NovelToon NovelToon
Istri Buruk Rupa Sang Konglomerat

Istri Buruk Rupa Sang Konglomerat

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: secretwriter25

Seraphina dan Selina adalah gadis kembar dengan penampilan fisik yang sangat berbeda. Selina sangat cantik sehingga siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta dengan kecantikan gadis itu. Namun berbanding terbalik dengan Seraphina Callenora—putri bungsu keluarga Callenora yang disembunyikan dari dunia karena terlahir buruk rupa. Sejak kecil ia hidup di balik bayang-bayang saudari kembarnya, si cantik yang di gadang-gadang akan menjadi pewaris Callenora Group.

Keluarga Callenora dan Altair menjalin kerja sama besar, sebuah perjanjian yang mengharuskan Orion—putra tunggal keluarga Altair menikahi salah satu putri Callenora. Semua orang mengira Selina yang akan menjadi istri Orion. Tapi di hari pertunangan, Orion mengejutkan semua orang—ia memilih Seraphina.

Keputusan itu membuat seluruh elite bisnis gempar. Mereka menganggap Orion gila karena memilih wanita buruk rupa. Apa yang menjadi penyebab Orion memilih Seraphina?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon secretwriter25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Berpura-pura

Pagi itu, langit masih berwarna biru pucat, dibalut cahaya matahari yang baru merayap naik dari balik barisan pepohonan di halaman belakang mansion keluarga Callenora. Udara di lorong-lorong rumah besar itu masih dingin—hembusan AC dan aroma bunga lily yang selalu dipasang Evelyn setiap pagi membuat suasana terasa seperti hotel mewah yang terlalu rapi untuk ditinggali manusia.

Rumah itu sunyi, hanya terdengar langkah para pelayan yang bergerak pelan, menjaga suara agar tidak berisik dan mengganggu pemilik mansion.

Pintu kamar Sera terbuka tiba-tiba setelah dua ketukan pelan. Sera, yang baru selesai merapikan rambutnya di depan cermin, menoleh cepat karena kaget.

“Sera…” suara itu terdengar lembut—terlalu lembut untuk ukuran seseorang yang selama hidupnya tidak pernah menggunakan nada begitu pada Sera. "Sudah bangun, ya?”

Selina berdiri di ambang pintu. Rambutnya tergerai rapi, ikal naturalnya tampak sengaja ditata agar tidak tampak berlebihan. Wajahnya dipoles makeup tipis, hanya sedikit blush dan lip tint merah muda. Senyumnya lembut dan sangat manis, bahkan. Senyum yang tidak pernah, sekalipun, ia berikan kepada Sera selama dua puluh tahun hidup mereka.

Sera membeku sejenak, jantungnya berdegup cepat. Ia tidak percaya begitu saja. Tidak mungkin ia percaya begitu saja. Selina jarang mengetuk pintu, lebih sering menerobos masuk, marah-marah, atau mencari alasan untuk menyuruh Sera mengerjakan sesuatu.

Namun pagi ini… dia mengetuk pintu dan tersenyum.

“Kau… ada apa?” Sera bertanya hati-hati.

Selina melangkah masuk dan menutup pintu pelan, seolah mereka sedang berbagi rahasia. “Aku mau mengajakmu sarapan,” ucapnya.

Alis Sera terangkat sedikit. “Sarapan? Kita berdua?”

"Tentu saja bersama Papa dan Mama juga. Aku pikir… sudah saatnya kita mulai memperbaiki hubungan.” Selina tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, namun tetap terasa seperti senyum yang baru ia kenakan hari itu. Seperti gaun baru yang belum pas, masih kaku, tapi berusaha tampak sempurna.

Sera menelan ludah. “Sel… ini mendadak sekali.”

“Aku tahu.” Selina mengangkat kedua tangannya, menatap Sera seolah benar-benar menyesal. “Dan aku minta maaf. Aku terlalu lama menyakitimu. Aku terlalu bodoh. Sekarang… aku mau berubah.”

Itulah kalimat yang membuat Sera benar-benar diam. Suara itu terdengar tulus, tapi Selina terlalu pandai berbohong, terlalu mahir memainkan ekspresi. Seumur hidup, Selina adalah panggung berjalan yang bisa mengubah emosi sesuka hati. Namun ada sesuatu di matanya pagi ini—sesuatu yang sulit dibaca.

“Aku hanya ingin kita seperti saudara,” lanjut Selina, suaranya pelan. “Seperti yang seharusnya.”

Sera menunduk, mencoba meredakan getaran kecil di dadanya. “Kenapa tiba-tiba…?”

Selina tidak menjawab. Ia hanya mendekat, lalu meraih tangan Sera.

Sentuhan itu membuat Sera tersentak kecil. Selina jarang menyentuhnya. Jika pun iya, biasanya itu berupa cekikan, dorongan, atau cengkeraman di lengan ketika ia sedang marah.

Namun pagi itu, tangan Selina hangat dan lembut.

“Ayo,” katanya sambil menggenggam erat. “At least… biarkan aku mencoba.”

---

Lorong menuju ruang makan terasa panjang. Sepatu mereka berdetak lembut di lantai marmer putih. Selina berjalan sedikit lebih depan, tetapi tidak melepas tangan Sera sama sekali. Sementara itu, Sera hanya bisa menunduk, berpikir keras—apakah ini jebakan? Apakah ini akting? Atau Selina benar-benar berubah?

Namun Sera tahu satu hal: Selina tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.

Dari ruang makan, suara gelas beradu dan halaman koran yang dibalik perlahan terdengar dari balik pintu besar yang setengah terbuka.

Damian selalu membaca berita sambil minum kopi sebelum berangkat bekerja. Koran-koran yang berisi tentang pencapaian Callenora. Evelyn duduk bersebelahan, dengan rambut pirangnya yang sudah disasak rapi dan perhiasan berlian di pergelangan tangannya.

Selina mendorong pintu, keduanya otomatis menoleh. Mereka tampak terkejut dan kebingungan.

Damian meletakkan korannya. “Selina?” suaranya terdengar ragu. “Kau… membawa Sera?”

Evelyn menatap kedua putrinya dengan mata membesar. “Kalian… bersama?”

Ini adalah pemandangan yang tidak pernah terjadi di meja makan keluarga Callenora. Meja panjang dengan lilin dekoratif, taplak bermotif emas, dan piring porselen mahal itu biasanya hanya diisi Selina, Damian, dan Evelyn. Sera—meski anak kandung mereka, ia tak pernah makan di sana, ia selalu memilih makan di kamarnya sendiri. Bukan aturan tertulis, tapi kebiasaan yang Selina bentuk dan kedua orangtuanya biarkan tanpa protes.

Damian mengerutkan kening. “Apa yang terjadi? Kenapa pagi ini… begini?”

Selina tersenyum, masih memegang tangan Sera. “Papa… Mama… aku sama Sera sudah berbaikan.”

Ruangan itu seketika sunyi. Bahkan pelayan yang sedang menuang jus jeruk pun berhenti bergerak.

“Kami tidak mau bertengkar lagi,” lanjut Selina. “Aku selama ini egois. Dan aku sadar… aku banyak menyakiti dia.”

Damian memutar kursinya sedikit, wajahnya menunjukkan campuran rasa tidak percaya. “Selly…” ucapnya lembut. “Biasanya kau tidak ingin makan bersama Sera. Kau selalu bilang wajahnya membuat nafsu makanmu hilang.”

“Papa,” Selina memotong cepat, namun dengan nada lembut. “Aku sudah berubah.”

Evelyn menatap mereka berdua, bibirnya terbuka sedikit. “Kau yakin? Ini… mendadak sekali.”

Selina menarik kursi untuk Sera. “Sera, duduklah…”

Sera hanya bisa menuruti. Tangannya masih gemetar sedikit, tapi ia mencoba menyembunyikannya.

Selina duduk di sampingnya. “Aku ingin Sera makan di sini. Bersama kita.”

Damian masih menatap keduanya, seolah berusaha menemukan sesuatu yang tidak beres. “Selina, apa kau—”

“Papa…” Selina mencondongkan tubuh sedikit. “Aku cuma ingin memperbaiki hubungan. Itu saja.”

Damian menghela napas, lalu menatap Sera. “Kau tidak keberatan?”

Sera menggeleng pelan. “Tidak, Pa.”

Evelyn akhirnya tersenyum kecil—senyum lega bercampur haru. “Kalau begitu… bagus sekali. Memang harusnya kalian seperti ini dari dulu.”

Pelayan mulai menata piring tambahan untuk Sera. Aroma roti panggang, dan kopi hangat memenuhi ruangan. Sera merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Ia ingin percaya bahwa ini nyata. Ia ingin percaya bahwa Selina akhirnya berhenti membencinya. Bahwa mungkin hari ini awal dari kehidupan baru.

"Apa dia benar-benar berubah?" batin Sera bingung.

Sarapan berlangsung dengan percakapan ringan. Damian bercerita tentang proyek bisnis, Evelyn menceritakan tentang perjalanan bisnisnya, dan Selina sesekali menyenggol lengan Sera sambil berbisik agar ia mengambil lebih banyak makanan. Semuanya terlihat seperti keluarga bahagia.

Hingga Damian menatap Selina dengan tatapan curiga.

“Kau benar-benar sudah berubah?” tanyanya pelan namun tegas.

Selina tersenyum kecil dan mengangkat bahu. “Aku sudah introspeksi.”

“Kapan?” Damian menatapnya tajam.

“Bukankah ayah yang memintaku untuk berbaikan dengan Sera?" Selina menatap Damian.

Damian tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Dia hanya meminta Selina untuk tidak mengganggu Sera dan tidak pernah meminta mereka berbaikan.

Evelyn menyentuh lembut tangan Sera. “Sayang… Apa hari ini Orion akan datang?"

Sera menggeleng pelan, "Tidak, Ma. Orion bilang dia akan sibuk beberapa hari ini."

Evelyn hanya mengangguk pelan.

Setelah sarapan, Damian dan Evelyn meninggalkan meja untuk bersiap berangkat. Usai kepergian kedua orang tuanya, Selina menarik lembut tangan Sera.

“Ayo ke taman belakang sebentar.”

Sera mengangguk, meski rasa waswas kembali naik.

Saat mereka berjalan keluar, matahari sudah lebih terang, sinarnya menyinari kolam kecil di halaman. Udara segar, tapi suasana mendadak menegang ketika Selina berhenti di bawah pohon besar.

Ia melepaskan genggaman tangannya.

“Kamu percaya padaku, kan?” tanya Selina.

“Aku… mencoba.” jawab Seraphina ragu.

Selina tertawa pelan. "Aku ingin mengajakmu ke taman bermain di pusat kota hari ini!" ucap Selina. "Aku sudah menyewa taman bermain khusus untuk kita. Aku akan menikmati waktu seharian bersamamu. Kau mau kan?"

Seraphina menatap Selina yang berdiri di hadapannya dengan mata bersinar, berharap Seraphina mengiyakan ajakannya.

Sera mengangguk pelan. "Baiklah, Selly…"

"Yeay!" Selina melompat kegirangan.

"Tuhan… aku berharap semua ini nyata." batin Seraphina.

🍁🍁🍁

Bersambung...

1
Puji Lestari Putri
Makin ngerti hidup. 🤔
KnuckleBreaker
Beneran, deh, cerita ini bikin aku susah move on. Ayo bertahan dan segera keluarkan lanjutannya, thor!
Victorfann1dehange
Alur ceritanya keren banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!