Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Setelah membatalkan survei, Jhonatan, Alvino, dan Alif bergegas kembali ke rumah. Mereka meninggalkan mobil di depan dan langsung menuju ruang keluarga di lantai dua—menghindari para wanita yang sibuk menyiapkan makan siang di dapur.
Jhonatan melemparkan kunci mobil ke sofa.
Suasananya jauh dari kata damai. Mereka duduk melingkar, wajah tegang dan penuh tekanan. Beberapa ponsel tergeletak di meja, menampilkan tangkapan layar berita fitnah Sella yang kini menyebar cepat di berbagai platform media sosial.
"Ini masalahnya," kata Alvino, mengusap wajahnya frustrasi. "Berita ini bukan di media cetak. Ini di media sosial. Artinya, sudah viral dan bahkan tersebar ke seluruh Indonesia. Kita harus membereskan masalah ini secepat mungkin."
Jhonatan mengangguk. "Aku sudah kontak Arian. Dia dan Azzam sedang menghubungi tim hukum untuk menindak semua akun yang menyebarkan. Kita harus tunjukkan kalau ini fitnah, bukan gosip. Aku tidak peduli soal uang—aku hanya ingin nama Aresa bersih."
Alif berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal. "Masalahnya bukan cuma di online, Jo! Bapak dan Ibu akan pulang sebentar lagi. Mereka sudah melihat kita panik. Bapakku itu pensiunan polisi, instingnya tajam. Dia akan tahu kalau ada yang kita sembunyikan."
"Kita tetap pada cerita bisnis gagal," putus Alvino. "Kita bilang ada masalah besar di Jakarta yang mengancam kerja sama ini, jadi kita harus buru-buru menanganinya."
"Itu hanya akan memberi kita waktu sedikit," balas Jhonatan. "Bagaimanapun, aku yang membawa masalah ini. Aku yang akan menghadapinya."
Ia teringat Aresa—wanita yang seharusnya sedang menikmati liburannya, bukan menjadi korban fitnah murahan.
****
Pintu ruang keluarga tiba-tiba terbuka. Bukan Aresa, melainkan Adnan. Ia masuk dengan tenang, membawa secangkir teh.
"Kenapa kalian tidak melanjutkan survei? Dan kenapa terlihat seperti habis melihat hantu?" tanyanya, suaranya pelan tetapi menusuk. Tatapannya menyapu setiap wajah di ruangan itu. Insting lamanya sebagai detektif tak bisa dibohongi—ada kepanikan nyata di sana.
"Kami sedang rapat darurat, Paman," jawab Alvino, berusaha santai. "Ada masalah mendadak dari rekan bisnis kami di Jakarta. Ini mengancam dana investasi kafe."
Adnan duduk, menyesap tehnya perlahan. "Oh, masalah uang. Itu biasa. Tapi kenapa Jhonatan terlihat seperti baru saja menerima perintah untuk perang? Wajahmu tidak bisa bohong, Nak Jhonatan."
Jhonatan merasakan tatapan mata Adnan menghujam. "Saya... saya hanya merasa bertanggung jawab, Pak. Masalah ini besar, dan sayalah yang memperkenalkan rekan bisnis itu pada Alvino."
Adnan tersenyum tipis—senyum yang tidak sampai ke mata. "Jhonatan, saya sudah melihat ribuan orang berbohong di meja interogasi. Cara kalian menunduk, memegang ponsel, saling menutupi—itu bukan masalah investasi. Ini sesuatu yang jauh lebih personal."
Ketiganya terdiam, tak berani menyangkal.
Adnan melanjutkan, suaranya kini lebih rendah. "Saya sudah wanti-wanti kamu, Nak. Jangan pernah membawa masalahmu ke rumah saya, apalagi jika itu menyangkut Aresa. Apa ini ada hubungannya dengan dia?"
****
Di tengah ketegangan itu, Aresa muncul di tangga. Ia baru selesai menyiapkan makan siang. Jhonatan menatapnya. Aresa—si ahli telemetri yang piawai—kini tersenyum lembut padanya, seolah mengajaknya makan.
"Mas, Bapak, dan Kapten, makan siang sudah siap," ajak Aresa, sepenuhnya tak menyadari bahwa di luar sana, ribuan orang sedang melihat fotonya dan menyebutnya wanita penggoda.
Jhonatan merasa sesak. Ia menyaksikan betapa berharganya kehidupan sederhana Aresa di sini—ketenangan yang ia bangun setelah meninggalkan hiruk pikuk pekerjaannya di kota. Fitnah media sosial ini bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap.
"Tentu, Res. Kami lapar sekali," jawab Alvino cepat, mencoba meredam suasana. Ia menarik Jhonatan dan Alif keluar ruangan, meninggalkan Adnan yang masih menatap mereka dengan curiga.
Saat makan siang, Adnan tidak banyak bicara, tetapi matanya tak berhenti mengamati. Aresa sibuk melayani Jhonatan dan yang lain, sementara Alvino serta Alif sesekali melirik ponsel mereka di bawah meja.
Mereka tahu, waktu mereka tidak banyak. Fitnah yang telah viral di media sosial adalah bom waktu. Sekarang, perjuangan mereka bukan hanya melawan Sella di Jakarta—tetapi juga melawan insting tajam seorang ayah di Banjarnegara.
****
Adnan duduk di kursinya, mengamati. Jhonatan, Alvino, dan Alif jelas panik. Mereka menghindari kontak mata, tangan mereka sesekali menyentuh ponsel di saku. Ini bukan masalah uang, batinnya. Ini masalah yang jauh lebih serius.
Namun yang paling mengganggu pikirannya adalah perilaku Jhonatan.
Saat Aresa sibuk menyendok nasi, melayani Jhonatan, ia memperhatikan bagaimana Jhonatan terus menatapnya—bukan dengan pandangan biasa, tapi dengan intensitas yang tidak wajar bagi seorang tamu.
Ketika Aresa menyajikan lauk, ada jeda sepersekian detik di mana Jhonatan hanya menatap Aresa, bukan makanannya.
Adnan menangkapnya dengan jelas—rasa tertarik yang mendalam, mungkin bahkan lebih dari itu.
Dia tidak hanya membawa masalah, pikir Adnan, dadanya mencelos. Dia juga tertarik pada putriku.
Ia teringat peringatannya semalam: Jangan macam-macam dengan putri saya.
Sekarang, ia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Jhonatan tidak hanya membawa masalah bisnis dari Jakarta; ia membawa masalah pribadi yang jauh lebih berbahaya. Kepanikan di wajahnya bukan karena proyek—melainkan karena Aresa.
"Makan, Jo. Jangan hanya melihat adik saya," tegur Alif pelan, mencoba mengalihkan perhatian Jhonatan dan juga ayahnya.
Jhonatan tersentak. "Maaf, Mas. Menu makan siangnya terlihat enak sekali."
Adnan hanya diam, tetapi dalam hatinya, keputusan sudah bulat.
Ia kini tidak hanya curiga pada masalah yang disembunyikan ketiga pria itu—melainkan juga pada perasaan yang disembunyikan Jhonatan terhadap Aresa.
Makan siang berlangsung dalam keheningan yang menyesakkan.
Jhonatan, Alvino, dan Alif tahu, pertahanan mereka mulai goyah.
Dan di ujung meja, Adnan—dengan tatapan tajam khas mantan penyidik—tahu bahwa kebenaran hanya menunggu waktu untuk terungkap.