Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Malam itu, Tristan duduk sendirian di ruang kerjanya. Lampu meja yang temaram menerangi setumpuk berkas pasien yang belum sempat ia sentuh. Namun pikirannya sama sekali tak tertuju pada catatan medis.
Yang ia genggam justru selembar sticky note kecil berwarna kuning pesan singkat Tiwi yang sempat ditinggalkannya di meja makan beberapa hari lalu.
Tristan menghela napas panjang. “Cuma satu kalimat saja… tapi kenapa bisa bikin aku segelisah ini?” gumamnya.
Sudah berhari-hari ia mencoba mengalihkan pikiran dengan pekerjaan, tapi bayangan Tiwi selalu datang. Wajah cerianya, ocehannya yang kadang menyebalkan tapi selalu membuat rumahnya hidup, hingga keberaniannya melawan siapa pun, termasuk dirinya.
Dan malam itu, Tristan akhirnya sadar, ia tidak bisa menunda lagi. Ia harus membuat keputusan.
“Aku tidak bisa terus membiarkan semua menggantung. Kalau aku sungguh tidak mau kehilangan dia, maka aku harus melangkah.”
Ia berdiri, mengambil ponselnya, lalu menelpon seseorang.
“Ma, aku ingin bicara. Besok malam, bisa kita ketemu di rumah? Ada hal penting sekali.”
Di seberang, suara Mama Tina terdengar terkejut. “Tristan? Kamu terdengar serius sekali. Baiklah, besok Mama saja yang datang kesana.”
Tristan menutup telepon. Hatinya berdegup keras. Besok malam akan jadi awal dari semuanya.
---
Keesokan malam, rumah Tristan terasa berbeda. Mama Tina datang mengenakan kebaya sederhana berwarna biru muda. Wajahnya lembut, tapi penuh rasa penasaran.
“Jarang sekali kamu meminta Mama datang mendadak. Ada apa, Nak?” tanya Mama Tina sambil duduk di sofa ruang tamu.
Tristan duduk di hadapannya, wajahnya tegas namun ada ketegangan yang jelas. Ia menyiapkan secangkir teh hangat untuk ibunya sebelum memulai.
“Ma, aku ingin bicara soal Tiwi.”
Nama itu langsung membuat mata Mama Tina berbinar. “Tiwi? Anak itu memang luar biasa. Mama suka sekali padanya. Dia pintar, lucu, bisa diandalkan. Kenapa, Nak? Ada masalah dengan dia?”
Tristan menggeleng. “Bukan masalah, Ma. Justru sebaliknya.”
Ia menarik napas panjang. “Aku ingin melamar Tiwi. Aku ingin Mama dan Papa membantuku.”
Mama Tina sempat terdiam, lalu perlahan tersenyum lebar. “Akhirnya…”
Tristan terbelalak. “Akhirnya?”
Mama Tina menatap putranya dengan tatapan penuh arti. “Kamu pikir Mama buta? Dari caramu menatap Tiwi, dari cara kau selalu menyebut namanya tanpa sadar, Mama tahu ada sesuatu. Hanya menunggu waktu sebelum kamu mengaku.”
Tristan menunduk, tersenyum tipis. “Sejujurnya aku sendiri tidak sadar kapan semua ini mulai berubah. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa membiarkan dia pergi. Aku ingin dia ada di sisiku.”
Mama Tina menggenggam tangan anaknya. “Kalau begitu, Mama akan dukung sepenuhnya. Besok kita bicarakan dengan Papa-mu. Dan soal keluarga Tiwi, biar Mama juga ikut membantu meluluhkan hati mereka.”
Tristan mengangguk mantap. “Terima kasih, Ma. Aku tidak bisa lakukan ini sendirian.”
---
Malam berikutnya, Tristan akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada ayahnya. Papa Ardian Mahesa, pria berwibawa, duduk santai di ruang baca ketika putranya datang.
“Pa, ada yang harus aku sampaikan.”
Suara Tristan begitu serius hingga membuat ayahnya menutup buku. “Ada apa?”
“Aku… ingin melamar Tiwi.”
Papa Tristan terdiam sejenak, lalu menatap putranya dalam-dalam. “Apa kamu serius, papa gak mau kamu sakiti putri papa itu, dia gadis luar biasa dan papa sangat menyayanginya seperti putri papa sendiri
Tristan mengangguk. “Ya, Pa. Tristan serius dan ingin Tiwi jadi istri Tristan.”
Keheningan melayang beberapa detik. Lalu, tiba-tiba Papa Tristan tertawa kecil. “Kamu benar-benar anak Papa. Tidak pernah bisa melakukan sesuatu setengah hati. Kalau sudah yakin, pasti habis-habisan.”
Tristan menarik napas lega, meski masih menunggu jawaban pasti.
“Kalau begitu,” lanjut sang ayah, “Papa akan dukungmu. Lagipula, Papa punya alasan lain kenapa mendukungmu menikahi Tiwi.”
Tristan mengernyit. “Alasan lain?”
Papa Tristan tersenyum samar. “Ayahnya Tiwi, Papa Tian… dia sahabat kecil Papa. Kami dulu tak terpisahkan, sampai keadaan memisahkan kami. Bertahun-tahun Papa bertanya-tanya bagaimana kabarnya. Ternyata dunia ini sempit, anak-anak kita dipertemukan. Mungkin ini takdir.”
Tristan terkejut. “Pa serius? Jadi Papa kenal keluarga Tiwi?”
“Lebih dari kenal. Kami dulu seperti saudara.” Mata Papa Tristan menerawang jauh. “Andai Papa tahu lebih cepat, mungkin pertemuan ini sudah terjadi sejak lama.”
Tristan merasakan hatinya bergetar. Jadi bukan hanya dia dan Tiwi yang memiliki keterikatan, tapi kedua keluarga mereka pun ternyata punya kisah lama.
---
Beberapa hari kemudian, sebuah pertemuan besar digelar di rumah keluarga Tiwi. Mama Tina, Papa Tristan, serta Tante Anggun ikut hadir.
Keluarga Tiwi terkejut dengan kedatangan rombongan itu. Papa Tian menatap penuh tanda tanya, Mama Rani tampak kaget, sementara Tiwi sendiri hampir menjatuhkan nampan jus yang ia bawa.
“Dokter Tristan?!” seru Tiwi. “Kamu ngapain bawa pasukan segala?”
Tristan menatapnya sekilas, lalu berdiri di hadapan Papa Tian dan Mama Rani. Suaranya mantap.
“Pak, Bu. Saya datang bukan sebagai dokter, bukan juga sebagai majikan Tiwi. Saya datang sebagai seorang pria yang serius mencintai putri Anda. Saya ingin melamar Tiwi.”
Seisi ruangan terdiam. Bahkan Adrian yang kebetulan hadir kembali bersama keluarganya tampak kaku.
Mama Rani menutup mulutnya, hampir tak percaya. “Melamar?!”
Papa Tian menatap Tristan tajam, seolah ingin memastikan kesungguhan ucapannya. “Kamu sadar apa yang kamu katakan, Nak?”
Tristan mengangguk tegas. “Saya sadar, Pak. Saya tahu siapa Tiwi. Saya tahu betapa berharganya dia bagi keluarga ini. Dan saya berjanji, saya akan menjaga dan mencintainya sepenuh hati.”
Tiwi sendiri terpaku di tempat. Pipinya panas, jantungnya berdegup seperti genderang perang.
Mama Tina maju selangkah, menambahkan, “Pak Tian, Bu Rani… saya mengenal anak saya. Tristan bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta. Tapi kali ini, ia datang pada kami, memohon agar kami mendukungnya. Itu berarti perasaannya sungguh dalam.”
Saat itu, Papa Tristan yang sejak tadi diam, tiba-tiba berdiri. Ia menatap Papa Tian dengan mata bergetar.
“Tian… kau masih ingat aku?”
Semua mata terarah. Papa Tian menatap pria di depannya dengan penuh keterkejutan. Bibirnya gemetar.
“Tidak mungkin… Ardian?”
Papa Tristan tersenyum. “Ya. Aku Ardian, sahabat kecilmu.”
Suasana seketika berubah haru. Kedua pria itu saling mendekat, lalu berpelukan erat. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan.
“Bertahun-tahun kita terpisah,” kata Papa Tian dengan suara bergetar. “Dan sekarang… anak-anak kita yang mempertemukan kita kembali.”
Mama Rani menatap terharu, Mama Tina pun tak kuasa menahan senyum. Tante Anggun menepuk dada sambil berbisik, “Ya ampun… dunia ini sekecil apa sih?”
Tiwi masih terpaku, sementara Tristan menoleh padanya dengan sorot mata penuh keyakinan.
“Tiwi,” katanya lembut, “aku ingin kau tahu… aku benar-benar serius. Aku tidak mau kau merasa dipaksa. Tapi aku ingin kau memilihku, bukan karena siapa aku, tapi karena hatimu juga ingin begitu.”
Ruangan kembali hening. Semua mata kini tertuju pada Tiwi.
Gadis itu menunduk, pipinya merah padam. Dalam hati ia bergumam, Ya Tuhan, kenapa hidupku jadi kayak drama romantis begini?
Namun meski malu, senyum kecil lolos juga dari bibirnya.
“Dasar Dokter Dingin… bikin aku nggak bisa kabur lagi.”
Bersambung…
Terima kasih kak untuk ceritanya, ngikutin dari awal hingga akhir
seru banget ceritanya, ⭐⭐⭐⭐⭐⭐ ☕☕☕☕☕
Terima kasih untuk cerita novelnya kak, semoga sukses selalu
terimakasih ceritanya salam sukses selalu ya 💪❤️🙂🙏