NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:219
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bapak Memaafkanmu

“Ada tamu ya?”

Nira tersentak dan refleks menghentikan langkah. Ia mendongak, melihat Riki yang berdiri di hadapannya.

“Kenapa kamu kaget begitu?” Riki menaikkan satu alisnya.

“Ya kaget aja,” geleng Nira cepat.

“Siapa yang ada di depan? Tamunya Bapak?” tanya Riki lagi.

“Iya. Tetangga sih.”

“Ya udah kalau gitu, buatin aku kopi dong. Aku mau gabung sama mereka.”

Nira mengernyitkan dahi. “Kamu mau ikut gabung mereka?”

“Iya. Hitung-hitung mengakrabkan diri lah. Aku kan sudah jadi mantunya Bapak.”

Nira belum sempat menanggapi saat matanya melihat Riki sudah berjalan keluar. Mengembuskan napas sekali, Nira kembali masuk ke dalam rumah, membuatkan kopi untuk Riki dan membawanya ke depan.

“Ada tamu, Pak?” sapa Riki saat melihat seorang pria duduk di seberang Mardi.

Mardi dan Riki menoleh.

“Iya, Rik. Kenalin, dia Raffi,” ucap Mardi memperkenalkan Riki dan Raffi.

Raffi memberikan senyumnya dan berjabat tangan dengan Raffi.

“Raffi.”

“Riki.”

Riki lantas duduk di kursi kosong, tengah-tengah antara Mardi dan Raffi. Riki mengeluarkan rokok dari saku celananya dan meletakkannya di atas meja.

“Rokok, Mas,” ucap Riki.

Raffi tersenyum, menggeleng. “Saya nggak ngerokok, Mas.”

Riki mengangguk. Ia lantas menawarkannya pada Mardi yang langsung diangguki Mardi. Ketiganya lantas mengobrol. Nira keluar membawa secangkir kopi yang ia letakkan di atas meja depan Riki. Setelah itu, Nira kembali masuk ke dalam rumah.

“Nira memang nggak bisa membuat kopi yang nikmat,” ucap Riki setelah menyeruput kopinya.

“Karena dia nggak pernah ngopi. Seumur hidupnya dia jarang membuatkan kopi siapapun termasuk bapaknya sendiri.” Mardi menanggapi dengan senyum tipis di bibirnya.

Raffi terdiam. Ia hanya tersenyum saja. Ada sesuatu di dalam hatinya. Rasa hangat sekaligus lega karena sepertinya Nira tak melupakan takaran gula pada kopi kesukaannya.

Sementara ketiga pria dewasa mengobrol di teras depan, Nira tengah duduk sendiri di sofa ruang tamu. Beberapa kali ia menghela napas. Ucapan Raffi mengganggu pikirannya. Bagaimana mungkin ia masih mengingat semuanya bahkan termasuk kopi kesukaan Raffi padahal mereka sudah lama sekali tak jumpa?

Tadi ia sempat melirik Raffi. Tak ada yang berubah dari wajahnya ataupun senyumannya. Karena sudah terlalu lama tak bertemu, Nira jadi canggung untuk sekedar menyapa. Nira lantas menggeleng pelan.

‘Tidak. Aku nggak boleh mikirin lelaki lain saat aku baru saja menikah dengan Riki.’

Nira berdiri. Saat melewati kamar Tomi dan Fitri, ia berhenti sesaat. Matanya melirik pintu. Samar-samar terdengar suara yang tak asing karena ia pun pernah bersuara seperti itu saat memadu kasih dengan Riki. Nira menggeleng pelan dan kembali melanjutkan langkah.

“Masa muda memang sungguh menggelora. Di depan ada tamu, tapi mereka bisa-bisanya melakukan itu di pagi menjelang siang begini,” gumam Nira pelan.

***

“Pak?”

Mardi yang tengah duduk di teras sambil mengepulkan asap roko ke udara menoleh pelan. Sinta berdiri di ambang pintu.

“Ada apa, Bu?” tanya Mardi.

“Ini udah jam sembilan malam. Masuk yuk. Angin malam nggak baik buat kesehatan Bapak,” jawab Sinta.

“Sebentar lagi. Rokoknya belum habis.”

Sinta mendesah pelan. Ia melangkah mendekat, menarik kursi, dan duduk di sebelah Mardi.

“Rokoknya dikurangin, Pak. Bapak itu udah tua. Kesehatannya dijaga. Ngrokok, begadang, itu nggak baik loh.”

“Cuma ini satu-satunya cara biar pikiran nggak stress, Bu.”

Sinta menyandarkan punggungnya. Menatap gelapnya malam. “Besok Nira dan Riki kembali ke kota. Ibu lihat, Bapak juga belum banyak bicara sama Nira. Bapak masih belum bisa memaafkannya?”

Mardi mengembuskan kembali asap rokok ke udara. “Bapak cuma nggak tahu harus bersikap bagaimana. Kecewa itu pasti. Tapi, semuanya sudah terlanjur terjadi.”

Sinta menatap suaminya. “Mulai besok, Nira dan Riki akan hidup mandiri. Jauh dari kita. Jauh dari orang tuanya. Dia juga akan melahirkan bayinya di sana. Dia sudah cukup menyesal telah mengecewakan kita, Pak. Seperti apa katamu, semuanya sudah terlanjur terjadi. Disesali pun, nggak akan ada yang bisa berubah.”

Sinta menarik napas pelan sebelum melanjutkan.

“Jangan sampai Nira merasa kita sudah mengacuhkannya. Dia sudah menyesali kesalahannya. Kalau kita menarik diri, Nira bisa berpikir kita sudah nggak peduli lagi dengannya. Dia nggak akan lagi cerita ke kita. Dia nggak akan lagi meminta bantuan kita saat dia sedang ada masalah. Dan aku takut, dia menjauhi kita, Pak.”

“Mau sebesar apapun kesalahannya, dia tetap anak kita. Anak kandung kita. Yang terpenting dia sudah bertanggung jawab atas kesalahannya itu. Kita berhak kecewa. Berhak marah. Tapi, buat apa? Toh, kita udah nggak bisa lagi ngubah keadaannya.”

Mardi menghela napas. Rokok di tangannya ia matikan di dalam asbak, lantas menoleh, menatap sang istri.

“Ibu ingin kita memberi dukungan pada mereka terutama Nira. Aku ingin dia tersenyum lega sebelum menjalani kehidupan mereka yang sebenarnya nanti di kota. Aku ingin dia mempunyai kekuatan dalam menghadapi masalah apapun yang mungkin akan datang. Aku ingin dia memiliki kita, orang tuanya, yang akan selalu ada untuknya baik suka ataupun duka. Bisakah kita melakukan itu, Pak?” tanya Sinta menatap Mardi.

Mardi mengangguk. Tersenyum. Menggenggam tangan Sinta. “Bapak tahu. Kita akan melakukannya.”

Sinta tersenyum. “Ya udah. Sekarang kita masuk ya. Ini sudah sangat malam.”

Mardi mengangguk. Ia berdiri, menggandeng tangan Sinta, dan masuk ke dalam rumah.

Keesokan paginya, pukul delapan pagi, Riki tengah bersiap memanasi mobil milik Nira yang akan ia bawa ke kota bersama istrinya. Nira sedang memeriksa berbagai barang mereka. Memastikan tidak ada yang ketinggalan sebelum berpamitan pada orang tuanya.

“Mobil sudah siap, Nir. Barang-barang kita sudah siap juga?” tanya Riki menghampiri Nira di kamar mereka.

“Udah. Tinggal pamitan aja.”

Riki mengangguk. Membawa satu tas terakhir yang ia bawa menuju mobil mereka. Setelahnya, Nira dan Riki berpamitan.

“Jaga diri baik-baik, Nira, Riki. Kalau sudah terasa ingin melahirkan, segera hubungi Ibu dan Bapak. Kami akan berusaha datang secepat mungkin,” pesan Sinta memeluk Nira.

“Baik, Bu. Doakan kami ya, Bu,” angguk Nira.

Sinta melepas pelukan Nira dan memberi nasihat juga pada Riki yang bersalaman dengannya.

“Jaga Nira, Riki. Dia istrimu sekarang. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita pada kami. Jangan sakitin dia, ya.”

“Iya, Bu. Aku akan menjaga Nira dan bayi kami,” angguk Riki.

Nira berdiri di hadapan Mardi. “Pak?”

Mardi tersenyum lalu memeluk Nira. Nira terkejut, tapi setelahnya tersenyum. Ia balas memeluk Mardi.

“Bapak sudah memaafkanmu. Jaga kesehatanmu dan anak kalian. Jangan sungkan untuk menelepon kami. Ceritakan apa saja yang kalian alami di sana,” pesan Mardi setelah melepas pelukannya.

Nira mengangguk. Air matanya menetes sekali. “Pasti, Pak. Bapak sehat terus ya. Kurangin rokok sama begadangnya ya agar Bapak bisa datang saat nanti aku melahirkan, juga melihat cucu-cucu Bapak sampai besar nanti.”

Mardi mengangguk. Mengelus kepala putri sulungnya. “Bapak usahakan.”

Nira mengangguk lalu mundur. Memberi Riki kesempatan untuk berpamitan pada Mardi.

“Kamu bertanggung jawab penuh atas kehidupan putri dan cucuku, Riki. Bahagiakan mereka. Jika kiranya kamu tak sanggup, bilang sama Bapak. Jangan kamu tinggalkan mereka di kota sendirian,” pesan Mardi.

“Aku tak kan pernah menyakiti Nira, Pak. Aku mencintainya. Aku akan berusaha membahagiakannya,” ucap Riki.

Mardi mengangguk. Nira dan Riki juga berpamitan pada Tomi serta Fitri.

“Jaga Bapak dan Ibu, Tom. Kalau ada apa-apa di sini, kabarin Kakak. Jangan ragu,” pesan Nira pada sang adik.

“Iya, Kak,” angguk Tomi.

Setelah semuanya selesai, Nira dan Riki masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian, mobil itu melaju ke jalan besar. Meninggalkan rumah masa kecil Nira menuju masa depan yang Nira pilih. Perjalanan itu baru saja di mulai.

***

“Bos, motor matic yang di sana itu sudah selesai di service belum?”

Raffi tersentak. Ia mendongak, menatap salah satu karyawab terlamanya, lalu bertanya,” Kamu tadi ngomong apa?”

Karyawan bernama Yusuf itu menghela napas. Jelas sekali jika Bosnya ini tengah melamun di tengah-tengah kesibukan mereka di bengkel.

“Motor matic yang di sana itu sudah selesai di service belum?” Ulang Yusuf menunjuk motor yang tak jauh dari tempat mereka.

Raffi mengikuti arah telunjuk Yusuf dan mengangguk. “Sudah. Orangnya sudah datang buat ambil?”

“Belum sih. Tapi kan janjinya selesai jam sembilan pagi. Jadi, kalau orangnya datang, tinggal ambil.”

Raffi mengangguk. “Ya sudah sana. Balik kerja lagi.”

Yusuf pun melangkah menjauh, kembali bekerja. Raffi menghela napas dalam. Sejak pertemuan tak sengajanya kemarin dengan Nira setelah sekian lama, ia mulai melamun lagi. Padahal sudah lama sekali ia tak melamunkan lagi kisah mereka yang kandas beberapa tahun lalu. Ia terus menyibukkan diri, membangun usaha bengkelnya yang kini makin maju karena kegigihannya.

Tapi, cukup satu wajah cantik yang pernah membuatnya bahagia di masa lalu, hadir kembali di ingatan dengan versi wajah yang lebih cantik juga dewasa, membuat harinya terasa berhenti di masa lampau. Membuatnya kembali melamun. Melamunkan seseorang yang kini telah menikah dengan lelaki lain yang jelas bukan dia orangnya. Bukan dia yang berada di sisi Nira saat ini. Bukan dia yang menjadi suami Nira, seperti yang pernah diucapkan Nira beberapa tahun lalu saat bunga cinta diantara mereka sedang bermekaran indah.

“Kamu cantik. Banyak yang suka sama kamu. Bagaimana kalau seandainya suatu saat nanti, kamu bertemu dengan lelaki yang lebih tampan dan mapan dari aku? Apa kamu akan berpaling?” tanya Raffi saat mereka tengah kencan di sebuah tempat makan.

Nira tertawa pelan dan menggeleng. “Aku cuma mau kamu yang jadi suamiku, Mas. Kalau masalah tampan, bagiku, kamu sudah tampan buatku. Kalau soal mapan, aku bisa mendampingi setiap prosesmu menuju mapan.”

“Jadi, kamu akan selalu berada di sisiku apapun keadaanku?”

“Iya. Cuma kamu orangnya, Mas.”

Percakapan singkat yang masih terus Raffi ingat hingga saat ini. Tapi sayang, semua ucapan itu hanya terjadi di masa lalu. Memang, tidak ada yang tahu bagaimana takdir ke depan, tapi romansa saat itu di antara mereka, membuat Raffi tak kuasa untuk melupakan Nira sedikit saja.

Pada kenyataannya, Raffi masih mengingatnya. Kalaupun lupa, itu pasti saat ia sibuk di bengkel ataupun saat tidur. Namun, berbeda kali ini. Ia justru mengingat Nira lagi saat pekerjaannya tengah menunggu.

Raffi menghela napas berat. Ia menoleh, mencari keberadaan Yusuf dan berseru memanggilnya.

“Iya, Mas.” Yusuf sudah berdiri di depan Raffi.

“Beliin air setan, Suf. Nih uangnya.” Raffi mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan menyodorkannya pada Yusuf.

Yusuf mengerutkan kening. Ia menatap tangan Raffi yang terulur.

“Mas? Ini masih pagi. Mana ada yang jual air setan pagi-pagi?”

“Nggak mau tahu. Cepat cari sana. Biar aku yang bereskan pekerjaanmu. Cepat sana.”

Yusuf menerima uang itu lalu melangkah pelan keluar dari bengkel. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, berharap ia salah dengar, atau Raffi memanggilnya kembali dan bilang tak jadi beli. Tapi sayang, Raffi sudah berada di samping motor yang sedang ia kerjakan tadi.

Perintah itu jelas. Dan sekarang, Yusuf tengah kebingungan sendiri. Dimana ia menemukan penjual air setan sepagi ini? Dan mengapa tiba-tiba Bosnya itu membutuhkan air itu sekarang? Apa Bosnya ingin mabuk-mabukan sepanjang hari ini?

(Air setan itu nama lain dari banyu setan kalau dalam bahasa jawa. Air oplosan yang sengaja dibuat untuk mabuk-mabukan. Sejenis alkohol tapi dengan versi lebih murah karena dioplos.)

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!