu tertawa terbahak-bahak sampai perutnya terguncang.
"80 ribu? Ibu mending ke pasar hantu saja kalau mau harga segitu! Modal saya saja tidak dapat, Bu! Ibu kalau mau beli silakan, kalau mau nawar nggak masuk akal mending cari tempat lain saja. Jangan ganggu orang jualan!"
"Dasar pedagang tidak jujur! Kamu pasti mau cari untung selangit ya! Ayo Aini, kita pergi cari tempat lain. Ibu yakin masih ada yang jualan jujur di pasar sebesar ini," ajak Ibu Sarah sambil menarik tangan Aini dengan kasar.
Aini hanya bisa menahan tawa sampai perutnya sakit.
"Bu, sudah Aini bilang kan, harganya memang segitu. Nggak bakal ada yang jual di bawah seratus ribu untuk daging sapi segar sekarang ini."
Hampir satu jam mereka berkeliling, dan hasilnya nihil. Ibu Sarah mulai kelelahan, kakinya terasa mau copot, dan emosinya sudah di puncak kepala.
"Kok bisa sih pasar ini isinya orang pelit semua? Tidak ada yang mau kasih harga murah!" keluh Ibu Sarah sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.
"Ya memang begitu kenyataannya, Bu. Ibu jangan samain harga di sini dengan harga sapi di kampung sepuluh tahun yang lalu. Zaman sudah berubah, Bu," kata Aini.
"Diam kamu! Kamu pasti sengaja kan bawa Ibu ke sini supaya Ibu susah? Kamu pasti sudah kerja sama sama tukang daging itu buat nipu Ibu, kan?" tuduh Ibu Sarah asal bicara karena malu.
"Aduh, tuduhan Ibu kreatif sekali ya. Ini pasar paling dekat, dan aku belanja di sini tiap hari. Kalau Ibu nggak percaya, besok Ibu belanja saja sendiri naik ojek, biar Ibu tahu rasanya," jawab Aini ketus.
Akhirnya dengan wajah yang sangat masam, Ibu Sarah terpaksa membeli daging dengan harga normal. Dia belanja cukup banyak sampai Aini kewalahan membawanya ke parkiran.
Pas sampai di rumah, Varo sudah mondar-mandir di depan pintu dengan wajah lapar. "Ibu dari mana saja sih? Ini sudah jam 7 lewat, Varo sudah telat ke kantor nungguin sarapan!"
"Kamu ini bisanya cuma nuntut saja! Matamu nggak lihat apa Ibu capek begini bawa belanjaan segini banyak demi kamu?" semprot Ibu Sarah yang masih menyimpan amarah dari pasar.
"Lama sekali, Bu. Biasanya jam 6 lewat sedikit sarapan sudah siap kalau Aini yang belanja," keluh Varo lagi.
"Ya sudah, kalau telat kamu sarapan di kantor saja sana! Ibu capek, mau istirahat dulu! Suruh saja istri kamu yang masak, itu kan bahan-bahannya sudah ada!" teriak Ibu Sarah sambil melempar tas belanjaan ke lantai dan langsung duduk berselonjor di sofa.
"Percuma aku masak sekarang juga nggak bakal keburu, Mas. Kamu makin telat yang ada. Makanya, jangan terlalu pelit sama istri kalau nggak mau hidupmu jadi berantakan begini," sahut Aini santai sambil membawa belanjaan ke dapur.
Varo hanya bisa diam, perutnya keroncongan tapi dia harus segera berangkat agar tidak kena potong gaji.
"Ya sudah, aku berangkat dulu. Aini, tolong nanti masakin yang enak buat makan malam!"
Pas Aini lagi di dapur memilah belanjaan, Cilla datang sambil mengucek matanya, tampak baru bangun tidur.
"Mbak, sarapannya mana? Kok di meja makan kosong melongpong sih? Aku sudah lapar nih, kasihan bayiku."
"Belum matang. Kalau lapar, masak saja sendiri itu telur ada," jawab Aini pendek tanpa menoleh sedikit pun.
"Duh, ketus banget sih jawabannya. Lagi dapet ya, Mbak? Atau lagi stres gara-gara nggak pegang duit lagi?" tanya Cilla dengan nada mengejek yang sangat kentara.
"Bukan urusan kamu. Mending kamu jaga saja perutmu itu baik-baik, jangan sampai nanti pas semuanya terbongkar, kamu nggak punya tempat buat lari," balas Aini dengan nada dingin yang membuat Cilla sedikit merinding.
BERSAMBUNG...