Waren Wiratama, 25 tahun adalah seorang pencuri profesional di kehidupan modern. Dia dikhianati sahabatnya Reza, ketika mencuri berlian di sebuah museum langka. Ketika dia di habisi, ledakan itu memicu reaksi sebuah batu permata langka. Yang melemparkannya ke 1000 tahun sebelumnya. Kerajaan Suranegara. Waren berpindah ke tubuh seorang pemuda bodoh berusia 18 tahun. Bernama Wiratama, yang seluruh keluarganya dihabisi oleh kerajaan karena dituduh berkhianat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irawan Hadi Mm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 34
Pranggg
Brakkk
Pranggg
Semua guci dan juga barang berharga lainnya yang ada di aula utama istana kerajaan Suranegara dilemparkan ke lantai oleh Raja Dharmawangsa.
Raja Darmawangsa berdiri di tengah aula istana megah itu, wajahnya memerah laksana bara api yang siap melahap apa pun di hadapannya. Sorot matanya tajam, menyala seperti kilat di langit malam, menusuk setiap orang yang berani menatap balik. Urat di pelipisnya menonjol, berdenyut keras, seakan darahnya mendidih tak terbendung. Bibirnya terkatup rapat lalu terbuka dengan hentakan teriakan yang menggema, memantul di dinding-dinding batu, membuat udara di ruangan terasa berat dan menyesakkan.
Tangannya mengepal begitu kuat hingga sendi-sendi jarinya memutih, sementara satu tangannya lagi menghantam lengan kursi singgasana berlapis emas sampai terdengar bunyi dentuman keras. Jubah kebesarannya bergoyang liar mengikuti gerakan tubuhnya yang maju-mundur tak tenang, bagai singa terluka yang mencari mangsa.
"Dua puluh empat jam!" suaranya bergemuruh, parau oleh amarah yang mendidih.
Semua yang ada di ruangan itu menciut. Sangat takut.
"Dua puluh empat jam telah berlalu, namun harta kerajaan masih berada di tangan pencuri hina itu! Untuk apa aku memiliki ratusan prajurit jika satu pun tak mampu menyeret kepalanya kemari?"
Nada suaranya memukul hati setiap orang di aula itu. Para perdana menteri menunduk, jantung mereka berdegup kencang, takut tatapan raja berpaling ke arah mereka. Beberapa jenderal yang biasanya gagah dan tegas kini tampak gelisah, jemari mereka meremas gagang pedang, bukan untuk melawan, tapi untuk menahan gemetar.
Raja Darmawangsa menghempaskan jubahnya ke samping, langkahnya menghentak lantai hingga gaungnya menyerupai genderang perang. Matanya liar, berpindah dari satu wajah ke wajah lain, seakan mencari kambing hitam yang bisa ditumbalkan pada ledakan murkanya. Tiba-tiba ia menghantam meja panjang di hadapannya, piala perak dan dokumen kerajaan berhamburan jatuh, dentingnya menyayat hening yang mematikan.
"Apakah kalian semua tuli? Apakah kalian buta?!" suaranya melengking penuh kegeraman.
Tidak ada yang berani menjawab, bahkan mengangkat kepalanya.
"Harta kerajaan bukan sekadar emas atau permata! Itu adalah marwah dan harga diri kerajaan Darmawangsa! Jika dalam tiga hari pencuri itu tak ditemukan, maka kepala-kepala kalian yang akan menggantikan harta yang hilang!"
Suasana aula mencekam. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara. Hanya terdengar desah napas berat raja yang terengah, seperti naga yang baru saja mengeluarkan semburan api. Ketakutan merambat di setiap sudut ruangan, dan semua yang hadir tahu, sekali lagi amarah raja meledak, mungkin tak ada yang bisa selamat dari murka Darmawangsa yang membara itu.
Raja Darmawangsa melangkah dengan langkah berat ke arah Panglima Timena. Jubah kebesarannya berderak mengikuti gerakan tubuhnya, seolah-olah kain itu pun ketakutan terhadap pemiliknya. Sorot matanya menajam, berkilat penuh api, tatapan yang seakan mampu membakar kulit siapa pun yang menanggungnya. Panglima Timena sosok yang selama ini menjadi tangan kanan raja, pengawal setia, dan orang kepercayaannya, membungkukkan tubuh dengan penuh hormat, namun wajahnya kaku, penuh tekanan.
Dengan suara berat, Panglima Timena menyampaikan laporan yang justru menambah bara di hati raja:
"Mohon ampun Gusti prabu, kami telah memeriksa setiap desa di sekitar gua penyimpanan. Tidak ada tanda harta karun… tidak ada pencuri. Bahkan di mulut gua, tanahnya bersih, tanpa satu pun jejak kaki manusia atau kuda. Namun… dua belas penjaga malam ditemukan tewas. Tubuh mereka kaku, wajahnya seperti dililit rasa takut sebelum ajal menjemput. Gusti prabu seolah mereka dibunuh bukan oleh manusia…"
Belum selesai Panglima Timena menunduk sepenuhnya, wajah Raja Darmawangsa sudah memerah semakin pekat, seperti darah yang membanjiri wajahnya hendak pecah keluar. Kedua alisnya mengerut rapat, matanya membelalak penuh kebengisan. Otot-otot rahangnya menegang hingga rahangnya tampak keras seperti pahatan batu, sementara giginya bergemeletuk saling bergesekan.
"Apa katamu? tidak masuk akal!" raungnya, suaranya membelah udara aula.
Panglima Timena yang bahkan belum menyelesaikan apa yang ingin dia katakan pun hanya mampu menundukkan kepala.
"Tidak ada jejak? Tidak ada tanda-tanda?! Dua belas penjaga tewas bagai binatang, dan kalian hanya bisa berkata seolah pencuri itu Hantu? Jadi untuk apa aku memiliki pasukan, untuk apa aku memiliki panglima, jika bahkan bayangan musuh pun tak bisa kalian temukan?!" teriak Raja Dharmawangsa lagi membahana di seluruh aula pertemuan istana.
Raja Darmawangsa bergerak liar. Tangannya menghantam sandaran kursi emas di sampingnya, kayu berlapis logam itu hancur berderak, serpihan terlempar hingga mengenai dinding aula. Tubuhnya bergetar karena amarah, napasnya memburu keras, dadanya naik-turun seperti naga yang menghirup udara sebelum menyemburkan api. Jelas, dia sangat murka.
Lalu matanya menatap liar ke sekeliling ruangan, mencari pelampiasan. Tatapannya jatuh pada salah satu penjaga istana yang berdiri gemetar di sisi pintu. Hanya karena kebetulan, hanya karena berada di sana, penjaga itu kini menjadi sasaran murka.
Dengan langkah menghentak bagaikan dentuman genderang perang, Raja Darmawangsa menghampirinya. Sorot matanya mengerikan, pupilnya mengecil, bola matanya berkilau seperti obsidian yang dipenuhi kebencian. Bibirnya menyingkapkan gigi yang terkatup rapat, lalu membuka dengan geraman rendah, suaranya lebih mirip binatang buas daripada manusia.
Penjaga itu jatuh berlutut, tangannya terangkat memohon ampun, wajahnya pucat pasi. Namun Raja Darmawangsa tidak peduli. Tangannya yang besar, kuat, dan penuh otoritas, mencengkeram leher sang penjaga dengan kekuatan kejam. Urat-urat di lengannya menegang, kulit tangannya memutih menekan tenggorokan si malang itu.
"Seperti inikah? beginikah hasil didikan pasukanku?!" teriaknya, liurnya muncrat karena emosi yang meluap. "Sampah! Tidak berguna! Harta karunku dicuri, para penjaga mati bagai anjing, dan kau hanya berdiri di sini, menghirup udara kerajaan tanpa arti!"
Sambil berkata demikian, ia menghentakkan tubuh penjaga itu ke dinding batu dengan keras, dentumannya membuat semua orang di aula bergidik. Darah segar memercik dari mulut penjaga, sementara matanya melotot, hampir keluar karena tekanan di lehernya. Raja Darmawangsa, tanpa secuil belas kasih, menghantamkan tubuh itu berkali-kali, hingga suara retakan tulang terdengar samar.
Wajahnya bengis, penuh kebuasan. Alisnya terangkat tinggi, matanya melebar, mulutnya meringis dalam kemarahan liar. Napasnya terengah, namun itu bukan tanda kelelahan, melainkan luapan murka yang belum padam. Dengan satu gerakan terakhir, ia melempar tubuh penjaga itu ke lantai, tubuh yang kini tak lagi bergerak.
Aula menjadi sunyi. Para perdana menteri dan jenderal berdiri kaku, pucat pasi. Tak ada yang berani menegur, tak ada yang berani bernapas keras. Raja Darmawangsa berdiri di tengah ruangan, dadanya masih naik-turun cepat, matanya liar, sorotnya penuh ancaman.
Ia menatap mereka satu per satu, seolah siap merenggut nyawa siapa saja yang berani mengecewakannya lagi. Di wajahnya terpancar sesuatu yang lebih menakutkan daripada sekadar amarah, kebengisan seorang penguasa yang kehilangan kesabaran, seorang raja yang akan menghancurkan siapa pun tanpa rasa kasihan.
"Jika kalian tidak bisa membawa pencuri itu kehadapanku, aku habisi kalian semua!" pekik Raja Dharmawangsa yang terkenal sangat serakah dan tidak punya hati nurani itu.
Bagaimana bisa dia memiliki hati nurani, jangankan hanya penjaga kecil yang ada di aula istana ataupun nyawa rakyatnya. Nyawa ayahandanya sendiri pun tidak lepas dari kebengisannya.
***
Bersambung...