NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Paper Bride 7-Obstacle

Keesokan harinya, saat Pratama tiba di Sidoarjo, ia bisa merasakan ketegangan yang pekat di udara, bahkan sebelum melangkah masuk ke rumah. Suasana pagi yang seharusnya cerah terasa kelabu. Pak Ming membukakan pintu untuknya, wajahnya tampak lelah dan cemas.

"Pram," sapa Pak Ming, suaranya berat. Ia menyerahkan sebuah nampan berisi bubur hangat dan segelas air putih. "Tolong berikan makanan ini. Dia sama sekali belum keluar dari kamar sedari kemarin.”

Pratama mengangguk, hatinya mencelos mendengar kondisi Caroline. Kekhawatiran melingkupinya. Setelah Pak Ming lekas pergi, ia melangkah perlahan menuju kamar Caroline. Ia mengetuk pintu, pintunya dihiasi gantungan manik-manik pelangi yang dulu sering ia tertawakan sebagai benda kekanak-kanakan.

Tidak ada jawaban.

Pratama mengetuk lagi, sedikit lebih keras.

"Lin? Ini aku. Aku bawakan makanan. Kamu harus makan."

Keheningan yang membalasnya terasa memekakkan telinga. Pratama mencoba memegang gagang pintu, perlahan memutarnya. Tidak terkunci. Dengan hati-hati, ia membuka pintu. Kamar Caroline temaram, tirai tertutup rapat, hanya menyisakan sedikit celah cahaya yang jatuh di lantai.

Pratama melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia meletakkan nampan di nakas dengan hati-hati, lalu mendekati Caroline. Ia bisa merasakan aura kesedihan dan kekecewaan yang begitu pekat.

Caroline duduk meringkuk di sudut ranjang, membelakangi pintu, tubuhnya tampak kecil dan rapuh. Amplop cokelat dan pigura itu tergeletak di sampingnya di ranjang. Ia tampak tidak bergerak, seolah-olah seluruh energinya telah terkuras habis.

"Lin..." panggil Pratama lembut, duduk di tepi ranjang, menjaga jarak. "Kamu harus makan. Sejak kemarin kamu belum makan, kan?"

Caroline tidak merespons. Ia tetap meringkuk, bahunya sedikit bergetar. Pratama bisa mendengar isakan yang teredam, jauh lebih menyakitkan daripada ledakan kemarahan semalam. Ini adalah tangisan yang dulu ia sering temukan, tanpa suara, dari seseorang yang berusaha keras menahan penderitaannya sendiri.

"Lin, tolong. Bicaralah padaku," Pratama mencoba lagi, suaranya sarat permohonan. Ia ingin sekali menyentuhnya, memeluknya, tapi ia tahu ia harus hati-hati. "Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu terluka. Tapi tolong, jangan seperti ini. Aku di sini untuk mendengarkan, untuk menjelaskan segalanya. Aku tidak akan pergi."

Caroline tetap tak bergerak. “Taruh saja piringnya.” Suara itu begitu serak, seperti ranting patah. Pratama mengamati pigura dan amplop di dekatnya. Sejenak ia tidak tahu apakah ia harus menyesali keputusannya akan membiarkan istrinya istirahat disini.

Pratama menolak. Ia tahu Caroline justru tidak akan memakannya seperti dulu. Ia memutuskan meletakkan piring ke meja lalu maju perlahan ke Caroline. Saat Pratama mendekat, Caroline tiba-tiba berteriak histeris,

"Jangan! Jangan lihat aku! Jangan melihat wajahku!"

Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, seolah takut Pratama akan melihat sesuatu yang menjijikkan atau aib yang tak termaafkan. Tubuhnya bergetar hebat.

Pram mencium sesuatu yang tidak beres. Kondisi ini sangatlah buruk. Dia tidak tahu harus melakukan apa, namun ia tetap maju dan memeluk Caroline. Perempuan itu memukulnya dan berusaha melepaskan diri, menggeliat. Namun Pram tidak melepaskannya sama sekali.

“Apa yang kau pikirkan? Jika kau berpikir bahwa wajahmu sangat buruk karena menangis semalaman, singkirkan hal itu sekarang juga.”

Caroline bernapas begitu kuat dan cepat, isakannya semakin keras namun tertahan di tenggorokan. Pratama dengan lembut tapi mantap memisahkan tangan Caroline yang masih menutupi wajahnya. Mata Caroline yang sembab dan merah terpapar, penuh dengan kengerian dan rasa jijik terhadap dirinya sendiri.

"Apapun yang ada di pikiranmu, jelaskan padaku langsung," kata Pratama, menatap langsung ke mata Caroline. Ia menahan napas, menunggu ledakan yang mungkin akan datang, atau justru kebenaran pahit yang jauh lebih dalam dari sekadar kontrak.

Ia tahu, momen ini akan menentukan segalanya.

"Kau sudah tahu semuanya," ucap Caroline, suaranya rendah dan serak, namun penuh penekanan. "Orang tuaku sudah menjelaskan. Kontrak itu... pernikahan bisnis itu... semuanya."

Pratama mengangguk perlahan. "Aku tahu.

Dan aku di sini untuk menjelaskan semuanya padamu. Jujur. Dari awal sampai akhir."

"Jujur?" Sekali lagi Pram menyaksikan air mata tanpa suara itu menampakkan dirinya.

"Bukankah kejujuran sudah terlalu mahal untuk kita, Pratama? Kenapa baru sekarang?

Kenapa harus aku yang menemukan semua ini sendiri? Apakah kau berencana menyembunyikannya dariku selamanya? Mengikatku dalam hubungan palsu ini?"

Pratama menelan ludah. Ia melangkah lebih dekat, tetapi Caroline mundur sedikit, seperti menjaga jarak. "Tidak, Lin. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya.. takut. Aku takut jika kau tahu, kau akan semakin membenciku. Aku tahu itu adalah keputusan yang kejam, tapi saat itu, itu adalah satu-satunya jalan yang kubisa pikirkan untuk menolongmu dan keluargamu."

"Menolongku?"

Caroline bangkit berdiri, menatap Pratama lurus.

"Atau justru membelengguku? Mengubahku menjadi aset yang diperjualbelikan? Sama seperti aku sebagai sesuatu yang layak dihukum mati di kehidupanku yang lain!"

Perempuan itu berteriak, amarahnya meledak tak tertahankan, air mata kembali mengalir deras.

"Apa gunanya aku punya akal, punya pikiran, punya perasaan, jika pada akhirnya aku tidak punya kendali atas diriku sendiri?! Kenapa aku selalu menjadi pion dalam permainan orang lain?!"

Rasa sakit Caroline menular pada Pratama. Ia melihat bayangan trauma yang jauh lebih dalam dari sekadar kontrak. Ini tentang jati diri Caroline, tentang harga dirinya yang terenggut berulang kali. Pratama terdiam, terkejut mendengar Caroline kembali mengungkit kehidupan sebelumnya.

Pratama tidak lagi mencoba menjelaskan dengan kata-kata. Ia merangkak maju di atas ranjang dingin, mendekap Caroline erat, meskipun Caroline sempat meronta. Ia menahan tubuh istrinya yang bergetar, membiarkan Caroline melampiaskan amarah dan kesedihannya di bahunya.

"Aku minta maaf. Maafkan aku," bisik Pratama, suaranya serak. "Aku tahu ini sangat menyakitimu. Aku tahu aku salah. Tapi aku tidak akan membiarkanmu merasa seperti aset lagi. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian dalam rasa sakit ini. Aku di sini. Aku akan bersamamu, menghadapinya. Kita akan menghadapinya bersama."

Caroline menggelengkan kepalanya, menolak mendengarkan penjelasan Pram yang kesekian kalinya. "Omong kosong. Aku bahkan hanya bagian dari transaksi bisnismu untuk menyelamatkan perusahaan keluargaku."

"Kontrak itu hanyalah formalitas, sebuah jaminan agar orang tuamu percaya. Aku tidak pernah melihatmu sebagai aset. Aku melihatmu sebagai istriku, Caroline. Selalu."

Ia meraih tangan Caroline, berusaha menyalurkan ketulusan. "Aku tidak membeli kamu. Jika aku tidak mengambil langkah itu, mungkin kita tidak akan pernah bersama. Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa membiarkanmu menderita sendirian."

Pertengkaran berlanjut. Rasa marah, kecewa, dan trauma yang dalam dari Caroline yang dulu kini menyatu dengan kebingungan Caroline yang sekarang. Pratama tak henti-hentinya berusaha meyakinkan, menjelaskan niat tulusnya di balik kesepakatan bisnis yang kejam itu.

Caroline diam, menundukkan wajahnya. Air mata masih mengalir, namun isakannya mereda, menyisakan napas yang tersengal.

Pratama terus memeluknya erat, merasakan setiap getaran kecil di tubuh istrinya. Ia menunggu, menahan napas, berharap ada tanda bahwa Caroline mulai merasa baikan.

Lalu, sebuah bisikan lirih, nyaris tak terdengar, keluar dari bibir Caroline.

"Bawa aku pergi, Pratama."

Suaranya serak, penuh kelelahan.

"Bawa aku pulang saja. Aku tidak ingin orang tuaku mendengar lebih banyak di luar."

Pratama merasa lega sekaligus tercekat. Lega karena Caroline akhirnya berbicara, tidak lagi meronta dalam keheningan yang menyiksa. Tercekat karena ia tahu, permintaan itu sekali lagi terlontar bukan untuk diri sendiri, namun orang tuanya.

Pram mengeratkan pelukannya sejenak, lalu melepaskannya perlahan, menangkup wajah Caroline dengan kedua tangannya. Ia melihat mata Caroline yang sembab, hidungnya yang memerah.

"Ya," bisik Pratama, suaranya mantap. "Kita pulang sekarang. Aku akan membawamu pulang."

Pratama berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada Caroline. Caroline ragu sejenak, namun akhirnya menerima uluran tangan itu. Di luar kamar, Pak Ming dan Ibu Caroline yang masih setia berjaga, segera menghampiri saat melihat Pratama dan Caroline keluar. Wajah mereka penuh pertanyaan dan kekhawatiran.

"Kami pulang dulu, Pak, Bu," ucap Pratama, tatapannya meyakinkan. "Nanti saya kabari lagi."

Ibu Caroline hanya mengangguk, matanya tak lepas dari Caroline yang tampak pucat namun sudah tidak lagi memberontak. Pak Ming menepuk bahu Pratama, sebuah isyarat tanpa kata yang penuh makna. Memberikan koper anaknya pada sang menantu.

“Jaga ia dengan baik. Maafkan kami yang justru mempersulit kamu berdua.”

Pram menggeleng kecil. “Bapak dan Ibu sudah melakukan semua yang terbaik. Tama pasti akan jaga Ine juga, tenang saja. Jaga kesehatan kalian.”

Caroline tidak menoleh ke belakang. Ia melangkah keluar rumah, mengikuti Pratama.

Mobil yang ia masuki masih sama letak dan wanginya. Subuh yang dingin di Sidoarjo terasa menusuk, keberadaan Pratama di sisinya, langkahnya yang mantap, sudah tidak memberikan sedikit pun rasa aman.

Perjalanan pulang ke Surabaya terasa sunyi.

Tidak ada musik, tidak ada obrolan. Caroline hanya bersandar di kursi mobil, menatap jalanan yang gelap. Mungkin orang tuanya sudah membedah kamar dan menemukan surat yang ia tulis tergesa selagi Pram mengembalikan makanan sarapan itu ke dapur.

Aku lemah. Tidak bisa berbicara lebih tegas dan langsung.

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!