Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.
Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.
Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
****
Pagi itu, Elara bangun lebih awal dari biasanya. Matanya sempat sayu karena malam sebelumnya ia terlalu bersemangat hingga sulit tidur.
Namun semangat paginya mengalahkan kantuk yang tersisa. Ia berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih sederhana dipadu blazer abu-abu, rambutnya diikat rapi.
Di meja, Irish sudah menyiapkan sarapan.
Irish tersenyum pada Elara.
“Kau terlihat sangat cantik pagi ini. Seperti seorang wanita karier yang sudah berpengalaman.” puji Irish.
Elara terkekeh kecil, sedikit gugup.
“Ah, Grandma. Aku malah merasa seperti anak baru yang kebingungan.” balas Elara.
“Itu wajar, sayang. Semua orang pernah jadi ‘anak baru’. Yang penting, jadilah dirimu sendiri. Tunjukkan kerja kerasmu, dan mereka akan menghargaimu.” ucap Irish lagi.
Elara mengangguk pelan, lalu meraih tangan Irish dengan lembut.
“Terima kasih, Grandma. Doakan aku, ya?” ucap Elara menatap wajah tua milik Irish.
“Selalu sayang.” balas Irish dengan senyum hangatnya.
**
Jam 8 tepat, Elara tiba di gedung perusahaannya yang baru.
Gedung itu memang tidak sebesar Alfred Corporation tempat Nathan bekerja, tapi cukup megah dan modern.
Saat melangkah masuk ke lobi, ia merasakan detak jantungnya meningkat. Suara sepatu-sepatu pegawai lain yang berjalan cepat membuatnya sedikit gugup.
Di resepsionis, ia menyebutkan namanya.
“Oh, Nona Elara, ya? Silakan tunggu sebentar. Akan ada staf HR yang menjemput Anda.” ucap perempuan itu.
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda dengan senyum ramah datang menghampiri.
“Selamat pagi, Nona Elara ya? Saya HR. Mari, saya antarkan ke lantai tiga.” ucapnya ramah.
Elara sedikit gugup dan mengangguk cepat.
“Ah, iya. Terima kasih.” balas Elara.
Di dalam lift, wanita itu mencoba mencairkan suasana.
“Tenang saja Nona, jangan terlihat tegang. Jangan khawatir, semua orang di sini cukup ramah. Anda akan terbiasa.” ucapnya.
Elara tersenyum kaku.
“Iya, mungkin karena ini hari pertamaku. Aku masih merasa canggung. Panggil Elara saja.” ucap Elara.
“Hm, baiklah. Nanti kalau sudah kenal dengan tim, anda akan lebih nyaman.” balasnya lagi.
**
Di lantai tiga, wanita itu memperkenalkan Elara pada tim barunya. Ada sekitar enam orang di ruangan itu.
Seorang pria berumur 30-an dengan kacamata langsung berdiri menyambut.
“Selamat datang, Elara. Saya Hans, kepala tim di sini. Senang sekali akhirnya ada tambahan anggota baru. Panggil Hans saja.” ucap Hans tersenyum.
Elara menunduk sopan, suaranya lembut.
“Terima kasih, Hans. Aku akan berusaha sebaik mungkin.” balas Elara.
Hans masih mempertahankan senyum miliknya itu.
“Santai saja. Anggap kantor ini rumah kedua. Kalau ada yang membingungkan, jangan sungkan bertanya.” ucap Hans lagi.
Beberapa karyawan lain tersenyum ramah pada Elara.
Suasana pun sedikit mencair. Elara duduk di meja barunya, yang masih kosong dan hanya ada komputer. Perlahan ia menata barang-barang kecilnya, pulpen, buku catatan, dan botol minum.
**
Jam kerja dimulai. Awalnya, Elara hanya mendengarkan penjelasan Hans tentang proyek yang sedang berjalan.
“Saat ini kita sedang menyusun laporan untuk klien besar. Pekerjaanmu akan lebih banyak di bagian dokumentasi dan pengolahan data. Jangan khawatir, kami akan bantu.” ucap Hans pada Elara.
Elara mencatat dengan tekun, meski sesekali ia masih canggung menatap layar komputer yang penuh dokumen baru.
“Tenang aja, tak harus langsung paham semua. Aku dulu juga tak mudah memahami saat baru masuk.” ucap Hans pada Elara.
Elara tersenyum lega.
“Terima kasih. Rasanya sedikit lebih ringan mendengar itu.” balas Elara.
**
Saat jam makan siang tiba, Elara duduk sendirian di kantin, masih merasa belum cukup dekat dengan siapapun. Tapi tak lama, Hans muncul.
"Jangan terlalu canggung seperti itu, kita semua satu tim dan akan lebih akrab jika kau membuka diri Elara." ucap Hans.
Elara menatap Hans, lalu tersenyum dengan anggukan kecil.
Mereka pun mengobrol ringan sambil makan. Sesekali Elara tertawa, sesuatu yang jarang ia lakukan belakangan. Rasanya hangat, meski jauh di dalam hatinya, bayangan tentang Nathan masih sesekali muncul.
Nyatanya itulah tujuan Elara, ia ingin melupakan tentang kenangan masa lalu. Terrlebih ia butuh masa depan yang lebih baik dengan bekerja.
**
Sore harinya, saat semua kembali bekerja, Elara sempat terdiam menatap layar. Di layar komputer, ia melihat nama folder “Wedding Project” milik tim sebelumnya. Entah kenapa, pikirannya langsung melayang pada pernikahannya dengan Nathan, hari yang dulu penuh tawa, tapi kini hanya menyisakan luka.
Hans tampak mengarahkan pandangannya kemeja milik Elara.
“Hei, kenapa? Sudah pusing sama kerjaan?” tanya Hans terdengar seperti gurauan.
Elara tersadar, lalu tersenyum.
“Ah, tidak. Aku hanya sedang berpikir.” balas Elara asal.
“Kalau terlalu banyak berpikir, nanti malah tambah pusing. Santai saja. Kita semua di sini untuk saling membantu.” ucap Hans.
Elara mengangguk, ia menghela napas pelan. Dalam hati, ia berbisik.
'Aku harus belajar melepaskan bayanganku tentang Nathan. Hidupku tidak berhenti di sana.' batin Elara.
Saat jam pulang tiba. Elara berhenti sebentar, menghela napas panjang, lalu tersenyum kecil pada dirinya sendiri.
“Hari ini, tidak buruk. Aku bisa melakukannya. Aku bisa benar-benar memulai hidup baru.” gumam Elara pelan.
Dan untuk pertama kalinya sejak perceraiannya, Elara kini mulai merasa hidup kembali tanpa adanya Nathan di sisinya lagi.
Nathan hanyalah luka bagi Elara.
***
Hari-hari selanjutnya...
Nathan duduk di ruang kerjanya. Kemejanya rapi, dasinya terikat sempurna, tapi wajahnya penuh raut kelelahan.
Di depannya, layar laptop menampilkan deretan angka laporan bulanan. Namun pandangannya kosong, jemarinya hanya mengetuk meja tanpa arah.
“Lima tahun, lima tahun aku menikahinya, tapi rasanya seperti tidak pernah benar-benar mengenalnya. Kenapa sekarang justru aku merindukannya?” gumam Nathan seorang diri.
Ia menutup laptop dengan kasar, lalu berdiri dan berjalan ke jendela. Nathan merasa seolah ia yang paling tertinggal.
Clara, sekretaris pribadi milik Nathan tampak masuk dengan beberapa dokumen.
“Tuan, ini draft kontrak untuk investor. Anda harus meninjau sebelum rapat nanti.” ucap Clara.
Nathan menoleh sekilas, wajahnya datar.
“Letakkan saja di meja. Nanti aku lihat.” balas Nathan acuh.
Clara ragu, menatap Nathan yang terlihat tidak fokus.
“Tuan, apa Anda baik-baik saja? Sejak beberapa hari ini, anda tampak...”
Nathan memotong, suara tajam.
“Aku baik-baik saja, Clara. Jangan tanya lebih dari itu.” kesalnya menjawab.
Clara mengangguk pelan, lalu keluar dengan diam. Begitu pintu tertutup, Nathan menghela napas panjang dan menekan keningnya.
“Kau tidak baik-baik saja, Nathan. Kau bahkan tidak tahu siapa dirimu tanpa Elara. Ah, bodoh sekali.” ungkap Nathan.
**
Sore itu, rapat dengan para manajer dimulai. Salah satu karyawan, mempresentasikan laporan dengan penuh semangat.
“Jika kita jalankan strategi ini, proyeksi keuntungan bisa naik 15% tahun depan.” ucapnya.
Nathan duduk di kursinya, menatap layar proyektor, tapi pikirannya melayang. Ia melihat bayangan Elara di layar itu, tersenyum, menatapnya dengan lembut. Senyum yang jarang sekali ia lihat selama lima tahun pernikahan mereka. Atau lebih tepatnya senyum yang selalu diabaikan oleh Nathan.
'Elara, bahkan saat bersamaku, kau terlihat jauh. Kenapa aku tidak pernah benar-benar mencoba mendekatimu?' gumam Nathan sendiri.
“Tuan Nathan? Bagaimana pendapat Anda?” ucap pria yang tadinya sedang melakukan presentasi.
Nathan tersentak, lalu mencoba menguasai diri.
“Ah… ya. Jalankan saja. Nanti aku periksa detailnya.” singkat Nathan.
Pria itu tampak bingung, tapi mengangguk. Para manajer lain saling bertukar pandang. Mereka tahu, Tuan mereka itu tidak sedang dalam kondisi tak baik.
Setelah rapat, Nathan kembali ke ruangannya. Ia melepaskan dasinya dengan kasar, lalu menjatuhkan diri ke kursi.
Tangannya meraih sebuah laci, mengeluarkan foto dirinya dan Elara saat ulang tahun pernikahan kedua mereka.
Di foto itu, mereka tersenyum kaku di depan kue. Tidak ada kehangatan sejati, hanya formalitas untuk mengabadikan momen.
“Kenapa lima tahun itu terasa dingin? Apa aku yang membuatnya seperti itu? Apa aku terlalu takut untuk benar-benar mencintaimu? Ya, anggap saja aku yang salah.” ucap Nathan bicara sendiri.
Air matanya menggenang, tapi ia cepat mengusapnya dengan telapak tangan.
“Bodoh… kau bodoh, Nathan. Kau biarkan jarak itu membunuh pernikahanmu. Dan sekarang, kau merindukannya seperti orang gila.” decak Nathan merasa frustasi.
**
Malamnya, di apartemen, Nathan duduk sendirian di kamar. Semua foto pernikahan masih terpajang, meski ia sudah bercerai. Ia menatap cincin pernikahan yang masih ia simpan di meja.
Nathan berbicara pada cincin, seolah pada Elara.
“Aku tidak tahu apa artinya semua ini. Kau tidak pernah benar-benar jadi istriku, dan aku tidak pernah benar-benar jadi suamimu. Tapi anehnya, aku merindukanmu. Aku merindukanmu ketika kita telah usai. Semua telah berakhir." ucap Nathan.
Nathan terdiam, lalu menunduk lelah.
Nathan nyaris merasa putus asa karena kekacauan atas dirinya itu.
“Elara, aku merindukanmu. Bodoh sekali, ya? Setelah semua yang terjadi, aku masih menginginkanmu. Sial!” kesal Nathan merasa pikirannya sudah benar-benar sangat gila.
Keheningan kamar itu menelannya. Nathan tahu pernikahannya sudah berakhir, tapi hatinya belum bisa ikut bercerai.
"Nathan, waras lah sedikit bodoh! Elara menipumu!" ucap Nathan lagi.
Bersambung…