Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Hanya Berdua
Suasana pagi di kediaman Daren dan Selena terasa luar biasa senyap.
Tidak ada suara langkah kecil Arunika yang biasanya berlarian mencari sereal atau meminta dibuatkan pancake dengan taburan meses. Tidak ada suara tawa cempreng yang memenuhi rumah sejak subuh.
Hari ini… rumah terasa terlalu tenang.
Weekend ini Arunika menginap di rumah kakek dan neneknya, dan sejak kemarin malam rumah itu seakan kehilangan mataharinya. Karena itu, Selena dan Daren sepakat untuk melakukan sesuatu yang langka bagi orang tua: bermalas-malasan.
Di kamar, tirai belum sepenuhnya terbuka sehingga cahaya matahari masuk dalam garis-garis tipis ke dalam ruangan.
Selena tengah berbaring santai, punggungnya menempel pada dada suaminya. Satu tangan memegang ponsel, scroll media sosial tanpa tujuan, sementara tangan lainnya berada di bawah selimut.
Sambil Selena sesekali menyentuh perutnya di balik selimut yang belum tampak, tapi iya tahu ada kehidupan kecil di sana.
Daren memeluk tubuh Selena dari belakang, wajahnya setengah tenggelam di bahu istrinya. Mata masih terpejam, napasnya teratur, tetapi lengan yang melingkar di pinggang Selena semakin mengerat seiring waktu.
“Mamah sama Papah harus sering-sering ngajak Aru nginep deh,” gumam Selena sambil scroll, nada santai tapi ada tawa kecil yang mengiringi.
Daren tidak membuka mata. Suaranya berat dan serak khas baru bangun tidur.
“Kalau sering… nanti aku yang sedih.”
Selena berhenti scroll. “Lho, kenapa?”
Daren menghela napas pelan, seperti anak kecil yang manja.
“Rumah jadi terlalu sepi. Nggak ada yang teriak ‘Ayah jangan makan nugget aku!’.”
Selena terkikik pelan. “Cuma itu alasannya? Atau karena nggak ada yang bantu kamu rebut perhatianku?”
Daren akhirnya membuka mata, menatap leher Selena yang terbuka dari sudutnya, lalu balas memeluk lebih erat.
“Aku rebut perhatian kamu? Sejak kapan?” suaranya rendah dan menggoda.
“Aku ini suami yang sangat mandiri. Aku cuma butuh kamu 24 jam non stop, itu aja.”
Selena mencubit pelan lengan Daren yang melingkari perutnya.
“Manja.”
“Ke kamu? Iya,” jawabnya tanpa malu sedikit pun.
Selena menggeser posisi, membalikkan badan agar bisa berhadapan dengan suaminya. Wajah Daren masih mengantuk, rambut acak-acakan, tapi tatapan matanya hangat—sehangat selimut yang melingkupi mereka.
Selena menyelipkan tangan ke rambut Daren, merapikannya sedikit.
“Tumben banget kamu nggak bangun duluan pagi ini.”
“Karena…” Daren menguap kecil sambil menarik Selena lebih dekat.
“Kalau Aru nggak ada, aku nggak ada alasan buat bangun pagi.”
“Dan istrimu?” Selena mengangkat alis.
Daren tersenyum setengah, mata masih sayu.
“Istriku selalu jadi alasan aku mau pulang…”
Ia mengecup dahi Selena pelan.
“…tapi kamu bukan alasan aku bangun pagi.”
Selena mengerutkan kening, pura-pura cemberut. “Kenapa?”
Daren menyentuh ujung hidung Selena dengan jarinya.
“Karena kamu adalah alasan aku mau tetap di tempat tidur lebih lama.”
Selena memukul dada Daren pelan, wajahnya memerah.
“Kamu ini ya…”
Daren tertawa kecil, kemudian mempererat pelukannya.
Keheningan kembali mengisi kamar, tapi kali ini bukan sepi yang hampa—melainkan tenang yang nyaman. Tidak ada tangisan anak, tidak ada pekerjaan, tidak ada jadwal.
Hanya mereka.
Berdua.
Daren mengusap perlahan punggung Selena dengan ibu jarinya, seolah membentuk pola tak beraturan di sana. Mata mereka bertemu—hangat, tenang, tanpa perlu banyak kata.
“Sel,” panggil Daren pelan.
“Hm?”
Daren menatap perut Selena yang masih datar, tapi pikirannya sudah jauh ke depan.
“Kamu pengin anak kita nanti cewek atau cowok?” tanyanya, suaranya penuh antusias seperti anak kecil yang baru dapat mainan baru.
Selena tersenyum tipis. “Aku… apa aja. Yang penting kamu sama dedek bayinya sehat.”
Daren mengangguk pelan, lalu terlihat berpikir. “Kalau aku… pengennya cowok.”
Selena menaikkan alisnya. “Cowok? Kenapa?”
“Soalnya aku mau ada temen main game, temen nonton bola, temen rebutan bantal,” ujarnya sambil merapatkan pelukannya, wajahnya menempel di kening Selena. “Aru sudah cewek, kan? Jadi anak yang ini cowok, biar ada yang mirip aku.”
Selena tertawa kecil. “Boleh mirip kamu, biar ganteng.”
Daren langsung mengangguk mantap. “Iya dong. Harus mirip aku.”
Lalu ia berhenti sejenak, menatap Selena dengan ekspresi yang lembut dan sedikit nakal.
“Tapi kalau mirip kamu juga nggak apa-apa. Kamu cantik soalnya.”
Ia mengecup ujung hidung istrinya. “Perfect combination.”
Selena tertawa lebih keras kali ini, tapi tawanya terhenti saat Daren melanjutkan dengan nada serius—dan jujur.
“Yang penting dia milik kita.”
Hening sejenak. Selena hanya menatap suaminya, matanya ikut berkaca-kaca.
Sampai akhirnya Daren menambahkan, mencoba mencairkan suasana,
“Dan please… semoga dia nggak nurunin sifat ngambekan kamu.”
Selena memukul bantal ke dada Daren. “Kamu bilang apa?!”
Daren mengangkat tangan seakan menyerah. “Oke, oke. Maafin.”
Selena melirik tajam. “Dan jangan hina Aru.”
“Aku nggak hina!” bela Daren refleks. “Aku cuma bilang… Aru tuh nggak mirip kamu. Mirip Kavi banget.”
Selena membelalak. “Ya iya lah mirip orang bapaknya"
Daren mengangkat bahu santai. “Kalau dari gaya tidur, Aru mirip kamu."
Selena melempar bantal tepat ke wajahnya, membuat Daren tertawa keras—suara yang memenuhi kamar dan menghangatkan pagi mereka.
Selena ikut tertawa sambil menggeleng pelan.
“Kamu tuh… calon ayah paling ngeselin yang pernah ada.”
Daren menarik Selena kembali ke pelukannya, wajahnya penuh kebanggaan.
Selena terdiam sejenak, lalu perlahan membenamkan wajahnya di dada Daren.
Dan pagi itu, di tengah candaan dan pelukan yang hangat,
mereka benar-benar merasa seperti rumah.
---
“Aku pengen makan mangga, Mas…” ujar Selena sambil memeluk lengan Daren.
Oh iya—mulai sekarang Selena memanggil Daren dengan sebutan Mas. Itu permintaan suaminya sendiri.
“Soalnya kalau kamu panggil aku ‘Kak’, nanti orang kira aku kakak kamu,” alasan Daren kemarin sambil manyun tidak terima.
Daren menoleh pelan. Rambutnya masih berantakan, mata masih berat, tapi senyumnya langsung muncul saat Selena merengek begitu manja.
“Mangga?” Daren mengusap puncak kepala istrinya.
“Nanti aja, sayang. Masih pagi. Sarapan dulu gimana?”
Selena menatapnya dengan mata bulat yang terlalu menggemaskan untuk ditolak.
“Boleh… tapi kamu suapin, ya.”
Kalimat itu diucapkan dengan suara kecil dan manja—terlalu manja.
Sejak ia mengakui kehamilannya pada Daren, intensitas manjanya naik lima level.
Daren menghela napas, bukan karena kesal—justru terharu.
“Aduh, calon ibu ini makin bikin Mas nggak bisa nolak apa pun,” gumamnya.
Selena tersenyum kemenangan.
Daren bangkit, merapikan rambutnya seadanya, lalu menatap Selena serius seolah menerima misi negara.
“Tunggu di sofa. Mas buatin sarapan dulu. Enggak boleh kosongin perut. Dokter bilang yang penting kamu makan teratur.”
Selena mengangguk patuh, tapi begitu Daren berjalan ke dapur—
“Mas!” panggil Selena dengan nada memelas.
Daren menoleh cepat. “Kenapa? Pusing? Mual lagi?”
Selena menggeleng pelan. “Aku mau disuapin mulai dari sekarang…”
Daren menatap istrinya dengan wajah speechless, tapi detik berikutnya ia tertawa pelan, mendekat, lalu menangkup pipi Selena.
“Hamil baru beberapa minggu, tapi manjanya level istri lima tahun pernikahan.”
“Mas nggak suka?” tanya Selena pelan.
Daren mencium keningnya. “Mas seneng. Seneng banget.”
Ia menggandeng tangan Selena, menuntunnya ke sofa.
“Duduk sini. Jangan kemana-mana. Mas suapin sarapan, habis itu kita cari mangga.”
Selena memeluk bantal kecil di sofa dan tersenyum puas. “Mangganya yang manis ya, Mas. Yang kuning.”
Daren mengusap perut Selena yang masih datar dengan lembut, seolah sudah bisa menyentuh bayi yang masih belum terlihat itu.
“Buat kamu sama dedek, Mas cari mangga satu dunia juga mau.”
Selena tertawa pelan.
Masih pagi. Masih weekend.
Dan untuk pertama kalinya… mereka rasanya seperti keluarga yang bertambah.
---
Daren meletakkan piring sarapan yang sudah ia siapkan di meja, lalu duduk di sebelah Selena. Ia menatap istrinya yang tengah menikmati suapan pertama dengan wajah puas.
“Sel, mau jalan-jalan nggak?” tanya Daren tiba-tiba.
Selena berhenti mengunyah, menatap Daren dengan bingung. “Jalan-jalan ke mana?”
Daren mengangkat bahu santai. “Nggak tahu. Pokoknya mumpung kita masih berdua. Sebelum Aru pulang dan rumah kembali seperti taman bermain TK.”
Selena tertawa kecil. “Kamu ngomong gitu seolah Aru badai.”
“Dia badai… badai berisik dan penuh glitter,” jawab Daren mantap.
Selena mencubit lengannya. “Dasar ayah nggak setia.”
“Aku setia.” Daren mencondongkan tubuh, menatap dalam ke mata Selena. “Aku cuma pengen habisin waktu khusus sama istri aku sebelum status kita naik jadi ‘orang tua dua anak’.”
Selena terdiam sesaat, hatinya meleleh oleh kalimat itu.
“Jadi… kamu mau ngajak aku ke mana?” tanyanya akhirnya sambil bermain-main dengan sendok.
Daren pura-pura berpikir keras, menopang dagu dengan gaya sok serius.
“Pertama, kita ke café favorit kamu. Yang ada croissant isi coklat itu.”
Selena mengangguk antusias. “Oke. Next?”
“Kedua, kita beli mangga buat calon bayi yang lagi ngidam.”
Selena tersenyum lebar, pipinya memerah.
“Ketiga,” lanjut Daren, suaranya menurun lebih lembut, “kita jalan ke pantai sebentar. Duduk di pasir, minum es kelapa, foto-foto. Biar nanti dedek bisa lihat foto mama papanya sebelum dia ada.”
Selena membulatkan mata. “Pantai? Dadakan gitu?”
Daren tersenyum, mengusap pipinya lembut.
“Kalau hidup selalu direncanain, kapan kita ngerasain kejutan?”
Selena terdiam—dan berkaca-kaca tanpa ia sadari.
Daren menangkup pipinya dengan kedua tangan, lalu mengecupnya singkat.
“Ayo, Sel. Kita rasain momen berdua. Mumpung masih bisa.”
Selena mengangguk pelan, suaranya hampir berbisik.
“Yaudah, Mas. Kita jalan.”
Daren berdiri dan mengulurkan tangan seperti seorang gentleman yang menawarkan dunia.
Selena menyambutnya.
Hari itu, tanpa rencana dan tanpa banyak beban, mereka memutuskan untuk menciptakan kenangan baru:
hanya suami, istri, dan calon bayi kecil di perut Selena.
---
Gimana bab kali ini?