Dua orang sahabat dekat. Letnan satu Raden Erlangga Sabda Langit terpaksa harus menjadi presiden dalam usia muda karena sang ayah yang merupakan presiden sebelumnya, tutup usia. Rakyat mulai resah sebab presiden belum memiliki pasangan hidup.
Disisi lain presiden muda tetap ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Sebab desakan para pejabat negara, ia harus mencari pendamping. Sahabat dekatnya pun sampai harus terkena imbas permasalahan hingga menjadi ajudan resmi utama kepresidenan.
Nasib seorang ajudan pun tak kalah miris. Letnan dua Ningrat Lugas Musadiq pun di tuntut memiliki pendamping disaat dirinya dan sang presiden masih ingin menikmati masa muda, apalagi kedua perwira muda memang begitu terkenal akan banyak hitam dan putih nya.
Harap perhatian, sebagian besar cerita keluar dari kenyataan. Harap bijaksana dalam membaca. SKIP bagi yang tidak tahan konflik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Takdirnya.
Pagi itu, suasana di rumah dinas terasa begitu berbeda. Kabar tentang kontraksi yang dialami Nadine menyebar dengan cepat, menciptakan ketegangan yang tak terucapkan. Bang Lugas tampak menyembunyikan rasa gelisahnya, sejenak ia mondar-mandir di ruang tamu tapi kemudian kembali duduk.
Dena yang melihatnya pun merasa tidak tega. "Abang kesana saja, temani Mbak Nadine."
Bang Lugas masih terdiam memikirkan banyak hal, dalam pikirannya, dalam benaknya.
"Bang, cepat..!!!! Mbak Nadine mau melahirkan anak Abang. Masa Abang tega membiarkannya berjuang sendirian. Bagaimanapun keadaannya, Mbak Nadine tetap seorang ibu, ibu dari anak Abang." Kata Nadine mengingatkan.
Bang Lugas menengadah merasakan tekanan beban batin yang menghimpit perasaannya, ia menarik Dena ke dalam pelukannya. "Abang minta ijin, sebentar saja menemani Nadine. Tapi, kamu ikut ya..!!"
...
Di temani kedua sahabatnya juga bersama Dena, Bang Lugas pun tiba di rumah sakit. Kakinya sempat ragu untuk melangkah masuk ke dalam ruang bersalin tapi Dena mendorongnya.
Di dalam ruangan, Bang Lugas melihat Nadine sedang berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan buah hati pertamanya, buah hati yang tanpa sengaja ia dapatkan dan tanpa ia harapkan hadirnya.
"Bapak suaminya?" Tanya ibu Bidan.
Melihat perjuangan Nadine, Bang Lugas menjadi tidak tega. Bagaimana pun juga melahirkan seorang anak adalah proses di antara hidup dan mati. Tidak pernah ada pilihan antara setengah mati atau mati. Teringat pula Dena yang sedang mengandung buah hatinya.
"Iya, saya suaminya." Jawab Bang Lugas.
Sungguh saat itu Nadine merasa trenyuh dan tersentuh mendengar satu kata yang sebenarnya begitu ia inginkan. Namun sejak Bang Lugas 'menghukumnya', ia tersadar bahwa tidak akan pernah baik memaksakan cinta.
Bang Lugas duduk di sisi ranjang kemudian membenahi letak selimut Nadine yang menutupi bagian bawahnya. Ia pun sadar diri, bukanlah siapa siapa dan tidak memiliki hak apapun atas diri Nadine kecuali tanggung jawabnya atas berkah yang sudah Allah titipkan padanya.
"Sebentar lagi pak, sudah fase delapan." Kata Ibu Bidan.
Lembut Bang Lugas mengusap kening Nadine. "Maaf, Abang menyakitimu."
Sembari menahan rasa sakitnya, Nadine menatap kedua bola mata Bang Lugas yang nampak memerah. "Nadine yang seharusnya minta maaf, Nadine yang sengaja menggoda Abang sampai mengganggu rumah tangga Abang dan Dena. Nadine juga seorang wanita yang juga akan menjadi seorang ibu, Nadine juga sudah menyakiti hati Dena. Nanti, sampaikan permintaan maaf Nadine untuknya."
Bang Lugas mengangguk, ia menyentuh tangan Nadine yang kembali merasakan sakit kemudian menggenggamnya. Lama kelamaan Nadine semakin gelisah namun Bang Lugas mendengar lirih, bibir Nadine hanya memperbanyak istighfar.
"Pendarahan, dok..!!" Bu bidan kembali datang bersama seorang dokter.
Dokter pun segera memastikan keadaan Nadine dan benar saja, Nadine mengalami pendarahan hebat.
"Kami minta persetujuan tindakan dari suami." Kata Dokter pada Bang Lugas kemudian kembali memeriksa kondisi Nadine dengan cepat.
Keadaan Nadine sudah kian melemah, Bang Lugas sigap beranjak tapi Nadine mencegahnya.
"Ada apa?"
"Tidak usah. Nadine tidak apa-apa, Bang. Ini teguran dari Tuhan untuk Nadine." Ujar Nadine lirih.
"Bayinya sudah terjebak di jalan lahir, Pak. Ibunya sudag tidak kuat. Kalau di paksa, bayinya lahir namun fatal bagi ibunya." Penjelasan dokter di hadapan Bang Lugas.
"Selamatkan ibunya..!!" Perintah Bang Lugas.
Nadine menggenggam tangan Bang Lugas. "Bayinya saja..!!"
"Apa-apaan kamu, Nadine. Nyawamu bisa terancam." Bentak Bang Lugas.
Dokter pun pamit memberi jeda waktu tiga menit untuk Nadine dan Bang Lugas berbicara.
"Abang, Nadine sudah penuh dengan dosa. Nadine mohon kali ini saja, biarkan Nadine menjadi seorang ibu yang sempurna, ijinkan Nadine berjuang, memberikan Abang seorang anak." Ucap Nadine semakin lirih.
"Nggak usah bicara ngawur. Kamu sehat, kamu kuat.. Kamu masih bisa menjadi ibu lagi."
"Nadine tau, tapi Nadine juga tau.. Hanya ada satu cinta di hati Abang, dan itu bukan Nadine. Biarkan Nadine merasakan satu kali saja menjadi istri Abang, untuk yang pertama dan terakhir kalinya." Jawab Nadine.
Pikiran Bang Lugas masih berantakan. Surat untuk tindakan masih di siapkan namun Nadine sudah mengejan, berjuang sekuat tenaga untuk melahirkan bayinya. Dokter, bidan dan para staff di buat kalang kabut di buatnya.
Secepatnya dokter bertindak namun semua sulit di kendalikan. Bang Lugas paham situasi sedang tidak baik. Ia mendekap Nadine dan mengusap punggungnya dengan lembut.
"Terima kasih, Abang sudah memberi pelajaran berharga untuk Nadine. Terima kasih juga Abang sudah mengingatkan bahwa wanita juga harus punya harga diri. Maaf, cinta Nadine sudah menyakiti Abang. Sungguh Nadine sayang sama Abang, meskipun sebut kata 'istri' tidak akan pernah Nadine dengar."
Sekali lagi Nadine mengejan, Bang Lugas melihat sosok bayi kecil pun terlahir ke dunia. Tangisnya kemudian membahana mengisi ruangan.
Semuanya begitu cepat. Nadine melemah, dari bibirnya mengalir darah segar, dekapannya pun sudah mulai melonggar.
Di balik semua rasa, Bang Lugas pun tidak mampu menahan diri, ada rasa bersalah, sesal dan luka tak terperi melihat mata Nadine juga perlahan mulai meredup.
"Dengar Nadine.. Abang yang seharusnya berterima kasih, kamu sudah rela membawanya selama sembilan bulan. Maafkan ketidak sempurnaan Abang mendampingimu. Dalam hati Abang jelas ada kamu. Kamu yang mengisi lubuk hati Abang, pertama kali kita berjumpa. Tapi.. Takdir ini membawa Abang melabuhkan hati pada Dena.. Satu-satunya belahan jiwa dan cinta terakhir di dalam hati Abang. Satu hal yang harus kamu tau, ibu dari anak-anak Abang.. pasti Abang cintai, meskipun kamu hanya patahan kisah hidup Abang."
"Te_rima ka_sih Abang. Tolong jaga anak kita." Ucap Nadine terbata hingga kemudian matanya terpejam dan benar-benar menghilang.
Bang Lugas menunduk merasakan hatinya yang berantakan. Dokter dan bidan masih mencoba mengembalikan nyawa pasiennya namun takdir Tuhan berkata lain.
:
Bang Lugas bersandar lemas. Disana Bang Erlang dan Bang Decky terus memberikan semangat dan perhatian pada sahabatnya itu.
Tak lama dokter datang dan menyerahkan bayi itu pada Bang Lugas namun Bang Lugas nampak ragu melihat ataupun menerimanya hingga akhirnya Dena yang menerima bayi tersebut.
Dengan besar hati Dena duduk di samping suaminya. "Coba Abang lihat, dia ganteng sekali. Hidungnya, bibirnya sama seperti Papanya, Abang tidak ingin menggendongnya."
"Dia adalah dosa, dosa besar yang sudah kubuat dan hanya bisa menyakitimu." Jawab Bang Lugas lirih dan tanpa ekspresi.
"Yang salah hanya perbuatan ayah ibunya, tapi dia lahir dengan takdirnya. Masa lalu memang sudah terjadi, tapi masa depan dia ada di tangan Papanya." Ucap Dena terus menghibur dan membesarkan hati Bang Lugas.
"Sanggupkah kamu hidup dengan laki-laki yang sudah memberimu beban seberat ini??" Tanya Bang Lugas.
"Anak terlahir bukanlah beban. Dena ikhlas menyayanginya."
Bang Lugas menangis sejadi-jadinya, ia memeluk Dena dan bayi yang ada dalam gendongan istrinya. Bang Lugas menumpahkan beban perasaan dan rasa sakit yang sudah ia tahan "Maaf.. Maafkan Abang..!! Abang salah..!!"
"Ayo Pa, Papa pasti kuat..!! Kita besarkan anak-anak bersama. Tanpa Papa, Dena pun tidak bisa apa-apa."
"Tanpamu istriku, aku pun tidak akan sanggup." Jawab Bang Lugas seakan takhluk di tangan Dena.
.
.
.
.
,
💪💪