NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:717
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ARGA, SIAPA KAMU?

Pagi itu udara masih segar, meski matahari sudah mulai menembus celah-celah daun di halaman sekolah. Luna melangkah perlahan di trotoar, tas ransel tergantung di bahunya, setiap langkahnya terasa berat meski ia berusaha tersenyum. Hatinya campur aduk—antara gugup, cemas, dan sedikit harap bahwa hari ini, tentunya pasti akan berbeda.

Kami ingin tahu sekolahmu dan bicara pada gurumu perihal dukungan yang mungkin kamu butuhkan. Kami cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja dan merasa nyaman di sekolah.

Pernyataan itu seperti jembatan kecil yang kini membuatnya merasa tak lagi sendiri di dunia yang baru dan penuh tantangan ini.

Gerbang sekolah menjulang di depannya, ramai dengan suara siswa-siswi yang tertawa, bercakap-cakap, dan berjalan beriringan. Beberapa kepala menoleh saat Luna melewati, tapi ia hanya menunduk sopan, mencoba menahan detak jantungnya yang tiba-tiba berlari cepat.

Ia menarik napas dalam, lalu menapak lebih mantap. “Baiklah… ini hari pertamaku sekolah lagi,” Gumamnya pelan, seolah memberi semangat pada dirinya sendiri. "Abaikan, Luna... hiraukan!"

"Waaaah.. siapa nih," Seru seseorang dari kejauhan.

Seketika, Luna berhenti melangkah, Hatinya berdegup kencang. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, tiga sosok familiar muncul—Angel, Bela, dan Raisha. Mereka berjalan mendekat dengan langkah santai, namun tatapan mereka langsung tertuju pada Luna.

Angel menyeringai, matanya berbinar nakal. “Eh, Luna… nggak nyangka lo dateng lagi. Gue kira... kemaren lo gak masuk karena sadar diri dan lebih milih minggat dari sini,"

Bela mencondongkan tubuh, menatap Luna dari atas ke bawah dengan nada sinis, tapi ada sedikit rasa penasaran. “Masih punya muka buat datang ke sini, ya?” Ujarnya lantang, membuat beberapa pasang mata di sekitar menoleh.

Raisha hanya tersenyum tipis, menatap Luna dengan ekspresi ambigu—antara ingin menguji dan sekadar menilai.

Beberapa murid lain yang sedang berada di halaman sekolah menoleh, bisik-bisik kecil terdengar di antara mereka dan sebagian dari mereka datang mendekat. Sungguh, kehadiran Angel, Bela, dan Raisha membuat Luna seakan menjadi pusat perhatian yang tak diinginkan. Luna menunduk lebih dalam, mencoba tetap tenang meski rasa gugupnya semakin menguat.

Luna menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju, tapi geraknya seketika tertahan oleh tiga sosok di depannya. Angel, Bela, dan Raisha berdiri menghalangi jalan, tatapan mereka menempel pada Luna seolah menimbang setiap langkahnya.

Angel menyeringai, matanya menyorot penuh tantangan. "Luna... gue kan belum selesai bicara, udah main kabur aja!"

"Tahu!" Timpal Raisha. "Punya etika gak si lo?!"

Bisik-bisik murid lain mulai terdengar, beberapa menahan tawa, beberapa lagi menatap penasaran. Luna menunduk dan dirinya merasa semakin kecil.

“Hentikan!” Suara tegas itu memecah bisik-bisik di halaman sekolah.

Semua kepala menoleh, dan seketika pandangan mereka tertuju pada Arga yang berdiri di depan Angel, Bela, dan Raisha. Tubuh ketiganya kaku, ekspresi mereka jelas terkejut. Bahkan beberapa murid lain ikut menahan napas, tak menyangka Arga tiba-tiba muncul.

Luna pun demikian, langkahnya terhenti di tempat. Detak jantungnya berdentum kencang, campuran antara rasa lega dan kebingungan. Matanya menatap Arga, yang kini berdiri tegap, tatapannya tajam namun penuh ketegasan.

Seketika ingatan itu muncul—sore kemarin. Pelanggan yang memesan sebuket bunga mawar, lelaki yang tampak tenang tapi tegas, dan … betul, lelaki itu juga yang sempat menabraknya di depan ruang TU!

Arga menatap ketiganya sejenak, "Apa si mau kalian ganggu dia?!"

Angel, Bela, dan Raisha saling berpandangan, kaget dan agak kebingungan, sementara Luna merasa seolah ada tembok pelindung yang tiba-tiba muncul di sekelilingnya. Hati Luna sedikit lega, tapi juga penasaran—siapa lelaki yang sebenarnya sampai berani menghadapi mereka begitu tegas.

Angel, Bela, dan Raisha saling berpandangan, jelas masih kaget dan agak bingung menghadapi Arga. Mereka mundur pelan, menahan amarah tapi juga menimbang langkah selanjutnya.

"Arga," Gumam Angel.

“Omongan lo… semua matahin mental seseorang, tahu gak!” Suara Arga terdengar lantang, tajam, tapi tegas. Semua murid menoleh, beberapa terkesiap, termasuk Angel, Bela, dan Raisha.

“Lo bisa gak ngerasain jadi orang yang berharap hari ini bisa lebih baik dari hari sebelumnya, tapi malah disambut dengan ejekan dan sindiran seperti itu?!” Lanjut Arga, suaranya membentur udara di sekeliling. Nada tegasnya membuat ketiganya menunduk, wajah mereka memerah antara malu dan kaget.

Luna menahan napas, hatinya campur aduk antara lega dan kagum. Ia tak menyangka ada seseorang yang berani membela dirinya di depan Angel, Bela, dan Raisha dan yang lainnya.

"Lo jangan matiin cahaya orang lain hanya demi menyelamatkan cahaya lo agar lebih terang!" Lanjut Arga, nadanya setengah meninggi. "Belum puas lo nuduh Luna sebagai pencuri?!"

Angel menggertak, "Dia emang pen—"

"Lo yang udah masukin dompet lo sendiri ke tas Luna!" Potong Arga cepat.

Serentak, semua terkejut. Angel, Bela, Dan Raisha membeku sejenak, mata mereka membesar, bibirnya terkatup kaku. Angel bahkan lupa semua perbincangan licik kemarin dan pertengkarannya bersama Arga di lorong waktu itu—wajahnya berubah pucat, tangan yang tadinya menahan tas kini mengepal tanpa sadar. Sementara Luna, yang berada di tengah, hanya bisa menatap Arga dengan mata terbelalak.

"Lo lupa?!" Lanjut Arga, nadanya merendah namun penuh penekanan.

Bisik-bisik mulai terdengar di seantero kelas. Beberapa murid menahan tawa, ada juga yang menatap dengan rasa ketidakpercayaan.

Angel, Bela, dan Raisha saling bertukar pandang, sadar bahwa aksi mereka sekarang menjadi tontonan seluruh kelas. Wajah mereka memerah,bahkan tak lagi seberani tadi.

“Angel, ternyata lo pelakunya?!” Seru seorang siswa di barisan belakang.

“Gila, nggak nyangka dia sebegitu liciknya!"

"Begonya kita udah percaya bahwa si Luna emang bener pelakunya, tapi ternyata..."

Angel menggeleng, ia selangkah lebih mundur. Namun, matanya tak lepas dari sorot Arga yang semakin menatapnya tajam.

Angel menggeleng, wajahnya memerah, dan ia selangkah lebih mundur. Namun, matanya tak lepas dari sorot Arga yang semakin menatapnya tajam, seolah menegaskan bahwa satu langkah salah saja akan berakibat fatal. Bela dan Raisha menyadari hal yang sama. Tanpa sepatah kata pun, ketiganya mendadak berbalik. Langkah mereka cepat, meninggalkan tempat, meninggalkan bisik-bisik murid lain yang mulai reda dan Luna yang masih menunduk.

Beberapa murid mulai bertepuk tangan pelan, beberapa lagi berbisik kagum. Tak lama kemudian, beberapa siswa mendekati Luna dengan rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka.

“Lun… jadi bener apa yang Arga bilang? Lo bukan pencurinya?” Tanya salah satu dari mereka, suara campur antara kagum dan ingin tahu.

Luna menatap Arga, yang masih mematung sebentar tapi kini melangkah mendekat ke arahnya.

“Gue… kemarin berantem besar sama Angel,” jelas Arga, suaranya tegas tapi tenang.

Bola mata Luna membulat besar, napasnya tercekat sebentar. Tak percaya. Selama ini ia merasa sendirian menghadapi Angel, Bela, dan Raisha, tapi sekarang… Arga ternyata membelanya.

Hatinya hangat sekaligus terkejut. Ia menatap Arga yang berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun penuh wibawa, seakan memberi sinyal bahwa ia tidak perlu takut.

"Dia jujur kalau dia yang masukin dompetnya ke tas Luna. Kalian semua salah paham.” Lanjut Arga.

Murid-murid yang mendengarnya saling berpandangan, sebagian mulai tertunduk merasa bersalah, sementara beberapa lainnya mengangguk pelan. Luna merasa sedikit lega—kebenarannya akhirnya terdengar, dan kesalahpahaman itu mulai terurai.

“Maafin kita semua ya, Lun…” ungkap salah satu murid yang datang mendekati Luna, suaranya tulus tapi sedikit Canggung. “Kita semua udah nyangka lo… gimana ya, pokoknya kita salah paham selama ini.”

Beberapa murid lain ikut mengangguk, wajah mereka menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan. Bisik-bisik yang tadinya penuh cemoohan kini digantikan dengan nada ramah dan penuh penyesalan.

Luna menunduk sebentar, napasnya masih agak tercekat. Hatinya hangat, tapi ia juga merasa canggung menerima perhatian itu. Perlahan, ia hanya mengangguk dengan senyuman tipis.

Murid-murid itu tersenyum lega, beberapa saling bertukar pandang lagi, lalu perlahan meninggalkan Luna dan Arga satu per satu. Kini, halaman itu hanya menyisakan mereka berdua, berdirI dalam kebekuan yang sunyi.

"Be-benarkah yang kamu bicarakan tadi?" Ucap Luna menatap Arga, kali pertama ia bicara langsung dengan seorang lelaki.

Arga mengangguk. "Bodohnya aku tak merekam kejujuran Angel kemarin, sebagai bahan bukti untuk sekolah. Karena..."

"Karena?"

Arga menelan saliva, ia tertunduk sejenak sebelum akhirnya kembali mengangkat wajah menatap Luna. "Beberapa waktu lalu aku mendatangi ruang BK dan bicara dengan Bu Yanti perihal masalahmu dengan Angel."

Luna terkejut. Ternyata… masih ada seseorang yang peduli padanya. Hatinya berdebar, campuran antara lega dan tak percaya, seolah ada cahaya kecil yang menembus kegelapan yang selama ini ia rasakan. Arga. Begitu namanya ia sebut dalam hatinya.

"Tapi... Bu Yanti seolah menganggap masalah ini selesai." Lanjut Arga mendesis pahit. "Dunia ini memang gak adil, ya."

Luna tertunduk sejenak, dada terasa sesak. Kata-kata Arga menggema di kepalanya, mengingatkannya bahwa kadang perhatian dan kepedulian datang dari tempat yang tak terduga. Detik berikutnya, ia kembali mengangkat wajahnya memandang Arga lagi. "Ke-Kenapa kamu... melakukan ini?" Tanyanya kemudian.

Arga memalingkan wajah sejenak, menahan sesuatu yang sulit diucapkan.

“A-Arga?” Panggil Luna dengan suara ragu, napasnya sedikit tercekat.

Tiba-tiba, bel sekolah berbunyi nyaring, memecah keheningan di halaman. Kedua mata mereka bertemu lagi, namun kini terhenti sesaat oleh dering bel yang memaksa mereka kembali ke kenyataan—seolah waktu yang tepat untuk berbicara belum tiba.

“Aku pergi dulu,” Kata Arga, lalu melangkah lebih dulu, meninggalkan Luna yang masih terdiam di tempat dengan meninggalkan perasaan berat, campuran antara lega dan penasaran yang tak terjawab.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!