Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 – Bayangan Balas Dendam Sekte
Fajar di kota Hongya terasa berbeda dari biasanya. Jalan-jalan yang semula sunyi kini dipenuhi orang-orang yang berkerumun, membicarakan satu nama yang sama: Xiao Feng.
Pengawas Darah, sosok yang selama bertahun-tahun menjadi momok di wilayah ini, telah tumbang. Kabar itu menyebar lebih cepat dari api kering. Warga kota yang semalam bersembunyi kini berani keluar, menatap reruntuhan penginapan dengan rasa tak percaya.
“Dia benar-benar melakukannya…”
“Seorang bocah, mengalahkan Pengawas Darah!”
“Apakah itu pertanda kelahiran pahlawan baru?”
Namun, tidak semua suara penuh harapan. Ada pula yang berbisik dengan wajah pucat.
“Jangan bodoh. Kalau Pengawas Darah mati, pusat Sekte Naga Merah pasti akan murka.”
“Ya… kemenangan ini mungkin awal dari bencana lebih besar.”
Di kamar lantai atas penginapan yang separuh hancur, Xiao Feng terbaring lemah. Seluruh tubuhnya penuh perban. Luka-luka akibat pertarungan semalam masih berdenyut, seakan mengingatkannya pada harga yang harus ia bayar.
Ling’er duduk di samping ranjang, memeras kain basah untuk mengelap keringat di dahi Xiao Feng. Matanya bengkak karena kurang tidur, tapi ia tidak melepaskan pandangannya barang sedetik pun.
Ketika Xiao Feng akhirnya membuka mata, senyum lemah terukir di bibirnya.
“Aku… masih hidup?” suaranya parau.
Ling’er langsung menunduk, air mata jatuh ke perban putih.
“Bodoh! Kau hampir mati semalam… apa kau tahu betapa takutnya aku?!”
Xiao Feng menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya yang gemetar untuk menyentuh rambut gadis itu.
“Terima kasih… karena kau menemaniku.”
Ling’er menggenggam tangannya erat, berusaha menahan tangis. “Jangan bicara lagi. Istirahatlah. Kau butuh waktu untuk pulih.”
Sementara itu, jauh dari kota Hongya, di ruang pertemuan sebuah aula besar bercahaya merah darah, para tetua Sekte Naga Merah berkumpul.
Di singgasana tinggi duduk seorang pria berjubah merah, wajahnya dipenuhi garis tajam, sorot matanya bagai bara api. Dialah Patriark Naga Merah, pemimpin tertinggi sekte yang ditakuti di empat penjuru negeri.
Seorang pengikut berlutut, menyampaikan laporan.
“Pengawas Darah… sudah mati.”
Ruangan itu langsung menjadi hening.
Patriark menyipitkan mata, auranya meledak, membuat lantai bergetar. “Siapa yang melakukannya?”
“Seorang bocah, bernama… Xiao Feng. Katanya dia membawa giok hijau yang bisa memanggil bayangan naga.”
Bisik-bisik terdengar di antara para tetua. Sebagian wajah mereka berubah pucat, sebagian lain terlihat serakah.
“Giok naga? Apakah itu warisan kuno?”
“Jika benar, bocah itu bisa menjadi ancaman besar di masa depan.”
“Tidak. Lebih baik kita merebutnya sebelum terlambat.”
Patriark mengangkat tangannya, menghentikan kegaduhan. Wajahnya dingin.
“Seorang bocah desa… berani menodai nama sekte kita. Hmph! Aku tidak akan membiarkan dunia menertawakan kita. Kirim utusan. Siapkan pasukan. Aku ingin kepalanya dibawa ke hadapanku.”
Kembali di Hongya, suasana kota berubah menjadi campuran antara harapan dan ketakutan. Sebagian warga menyembah nama Xiao Feng, menganggapnya pahlawan yang bisa melindungi mereka.
Namun, para pedagang dan pejabat kota justru merasa resah.
“Kalau sekte benar-benar datang, kota ini akan jadi medan perang.”
“Kita tidak bisa melawan kekuatan sebesar itu.”
Beberapa dari mereka bahkan diam-diam mengirim surat kepada sekte, melaporkan keberadaan Xiao Feng dengan harapan bisa menyelamatkan diri mereka sendiri.
Di kamar penginapan, Xiao Feng mencoba duduk meski tubuhnya gemetar. Ling’er langsung menahannya.
“Kau belum boleh bergerak! Luka-lukamu bisa terbuka lagi!”
Xiao Feng menggeleng lemah. “Aku tidak bisa tinggal diam. Aku tahu… sekte tidak akan berhenti sampai mereka membunuhku. Kalau aku hanya bersembunyi di sini, aku akan menyeret kota ini ke dalam kehancuran.”
Ling’er menatapnya dengan mata merah. “Lalu… apa yang akan kau lakukan?”
Xiao Feng menggenggam giok di lehernya.
“Aku harus menjadi lebih kuat. Aku harus menemukan cara untuk mengendalikan kekuatan naga ini… sebelum mereka datang.”
Malam itu, di balik gang sempit, seorang pria berjubah hitam bertemu dengan utusan Sekte Naga Merah. Tangannya memegang gulungan surat yang berisi lokasi Xiao Feng.
“Ini informasi yang kalian butuhkan,” bisiknya. “Sebagai gantinya, lindungi keluargaku saat sekte menyerbu kota ini.”
Utusan sekte tersenyum tipis, menerima surat itu. “Tentu saja.”
Namun, setelah pria itu pergi, senyum utusan berubah menjadi dingin. “Orang bodoh. Saat sekte tiba, tidak ada satu pun nyawa di kota ini yang akan tersisa.”
Sementara itu, Xiao Feng berdiri di balkon, menatap bintang. Tubuhnya masih sakit, tapi matanya menyala penuh tekad.
“Pengawas Darah hanyalah awal. Aku tahu… akan ada musuh yang lebih kuat. Tapi aku tidak akan mundur.”
Ling’er mendekat, menggenggam tangannya. “Kalau begitu, aku akan tetap di sisimu. Apa pun yang terjadi.”
Xiao Feng menatapnya, senyumnya samar tapi hangat. Untuk sesaat, rasa sakit di tubuhnya berkurang.