NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Mafia

Terjerat Cinta Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

"Bibi, Bibi tahu kan kalau sesuai permintaan Bos, aku harus melakukan sesuatu untuk Rayza setiap hari sebagai bagian dari... ya, perjanjian itu?" tanyaku sambil mencari petunjuk.

"Oh, ya tentu. Banyak hal yang disukai Rayza... dipijat, jalan-jalan malam, karaoke, nonton balap mobil, nonton pacuan kuda... kamu bisa bacain dia buku, atau nonton film tengah malam bareng. Banyak hal seru yang bisa kalian lakukan berdua, seperti pasangan muda pada umumnya," jawab Bibi dengan semangat.

"Umm… aku sebenarnya cari ide yang... nggak harus ketemu langsung, sih," kataku, memperjelas maksud.

"Nggak harus ketemu langsung?" Bibi mengerutkan kening, kelihatan bingung.

"Iya. Kayak kemarin, aku bikin sarapan dan tinggalin di meja buat dia, gitu," jelasku.

"Hmm... tapi bukankah lebih baik kalian berdua habiskan waktu bareng biar bisa saling kenal?" tanyanya. Aku paham kenapa dia bingung. Soalnya memang, dalam kondisi biasa, habiskan waktu bersama itu hal yang wajar.

Kecuali... hubungan kami jauh dari kata wajar.

"Haha… iya sih..." jawabku sekenanya.

Kecuali, kenyataannya kami sama-sama nggak pengen kenal lebih jauh. Kami berusaha saling jauhi, seperti orang menghindari penyakit menular.

Karena ngobrol dengan Bibi nggak juga kasih aku ide bagus soal apa yang bisa kulakukan buat Rayza tanpa harus tatap muka, akhirnya aku memutuskan untuk masak sesuatu lagi buat dia di dapur. Setelah cek bahan-bahan yang ada, aku putuskan buat bikin sarapan simpel telur orak-arik, bacon, dan roti panggang.

Begitu selesai, aku menatap hidangan di piring putih besar berbentuk bundar itu. Makanannya kelihatan lezat dan aromanya menggoda banget. Yah, nggak masalah juga. Aku tahu makanan itu kemungkinan besar bakal tetap utuh sampai aku balik lagi ke penthouse nanti malam. Rayza pasti nggak akan sentuh, dan Bibi biasanya terlalu merasa bersalah buat buang makanan buatan orang.

Lagian, hari ini Rayza udah berangkat duluan sebelum aku.

Nggak apa-apa. Tugasku hari ini udah selesai.

Aku lepas celemek dan keluar dari dapur sambil bawa piring besar itu. Aku taruh di meja makan. Beres. Tuntas... untuk hari ini.

Waktu aku sampai di rumah sakit tempat nenek dirawat, hari udah lebih siang dari yang kukira. Jalanan tadi pagi macet banget, bikin rencanaku molor. Nenek juga kelihatan lebih lemah dari biasanya hari ini. Setelah beberapa jam ngobrol dan nemenin dia, akhirnya beliau tertidur.

Para perawat meyakinkan saya bahwa itu normal dan hanya efek samping dari obat yang diberikan kepadanya.

Karena nenek saya tertidur dan saya ingin beliau benar-benar beristirahat, tidak ada yang bisa saya lakukan selain menghentikan dulu kebiasaan saya menggambar dan melukis. Belum terlalu malam ketika saya masuk ke dalam mobil untuk kembali ke apartemen penthouse. Namun, kemacetan parah karena perbaikan jalan membuat saya terjebak hampir satu jam. Saat saya akhirnya sampai, matahari hampir tenggelam dan suasana hati saya benar-benar kacau.

Saya langsung naik lift ke lantai atas, berharap bisa mandi air hangat lalu menikmati makan malam dengan tenang. Setelah itu mungkin saya bisa menonton film atau mendengarkan musik untuk meredakan pikiran. Saya sudah membayangkan malam yang menyenangkan untuk menutup hari yang melelahkan ini.

"Kenapa kamu pulang lama banget hari ini?"

Sebuah suara rendah dan tegas menyambut saya begitu saya melangkah masuk ke dalam kamar.

Rayza… kenapa dia sudah pulang sepagi ini?! Bukannya dia biasanya baru sampai tengah malam…?

"Kata orang yang pulang tengah malam dalam keadaan mabuk hampir setiap hari…" sahutku sambil menutup pintu. Kudengar suara klik dari kunci otomatis di belakangku.

Perlahan aku melangkah menuju ruang makan, tempat Rayza sudah duduk di kursi ujung meja makan. Aku bertanya-tanya, apa lagi maunya dariku? Jujur saja, aku sudah tidak sabar ingin cepat-cepat menjauh darinya.

"Apa?" tanya Rayza, kaget dengan jawabanku.

"Nggak ada…" gumamku sambil membalikkan badan, bersiap pergi.

"Duduk," perintah Rayza, suaranya tegas dan jelas.

Aku menoleh lagi ke arahnya. Hari ini dia memakai setelan serba hitam. Harus kuakui, dia memang terlihat memikat. Jas, kemeja, dan dasi hitam itu menonjolkan rambut pirangnya dan mata birunya yang tajam. Tapi yang paling mencuri perhatianku adalah meja makan yang penuh dengan makanan semuanya tampak belum disentuh.

Dia nunggu makan malam… bareng aku?

Dengan ragu, aku menarik kursi dan duduk di seberangnya. Makanannya tampak lezat dan mewah, tapi entah kenapa, aku merasa tidak akan bisa menikmatinya.

"Makan," perintah Rayza tanpa basa-basi, pandangannya menusukku.

"Makasih…" bisikku pelan.

Aku mengambil sendok garpu dan mulai memindahkan beberapa makanan ke piringku. Setelah memperhatikanku makan sebentar, Rayza akhirnya ikut mulai makan. Kami makan dalam diam. Tak ada satu kata pun keluar dari mulut kami. Aku tak bicara padanya, dan aku mulai merasa lega karena dia pun tidak mencoba memulai obrolan.

Tapi karena dia duduk begitu dekat, pikiranku malah melayang padanya. Aku ingat pertama kali bertemu dengannya di gereja, tempat kami akan menikah. Aku bisa membayangkan kembali kejadian hari itu. Rayza datang dalam keadaan mabuk, lalu ayahnya memukul kepalanya sampai berdarah. Aku masih ingat jelas ucapannya waktu itu…

"Sepertinya ada yang ingin kamu bilang. Bilang aja," ucap Rayza sambil meletakkan garpu dan pisau, matanya menatap lurus ke arahku.

Sekarang dia yang tanya, mungkin memang sebaiknya aku langsung bicara. Lebih baik saling terbuka daripada terus salah paham.

"Umm… sebenarnya kamu nggak mau nikah sama aku, kan?" tanyaku hati-hati.

"Terus kenapa?" Rayza balik bertanya, matanya menyipit curiga.

"Maksudku… waktu di gedung, kamu bilang kamu nggak mau nikah sama aku. Jangan salah paham, aku juga ngerasa hal yang sama, kok…" ujarku, agak ragu.

"Maksudmu?" tanya Rayza, nadanya datar, terdengar acuh tak acuh seolah tidak peduli.

"Kamu bilang, yang mau jadi istrimu cuma Amelia…" kataku, mengulang ucapannya tadi.

Rayza tampak tegang di kursinya begitu mendengar nama Amelia keluar dari mulutku. Tatapannya langsung tajam, menyipit, dan suasana ruangan terasa berubah. Entah kenapa, udara di sekitarku terasa lebih dingin.

"Jangan sebut-sebut namanya. Kamu nggak punya hak buat ngomongin dia sembarangan," gumam Rayza dingin. Jelas sekali dia tersinggung.

"Maaf... aku nggak ada maksud buat nyakitin perasaanmu... atau dia," ucapku buru-buru. Sepertinya aku memang terlalu banyak bicara. Lagipula, aku bahkan nggak kenal siapa sebenarnya Amelia.

"Terus? Kenapa kamu nanya begitu?" tanya Rayza lagi, suaranya kembali tanpa ekspresi.

"Ya... kalau memang kamu nggak berniat nikahin aku... setelah sebulan ini selesai, kamu bakal ngelepas aku, kan?" tanyaku hati-hati, penuh harap.

"Itu yang bikin kamu khawatir?" Rayza menatap tajam ke arahku.

"Ya, tentu aja," jawabku jujur.

Rayza terdiam sejenak. Lalu, dengan santai dia mengambil alat makan dan kembali menyuap makanannya.

"Kalau kamu nurut sama semua yang aku suruh, aku akan ngelepas kamu," ucapnya akhirnya.

"Serius?" kataku, wajahku langsung cerah. Dalam hati, aku merasa sedikit lega. Mungkin sebentar lagi aku bisa bebas dari situasi ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!