Mempertahankan kebahagiaan pernikahan nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Terkadang apa yang telah diusahakan tidak dinikmati sepenuhnya.
“Tetaplah bersama denganku, jauh darimu rasanya setiap napas berhenti perlahan. Aku mampu kehilangan segalanya asal bukan kamu, Sonia.”
_Selamanya Kamu Milikku 2_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Sakit Demam
Beberapa tahun kemudian...
Fian menemani Naima jalan-jalan pagi di sekitaran komplek perumahan bersama dengan Rayyan, sebulan lagi Naima akan melahirkan anak kedua mereka.
Setelah menikah dengan Naima, mereka memutuskan untuk tinggal di Budapest, Hungaria. Di sana Fian mengelola bisnis restoran, cafe, serta hotel. Fian dan Naima sudah di karuniai seorang putra tampan, hasil buah cinta mereka berdua.
"Papa, sampai kapan perut ummi kempes lagi?" Rayyan bertanya pada Fian sambil menatap perut ummi nya.
"Loh kenapa memangnya?" tanya Fian balik.
"Soalnya aku merasa sesak nafas melihat perut ummi yang semakin besar begitu," tawa Fian dan Naima pecah mendengar ocehan putra mereka.
"Ya sampai adik kamu lahir nak, baru nanti perut ummi kempes lagi, dulu waktu kamu di dalam perut juga ummi begini."
"Hah? Aku juga di dalam perut ummi dulu pa?"
"Iyalah, emang di mana kamu sebelumnya kalau bukan di dalam perut ummi kamu," ujar Fian.
Rayyan menghentikan langkahnya dan menatap perut Naima dengan seksama, dia mengukur perut Naima lalu melihat dirinya.
"Bagaimana mungkin aku muat dalam perut ummi," celoteh anak itu, Fian tak kuasa lagi menahan tawanya lalu menggendong Rayyan dan mengecup kedua pipi Rayyan.
"Kamu nggak sebesar ini saat dalam perut ummi nak, kalau sebesar ini bisa-bisa ummi kamu sekarat."
"Jadi sebesar apa pa?"
"Nanti kamu akan tau saat melihat adikmu lahir." Rayyan hanya mengangguk dan tidak bertanya lagi.
"Sayang, hari ini kamu mau USG kan?" Fian memegang pinggang Naima.
"Nanti saja kalau kamu udah nggak sibuk lagi, sekarang mendingan kamu fokus aja sama kerjaan kamu dulu." Fian mengecup kening lalu bibir istrinya dengan lembut.
Naima istri yang sangat sempurna bagi Fian, tutur katanya lembut, sikapnya manja, menerima apapun yang Fian berikan serta tidak terlalu banyak menuntut dan menjadi istri yang qona'ah hingga rezeki mereka yang berlimpah ruah, Fian sangat mencintai Naima, sampai detik ini dia tidak memberitahukan mengenai pernikahan singkatnya dengan Syena dulu.
Fian dan Syena tidak pernah berkomunikasi sama sekali, mereka benar-benar bagai orang yang tidak mengenal satu sama lain. Bahkan Fian maupun Syena tidak saling mencari tahu kehidupan masing-masing.
Terkadang rasa bersalah di hati Fian selalu ada ketika melihat Naima, dia begitu takut untuk memberitahu Naima karena dia tidak ingin Naima meninggalkan dirinya.
"Ya Allah pinggang aku sakit banget," keluh Naima sehabis jalan-jalan pagi, dia selonjoran di atas sofa, kaki Naima di pijat lembut oleh Rayyan. Fian mengusap pelan punggung dan perut Naima, memberikan kehangatan dan kenyamanan pada Naima.
"Ummi, apa ummi sering sakit seperti ini ketika aku di dalam perut ummi?" Naima tersenyum dan mengusap wajah putranya.
"Namanya juga ada makhluk hidup di dalam perut ummi, kadang dia gerak-gerak, nendang, makanya sakit tapi sakit seperti ini tidak masalah sayang, dengan kehadiran kalian dalam hidup ummi membuat semua sakit itu hilang," jawab Naima lembut.
"Tapi aku kasihan lihat ummi begini, apa tidak bisa gantian sama papa aja?" Fian dan Naima terkekeh merespon pertanyaan anak mereka.
"Ummi ini istimewa sayang, dengan semua rasa sakit yang ummi alami selama mengandung, itu akan berubah menjadi pahala yang berlipat ganda, makanya surga itu di bawah telapak kaki ibu." ujar Fian pada Rayyan, dengan cepat Rayyan membuka kaus kaki yang dikenakan oleh Naima saat keluar rumah tadi lalu memperhatikan telapak kaki putih Naima.
"Mana surganya pa?" tanya Rayyan heran, Naima hanya geleng-geleng dan mencoba untuk berdiri.
"Kamu mau ke mana sayang?"
"Udah hampir jam 7 pagi, kamu harus siap-siap ke kantor kan, aku akan menyiapkan pakaian untuk kamu," jawab Naima.
"Kamu duduk aja, aku nggak mau kamu terlalu kecapean."
"Hamil tua begini ya harus banyak gerak, supaya persalinan aku nanti lancar seperti lahiran pas Rayyan dulu."
"Oke, tapi kamu jangan terlalu lelah ya, bisa bahaya juga untuk kondisi kamu."
"Iya aku tau."
...***...
Fian hanya tinggal bersama dengan anak dan istrinya saja, Naima tidak ingin banyak pelayan di rumahnya, yang ada di rumah itu hanyalah satpam dan tukang kebun saja itupun tidak menginap.
Sedangkan untuk melakukan pekerjaan rumah dan lainnya dikerjakan sepenuhnya oleh Naima, jika Fian sedang tidak bekerja maka Fian akan ikut membantu.
Fian dan Naima bersiap untuk tidur namun terdengar pintu kamar di ketuk dan suara Rayyan terdengar jelas di balik pintu memanggil kedua orang tuanya.
Fian membuka pintu, dia melihat Rayyan berdiri di depan kamar dengan wajah memerah dan mata yang sayu, Fian jongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Rayyan lalu meraba kening anak usia 3 tahun itu.
"Badan kamu panas banget nak." Naima yang tadinya tiduran langsung bangun dan mendekati Rayyan, dia ikut meraba kening putranya dan benar saja, badan Rayyan sangat panas. Tak berpikir lama lagi, Fian menggendong Rayyan untuk dibawa ke rumah sakit, diiringi oleh Naima.
Sepulangnya dari rumah sakit, Rayyan tidur bersama dengan kedua orang tuanya, badannya masih panas, Fian membuka baju hingga menampakkan tubuh sixpacknya itu lalu memeluk Rayyan hingga tertidur, di tengah malam suhu tubuh Rayyan sudah mulai turun.
***
Keesokan paginya suhu tubuh Rayyan terasa begitu panas, dia demam tinggi dan kejang hingga Naima harus membawanya ke rumah sakit, dia belum memberitahu suaminya karena saat ini Fian ada pertemuan penting di kantor.
Untung saja di rumah sakit, Rayyan mendapatkan pertolongan dengan cepat hingga kondisi Rayyan saat ini bisa tertolong. Anak itu hampir saja step, semalam dia memang sudah demam, tapi setelah diberikan paracetamol dan obat yang diberi dokter demamnya turun dan setelah kepergian Fian pagi ini, demam Rayyan kembali naik.
"Rayyan tidak apa-apa, dia hanya butuh dirawat sekitar dua hari di sini." Dokter itu berkata dengan lembut dan tenang pada Naima, karena dia tahu saat ini Naima sedang stres dan hamil besar.
"Terima kasih dokter."
"Kalau begitu saya permisi, Rayyan harus banyak makan buah dan minum air putih agar cairan di tubuhnya bisa kembali." Naima mengangguk dan menatap kepergian dokter tersebut lalu mengusap lembut kepala putranya.
"Ummi sangat cemas nak, ummi udah nggak tau lagi harus ngapain saat melihat kamu kejang seperti tadi." Suara Naima yang lembut membuat Rayyan tersenyum lalu tangan mungilnya terangkat menyentuh wajah sang ibu.
"Maaf ummi, Rayyan sudah buat ummi cemas." Naima menciumi wajah anaknya itu dengan air mata yang masih terus meluncur dari kelopak mata indahnya.
“Tidak sayang, jangan minta maaf begitu.” Naima menciumi tangan putranya.