"Persahabatan adalah ikatan yang tak terpisahkan, hingga cinta datang dan menjadikannya sebuah pilihan."
Kisah ini berputar di sekitar dinamika yang rapuh antara dua sahabat karib yang datang dari kutub kehidupan yang berbeda.
Gabriella, gadis kaya raya dengan senyum semanis madu, hidup dalam istana marmer dan kemewahan yang tak terbatas. Namun, di balik sampul kehidupannya yang sempurna, ia mendambakan seseorang yang mencintainya tulus, bukan karena hartanya.
Aluna, gadis tangguh dengan semangat baja. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, berjuang keras membiayai kuliahnya dengan bekerja serabutan. Aluna melihat dunia dengan kejujuran yang polos.
Persahabatan antara Gabriella dan Aluna adalah keajaiban yang tak terduga
Namun, ketika cinta datang mengubah segalanya
Tanpa disadari, kedua hati sahabat ini jatuh pada pandangan yang sama.
Kisah ini adalah drama emosional tentang kelas sosial, pengorbanan, dan keputusan terberat di antara cinta pertama dan ikatan persahabatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JM. adhisty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERKENALAN AWAL
Sudut sepi di Perpustakaan Universitas Rajawali. Suasana tenang, hanya diselingi gesekan halaman buku.
Gabriella melangkah perlahan ke meja terpencil tempat Aluna selalu menyendiri. Niat awalnya sangat jelas dan pragmatis.
Axel sering melihat ke arah gadis ini, jadi Gabriella perlu tahu apa yang membuat pria yang dicintainya itu tertarik. Jika ia bisa berteman dengan gadis ini, ia bisa mengendalikan situasi, atau setidaknya, ia akan punya alasan untuk berada di dekat Axel.
Gabriella berdiri di samping Aluna. Gadis beasiswa itu sedang tenggelam dalam buku tebal, wajahnya lelah tetapi matanya fokus. Ia mengenakan jaket denim usang itu lagi, yang kontras dengan tumpukan buku-buku baru yang disumbangkan oleh Gabriella beberapa hari sebelumnya.
Aluna menyadari ada bayangan dan mendongak kaget. Matanya langsung menunjukkan pertahanan diri.
"Aku... maaf, apakah aku mengganggu?" tanya Gabriella, sedikit canggung.
Aluna menutup bukunya. "Tidak. Ada yang bisa kubantu?"
"Aku hanya... ingin bicara," kata Gabriella, menarik kursi di seberang meja. Ia menatap Aluna, mencari tahu apa yang spesial.
Aluna tetap diam, menunggu. Ia tidak tahu siapa nama gadis cantik ini, hanya tahu ia adalah bagian dari kelompok elit yang sering meremehkannya.
"Kamu... kamu selalu terlihat serius. Tidak pernah tertawa, tidak pernah melihat ke ponselmu," ujar Gabriella, mencoba memulai.
"Aku datang ke sini bukan untuk tertawa," balas Aluna dingin. "Aku di sini untuk belajar. Biaya kuliahku bukan dari orang tuaku."
Jawaban yang jujur dan tanpa basa-basi itu langsung menusuk pertahanan Gabriella. Gadis-gadis yang ia kenal akan tersinggung, merajuk, atau berpura-pura tidak peduli. Tapi gadis di depannya ini, ia lugas.
Gabriella tersenyum, senyum yang berbeda dari senyum sosialnya yang biasa. Senyum yang sedikit jujur.
"Kamu benar. Itu luar biasa," kata Gabriella. Ia kemudian teringat percakapannya dengan Arjuna dan tekanan yang ia rasakan. "Aku iri padamu. Kamu tahu persis apa tujuanmu. Aku... aku hanya di sini karena aku harus. Semua yang kumiliki diatur, termasuk apa yang harus kurasakan."
Gabriella meremas tangannya di bawah meja. Ia melihat Aluna, yang kini tidak lagi menunjukkan pertahanan diri, melainkan sedikit rasa ingin tahu dan empati.
"Kamu terlihat... tidak bahagia," kata Aluna perlahan.
Kata-kata itu membuat Gabriella terdiam. Tidak ada yang pernah mengatakan ia tidak bahagia. Mereka selalu mengatakan ia "beruntung."
Pada saat itulah, niat awal Gabriella untuk mendekati Aluna demi Axel hancur. Ia menyadari, di depan gadis ini, topengnya tidak berfungsi. Aluna tidak terintimidasi oleh kekayaan dan tidak menginginkan apa pun. Aluna hanya melihat dirinya sebagai seorang manusia, bukan sebuah aset.
Gabriella merasa ada beban berat yang terangkat dari dadanya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mengulurkan tangan kanannya melintasi tumpukan buku di meja.
"Aku Gabriella. Aku... ingin berteman denganmu. Bukan karena tugas, bukan karena geng, tapi karena aku ingin berteman dengan orang yang jujur."
Aluna memandang tangan yang terulur itu. Tangan yang dihiasi dengan cincin mewah itu terasa asing, tetapi nada suara Gabriella yang bergetar itu terasa nyata. Aluna menanggalkan sarung tangannya yang sudah usang dan menyambut uluran tangan itu.
"Aku Aluna," balas Aluna, merasakan genggaman tangan Gabriella yang ternyata hangat. "Terima kasih."
Perkenalan mereka dimulai bukan karena Axel, tetapi karena kerapuhan dan kejujuran yang sama-sama mereka temukan di tengah dunia yang penuh kepalsuan. Mereka berdua belum tahu bahwa persahabatan tulus yang baru saja terjalin ini akan diuji oleh cinta segitiga dan masa lalu yang rumit.
Akankah persahabatan yang dimulai dengan kejujuran ini mampu bertahan saat cinta pada Axel mulai tumbuh di hati Aluna?
beberapa saat setelah Gabriella dan Aluna berjabat tangan dan mulai berbincang santai, didominasi oleh ketulusan yang baru mereka temukan.
Di sisi lain perpustakaan, di antara deretan buku-buku sejarah, lima pria—Axel, Jhonatan, Kevin, Jay, dan Yoga—sedang berkumpul untuk membahas materi kuliah. Pembicaraan mereka terhenti ketika Kevin menyikut Axel dan menunjuk ke sudut ruangan.
"Coba lihat itu," bisik Kevin, nadanya antara terkejut dan geli. "Sejak kapan Ratu Gaby bersosialisasi dengan anak beasiswa?"
Semua mata mengikuti arah tunjuk Kevin. Mereka melihat Gabriella, yang biasanya dikelilingi oleh kemewahan, sedang duduk berhadapan dengan gadis jaket denim usang itu. Yang lebih mengejutkan, Gabriella tampak santai dan terlibat dalam percakapan, bukan sedang meremehkan.
Axel merasakan lonjakan kebingungan dan sedikit kecemasan. Ia tahu ini bukan gaya Gabriella. Niat awal Gabriella untuk mendekati Aluna demi Axel sudah kandas, tetapi Axel tidak mengetahuinya. Ia hanya melihat wanita yang ia cintai tiba-tiba mendekati gadis yang menarik perhatiannya.
"Gaby sedang melakukan pengamatan lapangan," cibir Jay, menyeringai. "Mungkin dia sedang mengumpulkan data untuk proyek sosial Ayahnya."
Jhonatan, sebagai leader dan yang paling pragmatis, menyipitkan mata. "Itu bukan Gaby. Dia tidak akan menyia-nyiakan waktu berharganya untuk hal-hal sepele. Gadis itu pasti punya sesuatu yang Gaby inginkan."
Ia menoleh pada Axel, mencari reaksi. "Kau yang paling sering melihat gadis itu, Axel. Kau tahu namanya?"
Axel menggeleng, memilih untuk berbohong. Ia memang sudah tahu nama gadis itu dari insiden di koridor, tetapi ia tidak ingin ada yang tahu seberapa besar perhatian yang ia berikan. "Tidak. Hanya tahu dia gadis yang didorong oleh Alexa."
Yoga, yang selama ini diam, akhirnya buka suara dengan suara rendah. "Dia tidak mencari sesuatu. Dia mencari ketenangan."
Kevin tertawa terbahak-bahak. "Ketenangan? Gadis itu hampir tidak bisa membeli pensil. Ketenangan Gaby ada di kartu kredit platinumnya!"
Melihat Gabriella tertawa kecil pada ucapan Aluna membuat Axel merasa ada sesuatu yang bergejolak di hatinya. Ia tidak senang Gabriella mendekati Aluna, tetapi ia juga tidak bisa menjelaskan mengapa. Ia khawatir Gabriella akan menyakiti Aluna dengan ketidaksengajaan, atau bahwa pertemanannya hanyalah tren sesaat.
"Kita harus memastikan Gaby tidak menyia-nyiakan waktunya," kata Axel, menyuarakan kekhawatiran yang ia sembunyikan sebagai sikap protektif. "Dia harus fokus pada tugas-tugasnya."
Axel mengambil langkah pertama, berniat mendekati meja mereka dengan dalih mengingatkan Gabriella tentang tugas kelompok.
Jhonatan menahan bahunya. "Biarkan saja. Jika Gaby tertarik pada gadis itu, biarkan. Ini jauh lebih baik daripada dia membuat masalah. Tapi kita awasi. Kita tidak ingin masalah lama terulang lagi."
Axel akhirnya mengalah, tetapi matanya tetap tertuju pada interaksi antara dua gadis yang sangat berbeda itu. Ia tidak tahu bahwa dalam beberapa menit percakapan yang ia saksikan itu, motivasi Gabriella telah bergeser dari kompetisi untuk dirinya menjadi persahabatan yang murni.
Meskipun "Big Five" belum tahu nama Aluna, mereka sudah tahu satu hal, kedekatan gadis beasiswa itu dengan Gabriella—dan perhatian tak terhindarkan dari Axel—akan menjadi benang merah baru yang akan menguji kesetiaan, persahabatan, dan cinta di antara mereka semua.
Akankah keheranan dan campur tangan "Big Five" segera membongkar perasaan Axel yang tersembunyi untuk Gabriella?