[BIJAK LAH DALAM MEMBACA] yang menceritakan tentang Jian yu seorang pekerja biasa Dengan gaji yang pas-pasan , dan saat dia pulang dia malah dihadang oleh sekelompok preman yg mabuk dan membentak nya untuk menyerahkan uang nya ,Jian yu yang tidak bisa melawan pun lari bukan Karena takut tapi Karena di sendirian dan mereka bertiga, mau tidak mau tidak ia harus melarikan diri tapi, pelarian nya itu sia sia Karena salah satu preman berhasil memukul nya dan membuat nya jatuh dan setelah itu dia di buang oleh Meraka , dan saat Jian yu membuka matanya kembali dia sudah tidak berada di bumi kagak melainkan berada di dunia yg tidak dia kenal dan mendapatkan sistem terkuat yg akan merubah hidup nya kedepan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FAUZAL LAZI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2 desa pertama
Matahari pagi menyibak pepohonan, cahaya kuning menembus sela-sela daun, membangunkan Jian Yu yang semalaman berjaga. Tubuhnya masih terasa pegal, tetapi semangatnya tidak padam. Ia menghela napas panjang lalu bangkit dari tempatnya beristirahat.
“Jika aku terus berdiam di sini, aku tidak akan maju. Aku harus keluar dari hutan ini,” ucapnya lirih.
Pedang Qing Feng ia ikat di pinggang. Botol pil ia masukkan ke dalam tas kecil dari kulit binatang yang ditemukan semalam. Buku teknik ia simpan dengan hati-hati. Dengan persiapan seadanya, Jian Yu melangkah menyusuri hutan.
Hutan itu luas, pepohonan menjulang tinggi, semak belukar menutupi sebagian jalan. Sesekali terdengar suara burung dan derap langkah binatang kecil. Jian Yu tetap waspada, tangannya sesekali meraba gagang pedang, siap ditarik kapan saja. Namun semakin jauh ia berjalan, semakin jelas ia menyadari Qi di udara terasa lebih pekat. Setiap tarikan napas membawa aliran halus yang mengisi dantiannya sedikit demi sedikit.
“Tidak heran anak-anak bisa berkultivasi sejak muda. Lingkungan di sini sendiri sudah penuh energi.”
Beberapa jam berjalan, akhirnya ia menemukan jalan setapak yang lebih rapi, jelas buatan manusia. Hatinya lega. Itu berarti peradaban tidak jauh lagi.
Di kejauhan, terdengar suara roda kayu berderit dan teriakan samar. Jian Yu mempercepat langkah. Tak lama kemudian, sebuah pedati muncul, ditarik dua ekor kuda cokelat. Pedati itu sederhana, penuh karung besar, mungkin hasil panen atau barang dagangan.
Seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh duduk di depan, memegang kendali kuda. Di sampingnya seorang gadis remaja, sekitar empat belas atau lima belas tahun, rambut panjangnya diikat sederhana.
Jian Yu menahan langkah. Ia sadar penampilannya tidak wajar: pakaian masih bernoda darah dari pertempuran semalam.
Pria itu segera memperhatikan. “Hei, siapa di sana?”
Jian Yu mengangkat tangan, menunjukkan dirinya tidak berbahaya. “Aku tersesat di hutan. Aku tidak punya niat jahat, hanya ingin bertanya arah ke permukiman terdekat.”
Pria itu menatap tajam beberapa saat, lalu kendali kudanya sedikit dikendurkan. “Kau masih hidup keluar dari hutan ini? Beruntung sekali. Banyak orang tidak kembali kalau masuk tanpa persiapan.”
Gadis di sampingnya berbisik pelan. “Ayah, mungkin dia perantau. Lihat pedangnya… tidak seperti milik petani biasa.”
Pria itu mengangguk tipis, lalu memperkenalkan diri. “Nama saya Liu Shan, ini anak saya, Liu Mei. Kami pedagang kecil dari Desa Lian. Kalau kau mau, ikut saja bersama kami. Desa tidak jauh dari sini.”
Jian Yu menunduk sopan. “Terima kasih. Nama saya Jian Yu.”
Ia naik ke belakang pedati, duduk di antara karung-karung padi kering. Perjalanan terasa berguncang, namun jauh lebih aman daripada berjalan sendirian. Sambil menatap jalan, Jian Yu memperhatikan interaksi ayah dan anak itu. Sederhana, tapi hangat. Sesekali Liu Mei menoleh ke belakang, matanya penuh rasa ingin tahu.
“Kau benar-benar keluar sendirian dari hutan itu? Bahkan murid Akademi pun biasanya tidak berani,” ucap Liu Mei.
Jian Yu tersenyum kecil. “Aku hanya beruntung.”
Liu Shan menimpali, “Kalau kau bisa keluar hidup-hidup, mungkin keberuntunganmu besar. Tapi di dunia ini, keberuntungan tidak cukup. Kau harus segera belajar menempatkan dirimu.”
Ucapan itu membuat Jian Yu teringat kembali pada panel sistem yang selalu muncul di hadapannya. Ia sadar, waktu untuk santai tidak banyak.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di Desa Lian. Desa itu tidak besar, tapi lebih ramai dari yang ia bayangkan. Anak-anak berlari sambil bermain tongkat kayu, sebagian bahkan duduk bersila, mencoba teknik pernapasan untuk menyerap Qi. Di lapangan tanah, beberapa pemuda berlatih jurus tangan kosong. Keringat bercucuran, tetapi sorot mata mereka penuh semangat.
“Di sini, bahkan anak-anak sudah berkultivasi,” gumam Jian Yu.
Liu Shan tersenyum getir. “Begitulah dunia ini. Siapa yang tidak bisa berkultivasi, akan terinjak. Bahkan desa kecil seperti ini pun harus menyiapkan generasi yang bisa bertahan.”
Jian Yu memahami maksudnya. Dunia ini keras, dan hanya yang kuat yang bisa berdiri di atas.
Setelah menurunkan barang dagangan, Liu Shan menawarkan Jian Yu tempat tinggal sementara di gudang kecil di belakang rumah. Jian Yu menerima dengan hormat. Malam itu ia akhirnya tidur dengan atap yang layak, meski sederhana.
Sebelum terlelap, ia menatap pedang Qing Feng yang bersandar di dinding. “Aku sudah bertemu orang pertama di dunia ini. Jalan ke depan masih panjang, tapi aku sudah selangkah lebih dekat.”
Malam itu Jian Yu tertidur dengan keyakinan baru. Dunia baru ini keras, tapi kini ia punya arah.
Pagi pertama di Desa Lian terasa berbeda. Udara segar dari sawah dan kebun masuk lewat celah jendela gudang kecil tempatnya beristirahat. Suara ayam berkokok, riuh anak-anak yang berlarian, dan dentuman kayu dari halaman latihan terdengar jelas. Kehidupan sederhana, tapi penuh semangat.
Ia keluar, pedang Qing Feng tersampir di punggung. Di halaman depan, Liu Shan sedang menata karung hasil dagangan semalam.
“Kau sudah bangun. Bagaimana tidurnya?” tanya Liu Shan sambil tersenyum.
“Cukup baik. Terima kasih atas tempatnya,” jawab Jian Yu.
Liu Shan mengangguk. “Kalau ingin mengenal desa ini, pergilah ke alun-alun. Biasanya ada pengumuman dari kepala desa. Kau juga bisa mendengar kabar tentang Akademi atau keluarga bangsawan di wilayah ini.”
Saran itu menarik. Jian Yu memang perlu memahami dunia barunya. Setelah berpamitan, ia berjalan mengikuti jalan tanah menuju pusat desa.
Alun-alun Desa Lian tidak luas, namun cukup ramai. Panggung kayu sederhana berdiri di tengah, tempat seorang pria paruh baya menyampaikan pengumuman. Pakaiannya abu-abu sederhana, sikapnya tegap. Dialah Kepala Desa Lian.
“Sebulan lagi akan ada seleksi masuk Akademi Qinghe,” serunya lantang. “Anak-anak muda yang merasa mampu, persiapkan diri kalian. Akademi adalah jalan untuk mengubah nasib, untuk mengangkat nama keluarga, dan melindungi desa dari ancaman luar.”
Kerumunan berbisik penuh semangat. Jian Yu menatap tajam. Nama Akademi Qinghe menarik perhatiannya.
Ia mendekati seorang pemuda di sebelahnya. “Maaf, apa itu Akademi Qinghe?” tanyanya.
Pemuda itu menoleh. “Kau orang baru ya? Akademi Qinghe tempat pelatihan resmi di bawah Klan Zhao, keluarga bangsawan terbesar di wilayah ini. Siapa pun yang diterima akan lebih mudah memperkuat diri. Lulus dari sana, kau bisa jadi perwira, penjaga, atau bahkan masuk lingkaran dalam keluarga bangsawan.”
Jian Yu mengangguk. Informasi itu penting. Akademi bukan sekadar tempat belajar, tapi pintu masuk menuju dunia yang lebih tinggi.
“Dan Klan Zhao itu?” tanya Jian Yu.
“Klan Zhao menguasai tiga desa di sekitar sini. Pengaruh mereka besar. Bahkan kepala desa pun harus tunduk pada keputusan mereka,” jawab pemuda itu dengan suara lebih pelan. “Kau tidak ingin berurusan dengan mereka, kecuali kau cukup kuat.”
Jian Yu menyimpan penjelasan itu dalam hati. Dunia ini tersusun rapi oleh hierarki: rakyat desa, akademi, keluarga bangsawan, hingga kekuatan yang lebih tinggi lagi.
Sepanjang siang, Jian Yu berkeliling desa, menyerap informasi sebanyak mungkin. Ia melihat anak-anak berlatih pernapasan dasar di bawah bimbingan tetua. Teknik sederhana itu mengingatkannya bahwa ia juga baru berada di tahap awal, Pembentukan Dantian tingkat satu. Jalan masih panjang, dan ia tidak bisa membuang waktu.
Malam harinya, Jian Yu duduk bersila di dalam gudang. Ia menutup mata, mengatur napas, dan mulai menyerap Qi. Energi spiritual di sekitar desa tidak setebal di hutan, namun cukup stabil.
Uap samar keperakan muncul tipis di sekeliling tubuhnya. Setiap tarikan napas membuat pusaran Qi di dantiannya berputar lebih kencang. Aliran hangat itu bergerak di meridiannya, kadang terasa seperti listrik halus menyambar otot.
Peluh menetes dari dahinya, namun senyum puas tersungging di bibirnya. Sekalipun lambat, setiap tarikan Qi menguatkan fondasi kultivasinya.