Putri Huang Jiayu putri dari kekaisaran Du Huang yang berjuang untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah membunuh keluarganya dengan keji.
Dia harus melindungi adik laki-lakinya Putra Mahkota Huang Jing agar tetap hidup, kehidupan keras yang dia jalani bersama sang adik ketika dalam pelarian membuatnya menjadi wanita kuat yang tidak bisa dianggap remeh.
Bagaimana kelanjutan perjuangan putri Huang Jiayu untuk membalas dendam, yuk ikuti terus kisah lika-liku kehidupan Putri Huang Jiayu.
🌹Hai.. hai.. mami hadir lagi dengan karya baru.
ini bukan cerita sejarah, ini hanya cerita HALU
SEMOGA SUKA ALURNYA..
JIKA TIDAK SUKA SILAHKAN DI SKIP.
JANGAN MENINGGALKAN KOMENTAR HUJATAN, KARENA AUTHOR HANYA MANUSIA BIASA YANG BANYAK SALAH.
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RATAPAN ISTANA SUNYI
Di istana sunyi, duka bersemayam,
Langit kelam pekat menutupi ratapan.
Tapak darah kecil di marmer retak,
Menyusuri lorong memanggil yang telah tiada.
Dupa mengepul, naga emas bisu,
Menyimpan kisah pilu yang terpatri abadi.
Arak tumpah untuk arwah yang merindu,
Pada seorang Raja yang tak lagi bernyawa.
Dentang pedang mengoyak malam bahagia,
Khianat merayap, mengganti takhta dengan nestapa.
Darah mengucur di tangan yang semula menyapa,
Merobohkan mahkota, membunuh sang Raja.
Kini sang Putri kembali memijak lara,
Menggendong janji dan luka yang tak terkira.
Di balik pintu, derit masa lalu bergema,
Menantangnya meneruskan hidup yang tertinggal.
🍋🍋🍋🍋
Istana Du Yuan
Pintu perlahan terbuka dan suara berderit rendah itu terasa seperti guntur di telinganya. Jiayu membeku, jantungnya berdebar kencang menunggu tanda bahaya. Namun, hanya keheningan yang menjawab.
Saat pintu itu terbuka, dengan cepat dia menyelipkan tubuhnya masuk dan segera menutupnya kembali.
Blum!
Dia berlari melewati lorong-lorong sepi dan menaiki anak tangga yang tak terhitung jumlahnya. Udara lembab dan bau debu memenuhi hidungnya. Dadanya sesak, bukan karena lelah, tetapi karena beban memori yang menghantamnya dari setiap sudut gelap istana ini.
Akhirnya, dia sampai di ruangan paling tinggi. Di sana, sebuah peti mati megah yang dihiasi ukiran naga emas berdiri sendirian, bagai raja yang kehilangan kerajaannya.
Jiayu jatuh berlutut. Suaranya bergetar menyapa sang kekosongan.
"Salam Ayahanda. Maafkan anakmu yang durhaka ini karena baru bisa mendatangi ayahanda."
Dengan tangan gemetar, dia menyalakan dupa. Wangi yang harum mengisi ruangan, menari-nari dengan bayangan. Dia menuangkan arak ke dua gelas. Satu gelas dia minum sendiri, menghirup rasa pedas yang membakar kerongkongannya. Gelas lainnya dia siramkan di samping peti, persembahan untuk sang ayah.
"Ayahanda tidak perlu mengkhawatirkan kami. Selama putrimu ini masih bernapas, aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi kepada putra mahkota Jiang'er."
Dan kemudian, seperti dahulu kala, Jiayu mulai bercerita. Dia bercerita tentang kehidupan di dalam hutan, tentang Kakek Han Tian yang galak tapi baik hati, Gong Lu Yan yang setia, tentang Han Mei Yin yang suka membuatnya kesal, tentang semua hal kecil yang mungkin ingin didengar oleh seorang ayah.
Suaranya kadang terputus oleh isak, kadang terdengar seperti desahan. Dia adalah seorang anak yang pulang dan menumpahkan segala rindu dan lelahnya.
Setelah puas, dia menuruni tangga untuk menuju ruangan yang ada di tingkatan kedua. Di sana, peti-peti lain berjajar. Jiayu mendekati tiga peti-peti indah, salah satu peti di hias dengan hiasan burung phoenix emas, dan dua lainnya hiasannya lebih sederhana.
"Salam ibunda. Ibu selir. Dan... mei-mei," ucapnya, suara sendu.
"Aku minta maaf karena baru bisa mengunjungi kalian." Ritual yang sama diulang: dupa, arak, dan doa.
Dia kemudian duduk bersandar di peti ibundanya, menatap kosong ke langit-langit. "Ibunda," bisiknya, seolah berharap ada jawaban. "Apakah kalian berbahagia di sana?"
Pikirannya melayang, menerawang jauh ke malam yang menghancurkan segalanya.
FLASHBACK: Malam Kehancuran
Istana yang biasanya tenang dan tentram tiba-tiba gempar oleh suara jeritan dan denting pedang. Bukan suara perayaan, melainkan suara pembantaian.
Di balik sebuah tembok marmer di paviliun timur, sepasang mata yang dipenuhi ketakutan menyaksikan sebuah adegan yang tidak akan pernah bisa dilupakannya. Itu adalah mata Xiao Lan, seorang dayang muda yang biasa membantu Kasim Dal di istana naga. Dia bersembunyi, tubuhnya menempel dingin di dinding, napasnya tertahan.
Dia melihat Kaisar Huang Jinglong, sang junjungan, berdiri gagah meski terkepung. Berhadapan dengan Pangeran Kedua, Huang Rong, adik kandungnya sendiri.
Wajah Huang Rong yang biasanya ramah kini distorsi oleh kebencian dan ambisi.
“Jangan melawan lagi, Kakak. Kau sudah terkepung.” Suara itu menggema, licin dan penuh kepalsuan, namun mengandung sengatan racun yang tak terkira.
Pangeran Kedua Huang Rong, berdiri dengan sikap santai, seolah-olah dia sedang memimpin pesta dan bukan pembantaian. Pedang di tangannya masih meneteskan darah segar, setiap tetesnya memercik ke lantai pualam dan meninggalkan noda kehitaman.
Kaisar Huang Jinglong berdiri tegak di tengah lingkaran para pengawal setianya yang sudah tumbang. Napasnya sedikit tersengal, dan luka di lengan kanannya mengucurkan darah yang membasahi lengan jubahnya yang berwarna emas.
Namun, sorot matanya masih memancarkan kewibawaan yang tak tergoyahkan.
“Untuk ini semua, Rong’er? Untuk sebuah kursi?” suaranya dalam, bergetar oleh kekecewaan yang lebih menyakitkan daripada lukanya.
“Ayahanda meninggal dunia dengan tenang karena percaya kita akan bersaudara. Dia mempercayaiku untuk memimpin, dan mempercayaimu untuk mendukung.” Ucapnya dengan napas memburu dan tidak beraturan.
"Rong'er, kenapa kau tega melakukan ini?" suara Kaisar masih berwibawa, meski ada luka di lengannya. "Jika kau menginginkan tahta, bukankah dulu aku sudah menawarimu posisi Raja di Kerajaan Danyang?"
Huang Rong tertawa sinis, pedangnya masih meneteskan darah para pengawal setia kaisar Huang Jinglong, "Cih! Kau memintaku menjadi Raja di kerajaan tandus yang rakyatnya miskin? Sedangkan kau bisa menikmati kemewahan ini sendirian? Jangan berpura-pura dermawan!"
"Namun tak apa," sambungnya, mata berbinar gila. "Sebentar lagi keinginanku akan terwujud. Jadi, aku tidak akan mengungkitnya lagi. Sekarang, temui Ayahanda di alam baka, Long'er—ge!"
Dengan gerakan cepat bagai kilat, Huang Rong melesat dan menikamkan pedangnya tepat ke dada kiri sang Kaisar.
Xiao Lan hampir menjerit, tangannya menutup mulutnya sendiri hingga kuat. Dia melihat darah segar mengucur dari mulut sang Kaisar sebelum tubuh gagah itu roboh tak bernyawa
Jantung Xiao Lan berdegup kencang, bagikan seekor burung yang terkurung dalam sangkar dada dan ingin melarikan diri. Setiap detaknya bergema di telinganya, menenggelamkan hampir semua suara kecuali teriakan nalurinya: Lari! Udara malam yang sebelumnya harum oleh wangi melati dan kenanga kini tercemar bau besi dan darah—bau kudeta.
Dia berlari tanpa alas kaki, telapaknya yang halus tercabik oleh kerikil tajam dan pecahan marmer yang bertebaran seperti kelopak mawar berduri.
Setiap langkah menyisakan tapak darah kecil, tetapi rasa sakit itu tumpul, dikalahkan oleh rasa ngeri yang membeku di tulangnya saat matanya menyaksikan Sang Kaisar, Huang Jinglong, roboh oleh pedang adiknya sendiri.
" Permaisuri... Aku harus memperingatkan Permaisuri!" desisnya dalam hati, napasnya tersengal-sengal bagai ditiupkan melalui tabung yang penyok.
Tap!
Tap!
Tap!
Suara sepatu yang membentur marmer menggema di lorong-lorong, mereka semua mencari penghuni istana yang masih bernyawa.
🌹Hai...hai... Sayangnya Mami🤗
Bisakah Xiao Lan sampai di kediaman permaisuri?
Atau dia tertangkap oleh prajurit yang sedang mencari penghuni istana?
Yuk ikuti terus kelanjutannya ya,
JANGAN LUPA KASIH LIKE & KOMEN DI SETIAP BAB, VOTE SERTA HADIAH JUGA.
TERIMA KASIH SAYANGKU🥰🥰🥰