Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Sisa Hangat Semalam
Cahaya pagi mulai menembus tirai yang menutupi jendela kamar apartemen Elena. Sinar matahari perlahan jatuh di atas ranjang, memperlihatkan dua sosok yang masih terlelap di bawah selimut. Damian memeluk Elena, lengannya melingkari pinggang wanita itu, sementara tangan satunya menjadi bantal untuk kepala Elena.
Perlahan, mata Elena terbuka. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya fokus pada wajah Damian yang begitu dekat dengannya. Nafas pria itu teratur, damai, seolah tidak ada beban di dunia. Senyum kecil muncul di bibir Elena. Ia mengangkat satu jarinya dan dengan lembut menyentuh ujung hidung Damian.
“Sebentar lagi, Damian… semua harapanku akan terwujud. Semoga kau tidak membenciku,” gumam Elena dalam hati.
Namun sebelum ia menarik tangannya kembali, Damian bergerak. Jemarinya menggenggam lembut tangan Elena. Mata pria itu perlahan terbuka, menatap Elena dengan pandangan hangat yang membuat jantung wanita itu berdetak lebih cepat.
“Om sudah bangun?”
Damian tersenyum tipis, suaranya masih berat oleh sisa kantuk, “Kau tidak akan menyesal?”
Elena mengerutkan kening dengan bibir yang mengerucut kesal, “Bangun tidur bukannya bilang selamat pagi, malah bertanya seperti itu.”
Damian hanya terkekeh, lalu menunduk sedikit dan mengecup bibir wanita itu sekilas. Ciuman singkat yang membuat wajah Elena berubah dari kesal menjadi berbinar.
“Dasar pencuri ciuman!” protesnya manja, menepuk dada Damian pelan sambil tersenyum. Jemarinya kemudian menelusuri kulit pria itu, bermain di sana seolah tidak rela melepaskannya. Tapi Damian segera menahan pergerakannya.
“Hentikan, Elena…” ucap Damian pelan namun tegas, suaranya rendah dan serak.
Elena memiringkan kepala, senyum tipis muncul di wajahnya, “Bagaimana Om tadi malam? Om puas denganku, kan?” tanyanya dengan nada genit.
Damian menatap Elena lama, lalu tersenyum sambil menggeleng. Wajah Elena seketika berubah kecewa.
“Kau bukan barang, Elena. Jadi bukan soal puas atau tidak,” jawab Damian lembut, “Kau memberi kebahagiaan dan ketenangan. Sesuatu yang sudah lama tidak kurasakan.”
Ucapan itu membuat Elena terdiam, lalu tertawa kecil sambil menyembunyikan wajahnya di dada Damian, “Astaga Om, dapat dari artikel mana kalimat seindah itu?”
“Aku serius,” balas Damian, lalu menyentuh kulit punggung Elena.
Elena menatapnya lagi, “Lalu bagaimana dengan pernyataan sukaku semalam? Aku bersungguh-sungguh, Om. Aku memang jatuh hati sejak pertama kali melihat Om di jalan itu. Seorang pria kaya yang malah terjebak dengan mobil kempesnya. Sejak saat itulah aku ingin dekat dengan Om. Dan Om juga, karena Om selalu memperlakukanku dengan baik, makanya kadar sukaku pada Om semakin meningkat. Ini semua salah Om karena berhasil mencuri hatiku."
“Kau mencintaiku?” tanya Damian, matanya menatap dalam, seolah ingin membaca isi hati Elena.
Elena terdiam. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Tapi wajah Damian yang berharap menunggu jawabannya, membuatnya terpaksa mengangguk dengan senyum tipis.
“Tentu.”
Damian menghela napas pelan, lalu berguling terlentang, menatap langit-langit kamar, “Jujur, aku juga menaruh hati padamu sejak hari itu. Di tengah kawasan sepi, tiba-tiba seorang wanita muncul dengan penampilan tidak sederhana, dan itu benar-benar menghantui pikiranku. Saat kau datang begitu saja tanpa takut, aku melihat sesuatu yang berbeda dalam dirimu. Sesuatu yang membuatku ingin mengenalmu lebih jauh. Tapi…” ucapannya terhenti.
“Tapi apa, Om?”
Damian menoleh, menatap wajah wanita di sebelahnya, “Usiamu terlalu muda untukku. Aku tidak bisa menjalin hubungan dengan wanita yang bahkan seusia anakku.”
Elena kemudian menatap Damian tajam, “Setelah apa yang terjadi semalam, Om masih bisa mengatakan itu? Apa Om pikir aku tidak sakit hati? Kalau Om juga menyukaiku, maka perjuangkan aku. Jangan jadi pengecut hanya karena alasan usia. Cinta tidak mengenal angka, Om.”
“Aku tahu.” Damian menarik napas panjang, lalu menatap langit-langit lagi, “Begini saja, kita jalani pelan-pelan, ya?”
Elena menatapnya tanpa berkedip, lalu perlahan tersenyum. Ia mendekat, melingkarkan tangannya ke perut Damian, “Baiklah. Kalau begitu aku akan buktikan kalau aku pantas untuk Om. Tunggu saja, suatu hari nanti, Om yang akan mengejarku.”
Damian mengusap rambut wanita itu dengan lembut, “Kalau begitu, aku siap menunggu,” ujarnya dengan senyum tipis.
Elena hanya tersenyum sambil memejamkan mata, menikmati hangatnya pelukan itu. Namun kehangatan pagi segera berakhir ketika Damian bergerak bangun.
“Aku harus pergi,” ucap Damian sambil mencari pakaiannya yang berserakan di lantai.
Elena menatapnya dari tempat tidur, wajahnya kecewa, “Tapi Om…”
Damian hanya tertawa kecil, lalu mencubit ujung hidung Elena, “Kau lupa? Aku ada rapat siang ini, soal desain proyek kemarin.”
“Kenapa harus hari ini?” rengek Elena.
“Sudah-sudah. Lagi pula kita akan selalu bertemu di kantor. Kau beristirahatlah. Hari ini tidak usah datang ke kantor,” ucap Damian sambil mengenakan kemejanya.
Elena menyandarkan kepala di tangan, sambil memperhatikan Damian berpakaian. Tatapannya menelusuri setiap inci tubuh pria itu.
“Apa yang kau lihat?” tanya Damian.
Elena membalas dengan lirikan nakal, “Om tahu? Walaupun umur Om tidak muda lagi, tapi Om masih sangat menggoda.”
Damian terkekeh, “Kau menyukainya?”
Elena mengangguk cepat, “Sangat.”
Setelah menutup kancing terakhirnya, Damian berjalan mendekat. Ia membungkuk dan mengecup kening wanita itu.
“Aku pergi.”
Namun Elena menahan tangannya, “Sampai jumpa lagi, Om. Jangan hanya bilang aku pergi. Itu terdengar seperti perpisahan.”
Damian tersenyum, lalu mengangguk, “Sampai jumpa, Elena.”
Wanita itu melepaskan genggamannya. Damian pun melangkah keluar, hingga suara pintu apartemen tertutup. Sunyi kembali menyelimuti kamar.
Elena menatap langit-langit, lalu menarik napas panjang. Senyumnya perlahan memudar. Tatapannya berubah tajam, penuh perhitungan.
“Aku tidak akan melepaskan kalian, keluarga Evans yang terhormat,” lirihnya.
Ia kemudian menyingkap selimut yang menutupi tubuh polosnya, lalu segera bangkit sambil mengikat rambut. Langkahnya menuju lemari, dan mengambil pakaian santai dari sana.
Setelah memakai pakaian, ia berlanjut menuju nakas di samping tempat tidur. Ia membuka laci, dan mengambil sebuah botol kecil berisi pil pencegah kehamilan yang memang sudah ia siapkan sebelumnya.
Tanpa ragu, Elena menatap pil itu beberapa detik sebelum menelannya. Ia tidak mungkin membiarkan dirinya mengandung anak dari pria yang darahnya sama dengan orang yang pernah menghancurkan masa remajanya.
Sementara itu, Damian masih setia berdiri di depan pintu apartemen Elena. Ia belum juga melangkah pergi karena sibuk mengenakan kembali jas tuxedo-nya.
“Om Damian?”
Suara familiar membuatnya menoleh cepat.
“Iris? Kau di sini?”
Gadis itu mendekat dengan langkah ringan. Tatapannya naik turun, meneliti penampilan Damian dari ujung kepala hingga kaki. Iris lalu melirik pintu apartemen di samping Damian, seolah mulai menyimpulkan sesuatu.
“Om… kenapa keluar dari sana?”
Damian sempat terdiam sesaat sebelum menjawab dengan nada tenang, “Itu… seseorang yang kukenal tinggal di sini.”
“Oh, wanita cantik itu?”
Alis Damian terangkat, “Kau mengenalnya?”
“Tentu saja,” Iris tersenyum kecil, “Aku tinggal di sini juga.” Ia menunjuk pintu di seberang, “Apartemen kami berhadapan. Kami sering berpapasan di koridor, walaupun aku tidak tahu namanya. Tapi dia selalu tersenyum saat kami berpapasan.”
Damian mengangguk pelan, mencoba mencerna informasi itu. Fakta kecil itu terasa seperti sesuatu yang tidak seharusnya ia dengar pagi itu.
“Lalu, kenapa kau tinggal di sini?”
Iris tersenyum cerah, “Ingin mandiri, Om.”
Damian ikut tersenyum samar, “Aku bangga padamu.”
“Terima kasih.” Iris tampak teringat sesuatu, “Oh ya, semalam Sean juga mengantarku pulang. Dia bahkan melihat mobil Om di parkiran bawah. Dia sempat bertanya-tanya, kenapa Om ada di sini.”
“Semalam dia di sini?” Damian bertanya cepat, nada suaranya sedikit meninggi.
Iris mengangguk polos, “Iya. Bahkan singgah sebentar di apartemenku.”
Damian menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya kasar. Kepalanya terasa penuh, terlalu banyak kebetulan yang muncul bersamaan.
“Ada yang salah, Om?” tanya Iris pelan, khawatir melihat ekspresinya.
“Tidak,” Damian menggeleng cepat, “Tidak ada apa-apa. Kau masuklah. Aku harus pergi.”
“Tidak mau sarapan dulu, Om?” Iris mengangkat kantong plastik berisi makanan yang baru saja ia beli.
“Tidak perlu,” jawab Damian singkat, “Aku pergi dulu.” Ia kemudian melangkah cepat meninggalkan koridor.
Iris hanya menatap punggung Damian yang menjauh, kemudian pandangannya beralih pada pintu apartemen Elena.
“Om Damian berhubungan dengan wanita cantik itu, ya?” gumamnya pelan, sebelum mengangkat bahunya acuh dan masuk ke dalam apartemennya sendiri.
Damian menyalakan mesin mobil begitu masuk ke dalam, lalu segera melajukannya dengan kecepatan tinggi. Pikirannya hanya satu, Sean.
Bagaimanapun juga, Sean adalah putranya. Ia tidak ingin anak itu salah paham atau berpikir negatif tentang dirinya, terutama setelah ia berusaha memperbaiki hubungan mereka yang selama ini renggang.
Tidak butuh waktu lama, mobil Damian berbelok masuk melewati gerbang rumah. Ia memarkirnya asal di depan teras, bahkan tidak sempat menutup pintu mobil dengan rapi sebelum bergegas masuk.
“Tuan Damian, Anda sudah pulang?” sapa Jane begitu melihatnya.
“Di mana anak itu?” tanyanya langsung, napasnya masih agak berat.
“Bermain biliar di ruang keluarga,” jawab Jane cepat.
Damian mengangguk singkat dan segera melangkah pergi, tapi langkahnya terhenti ketika Jane memanggilnya.
“Tuan…”
Ia menoleh, “Ada apa?”
Jane tampak ragu-ragu, tapi akhirnya memberanikan diri, “Semalam Tuan tidak pulang, apakah menginap di tempat wanita itu? Maksud saya… Nona Elena?”
Nada suara Damian seketika berubah dingin, “Sejak kapan kau berani bertanya soal itu padaku?”
Jane langsung menunduk dalam, tubuhnya sedikit bergetar, “Maaf, Tuan…”
Damian menatapnya beberapa detik, lalu menarik napas panjang. Nada suaranya menurun, tapi tetap tegas.
“Sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?”
Jane mengangkat pandangan perlahan, “Sejak Tuan menikah… hampir dua puluh empat tahun.”
“Berarti kau tahu betul bagaimana sifatku,” ucap Damian dengan tatapan tajam, “Untuk urusan pribadiku, jangan pernah ada satu kata pun keluar dari mulutmu. Mengerti?”
Jane menunduk patuh, “Baik, Tuan. Saya hanya... mengkhawatirkan Tuan Muda. Jika Tuan menjalin hubungan dengan wanita lain. Bagaimana pun juga, hal ini akan berpengaruh padanya.”
“Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu,” jawab Damian, lalu melangkah pergi meninggalkan Jane yang masih menunduk di tempatnya.
Damian kemudian melangkah masuk ke ruang keluarga sambil menatap sekelilingnya yang selalu terlihat rapi dan mewah. Cahaya dari jendela besar menyinari lantai marmer dan meja biliar di tengah ruangan.
Di sana, Sean tengah menunduk, fokus memegang stik biliar dan bersiap memukul bola putih yang terarah ke deretan bola berpencar.
“Ayah pulang?” Sean menoleh, lalu menegakkan tubuhnya, “Mau bermain denganku?”
Damian menggeleng, “Tidak. Setelah ini aku harus bersiap untuk ke kantor.”
Sean mengangguk.
“Sean…” Damian berdiri ragu.
Sean tersenyum, “Katakan saja, Ayah. Aku sudah tahu semuanya. Iris baru saja menghubungiku. Dan wanita itu… aku sempat melihatnya beberapa hari lalu di meja makan. Hanya punggungnya saja, tapi kesan pertama cukup membuatku tahu dia orang baik. Bahkan bisa membuat Ayah tertawa lagi setelah sekian lama. Ibuku sudah memiliki kehidupan baru. Alasan aku tidak mengatakannya, karena aku tidak ingin Ayah merasa tertekan. Aku mengerti semuanya.”
Damian menelan ludah, menatap putranya lekat-lekat.
“Dan dari awal pun, aku tidak pernah melarang Ayah menjalin hubungan dengan wanita lain. Jika dia membuat Ayah bahagia, dan dia memang orang baik. Maka, aku akan merestuinya.”
Seketika, Damian merasa lega tapi hatinya masih campur aduk. Tanpa sadar, ia melangkah lebih dekat dan memeluk putranya.
“Kau sudah dewasa, Sean. Ayah selalu menyayangimu.”
Sean membalas pelukan itu hangat, lalu tersenyum sambil melepaskan diri.
“Perkenalkan aku padanya. Aku ingin bertemu dengannya langsung.”
Damian menatap Sean, ragu. Apalagi, pembicaraan pagi tadi dengan Elena masih terasa membekas.
“Aku tidak tahu bagaimana pendapatmu jika sebenarnya... dia seusiamu.”
Sean melebarkan matanya sejenak, tapi kemudian tersenyum santai, dan memegang kedua bahu Damian untuk menenangkannya.
“Ayah tidak perlu khawatir. Usia tidak akan memengaruhi restuku padamu.”
Damian mengangguk, merasa lega, “Terima kasih. Lanjutkan permainannya, Ayah harus segera bersiap.”
Sean tersenyum, kembali menunduk di atas meja biliar, dan Damian pun meninggalkan ruangan dengan perasaan sedikit lebih ringan karena melihat putranya yang semakin dewasa dan bijak.
Sepeninggal Damian, Sean berdiri tegak dengan rahang mengeras. Senyum yang tadi sempat menghiasi wajahnya kini lenyap, berganti tatapan gelap penuh amarah. Ia menggenggam stik biliar di tangannya dengan kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
Prak!
Suara keras terdengar saat stik itu menghantam meja biliar dengan kasar, membuat bola-bola di atasnya bergetar dan memantul sembarangan.
“Aku tidak akan pernah merestuimu!” ucapnya pelan namun tajam.
Semua yang baru saja ia katakan pada Damian hanyalah bagian dari rencana yang sudah ia susun. Sebuah permainan peran untuk membuat sang ayah lengah, agar Damian percaya bahwa ia adalah anak yang patuh dan layak dibanggakan.
Ia tidak akan membiarkan hubungan itu terus berjalan, apalagi sampai ke jenjang pernikahan. Jangan sampai wanita itu melahirkan anak sah dari ayahnya. Karena jika saat itu terjadi, posisinya sebagai pewaris Evans Corporation akan benar-benar terancam.
Sean menatap pantulan dirinya di bola hitam di atas meja, lalu menyeringai miring.
“Permainan baru saja dimulai, Ayah,” gumamnya dingin.