Melati dan Kemuning tak pernah melakukan kesalahan, tapi kenapa mereka yang harus menanggung karma perbuatan dari orang tuanya?
Sampai kapan dan bagaimana cara mereka lepas dari kutukan yang pernah Kin ucapkan?
Assalamualaikum, cerita ini murni karangan author, nama, tempat dan kejadian semua hanya kebetulan semata. Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Persatu Rahasia Mulai Terbongkar
Seno keluar dari rumah Melati, tak langsung pulang karena tak ingin membuat ibu bapaknya khawatir akan keadaannya yang berdarah-darah.
Namun, saat Seno hendak melangkah, dia merasakan sesuatu yang menahannya, ternyata di belakang sana ada Melati yang memegangi ujung seragam Seno.
Seno berbalik badan, ternyata Melati memberikan obat juga perban untuk membalut luka di kepala Seno.
Pria itu tersenyum, lalu menerimanya. "Terima kasih," ucapnya dan Melati hanya menjawab dengan anggukan kecil, setelah itu, Melati pun kembali masuk, dia menutup pintu rumahnya rapat.
Seno yang semula sedang cemburu dengan Arman seolah terobati oleh perhatian kecil dari Melati.
Tak pernah menyangka kalau dirinya akan terpikat oleh gadis pincang, juga yang disebut-sebut penuh kutukan.
Seno melanjutkan langkahnya yang tadi tertahan. Ingatannya kembali pada semalam, saat dia melihat sendiri bagaimana Arman datang memberi bantuan untuk Melati dan keluarganya.
****
Sementara itu, Melati tengah berendam di kamar mandi, menikmati setiap sentuhan saat menggosok lekuk tubuhnya. Senyum menyeringai tak pernah lepas dari bibirnya.
Sebenarnya, apa yang sedang Melati pikirkan saat ini?
"Hahahahahaa!" tawa Melati yang tiba-tiba, entahlah, apa yang membuatnya tertawa seperti itu.
"Seno!" ucapnya, dia memainkan air di bak mandinya dengan menyebut nama pria itu.
"Siap-siap, Seno!" ucapnya lagi.
"Siap-siap bakal keseret masuk ke dalam lubang hitam di hidupku!" sambungnya.
Ternyata, Melati memiliki cara tersendiri untuk menghukum Seno yaitu dengan membiarkannya masuk ke hidupnya untuk mencicipi sendiri kutukan yang ternyata belum hilang itu.
Beberapa hari kemudian, Kemuning sudah diizinkan pulang, kini tak ada lagi senyum ceria seperti dulu, gadis itu lebih banyak diam.
Terlihat, Melati sedang membereskan buku di meja belajarnya. "Mbak, Muning nggak mau sekolah lagi."
Melati menoleh, dia mengangguk, mencoba mengerti perasaan sang adik, dia merasa kalau seharusnya menjadi tempat berlindung baginya, bukan selalu memaksakan kehendaknya.
"Iya, kalau itu bikin kamu nyaman. Tapi, Muning, sekolah itu penting buat masa depan kamu. Mbak cuma mau lihat kamu sukses, bukan nyesel nanti," kata Melati sambil menggenggam tangan adiknya.
"Muning malu, Mbak. Muning mau di rumah aja, nggak papa, kan?" Kemuning menatap sang kakak dengan mata yang berkaca-kaca.
Lalu, Melati membawa adiknya ke pelukan. "Seandainya keluarga kita masih kaya, mbak bakalan panggil guru buat ngajar kamu di rumah, Dek!" desisnya.
"Mbak," panggil Kemuning dan Melati melepaskan pelukan itu, dia menatap Kemuning.
"Muning takut, Mbak," kata Kemuning.
"Takut? Takut kenapa?"
"Muning takut suatu saat nanti mbak pergi ninggalin Muning, kaya ibu dan bapak," sahutnya.
Melati menarik napas panjang, lalu memeluk adiknya erat. Tak tahu harus berkata apa, karena sejatinya, ia sendiri tak ingin hidup lebih lama jika yang menunggu di depan hanyalah penderitaan.
Ketukan di pintu memecah keheningan. Si mbok muncul, mengabarkan ada tamu yang mencari Melati.
Melati keluar dari kamar, dan mendapati Seno di ruang tamu. Ia melangkah mendekat.
"Seno, ada apa malam-malam ke sini?" tanya Melati. Seno yang tadinya duduk segera bangkit berdiri.
"Aku ke sini karena khawatir sama kamu. Kenapa belum masuk sekolah?" ujarnya.
Melati mempersilakan Seno kembali duduk.
"Besok aku ke sekolah, terima kasih udah khawatir sama aku," ucapnya tenang.
"Ada lagi?" tanyanya sambil menatap Seno yang tampak sedikit kikuk.
"Nggak ada. Kalau begitu, aku tunggu di sekolah," jawab Seno. Ia pun berpamitan, sambil merasa bodoh telah datang sejauh itu hanya untuk menyampaikan hal sepele.
Melati tak terlalu memikirkannya. Ia kembali ke kamar, mendapati Kemuning sudah terlelap.
Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit, hingga kantuk mulai menyerang.
Namun, baru saja matanya terpejam, bayangan itu hadir pemandangan yang memilukan, menjijikkan, sekaligus membangkitkan amarah.
Drajat, ayahnya, baru saja meninggalkan Kin di gubuk reyot tempat yang menjadi saksi kebiadabannya.
Melati terperangah. Ia tak percaya dengan apa yang dilihat. Kesadaran itu menamparnya, mungkin alasan dia mengalami nasib serupa bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari kutukan atau karma yang diwariskan.
Sekarang, mata tajam Kin menatapnya, penuh dengan kebencian yang menusuk.
Melati mengulurkan tangan, berusaha menolong, namun tiba-tiba dia terbangun, terisak, napasnya memburu. Dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang disembunyikan keluarganya.
"Ya, aku yakin ada alasan kenapa aku dan Kemuning selalu apes, bahkan terasa seperti kutukan yang nggak pernah berhenti!" gumamnya dalam hati, Melati mengusap keningnya yang basah karena berkeringat, bahkan tatapan tajam itu masih terlihat jelas, tak mau pergi menjadi bayang-bayang yang menghantui.
Tapi pada siapa ia harus bertanya? Si mbok jelas tak akan mengungkapkan kebenaran, seolah lebih memilih melindungi nama baik Drajat daripada menyelamatkan hidup Melatin dan Muning.
Tapi mimpi yang terus datang itu seperti teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan.
Apa sebenarnya maksud dari semua itu? Kenapa selalu hadir, seakan ingin menyampaikan sesuatu yang tak pernah diucapkan?
Esok harinya, Melati yang sudah siap sekolah itu memperhatikan si mbok yang sedang menyiapkan sarapan, dia pun menghampirinya.
"Mbok, aku sama muning udah nggak punya apa-apa lagi, kenapa mbok masih di sini?" tanya Melati, menatap datar si mbok yang terdiam, dia terkejut dengan pertanyaan itu, merasa sedang diusir olehnya.
"Kalau si mbok pergi, yang mengurus kalian siapa? Mbok nggak tega," jawab si mbok yang melanjutkan menyajikan sarapan untuk dua putri angkatnya.
"Yakin karena nggak tega?" tanya Melati, dia duduk di kursinya dengan menatap si mbok yang sekarang menoleh.
"Ada apa? Sebaiknya Non Melati katakan saja terus terang," ujar si mbok, mulai merasakan ada yang disembunyikan di balik ucapan gadis itu.
"Aku tau mbok, mbok menyembunyikan rahasia besar keluarga kami, kan? Termasuk siapa yang menyantet ibu, dan perempuan yang sudah bapak hancurkan masa depan dan juga kesuciannya?" Akhirnya Melati bicara blak-blakan, suaranya bergetar tapi tegas. Dia sudah tak mau lagi berputar-putar dalam rahasia yang menyeretnya ke dalam lubang hitam.
Si mbok menunduk, napasnya berat.
"Sebenarnya, sudah lama Mbok ingin cerita semuanya. Selagi Mbok masih ada umur, kalian harus tahu yang sebenarnya," ucapnya lirih.
Belum sempat mengatakan semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi, tiba-tiba angin bertiup kencang dari arah jendela yang setengah terbuka, membawa hawa dingin yang membuat bulu kuduk Melati meremang, seolah ada yang tak merestui rahasia itu terbongkar.
"Katakan, Mbok! Siapa tau kalau semuanya terungkap jelas, aku dan Muning punya kesempatan hidup lebih baik," pinta Melati, suaranya bergetar di antara memohon, marah dan takut.
Si Mbok menarik kursi, duduk perlahan. Mau tak mau, dia harus menceritakan semuanya.
"Bapak, Bapak yang sudah nyantet Ibu, Non."
Melati tersentak, matanya membulat.
"A-apa? Tujuannya apa, Mbok?" tanyanya, suara tercekat, seolah berharap itu hanya fitnah.
Si mbok mengangguk, mengusap air matanya. Dia masih jelas mengingat saat mengantarkan Karsih ke rumah sakit jiwa, hanya bisa menuruti apa kata Drajat.
"Bapak nggak suka karena ibu melawan dan tau rahasia besar di hidupnya, bapak dendam sama ibu," tutur si mbok.
Dan pengakuan si mbok membuat Melati terpukul, hatinya seperti dikoyak oleh kenyataan pahit yang sulit sangat dia terima.
Melati mengangguk, air matanya tak lagi dapat dia sembunyikan, dia mengusap air matanya, lalu meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sarapannya.
Kecewa yang membuatnya tak mampu berlama-lama di sana, belum siap untuk mendengar semuanya karena semua terasa sangat menyakitkan.
Melati menghentikan langkah, dia berpesan tanpa menoleh. "Mbok, tolong jangan lupa urus Muning!"
Dia pun melanjutkan langkah sambil mengusap matanya yang basah, saat ini dia ingin berteriak, ingin marah, tapi pada siapa, orang yang seharusnya menanggung karma itu sudah tidak ada.
Drajat!
Bersambung dulu. 😇