Putri Huang Jiayu putri dari kekaisaran Du Huang yang berjuang untuk membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah membunuh keluarganya dengan keji.
Dia harus melindungi adik laki-lakinya Putra Mahkota Huang Jing agar tetap hidup, kehidupan keras yang dia jalani bersama sang adik ketika dalam pelarian membuatnya menjadi wanita kuat yang tidak bisa dianggap remeh.
Bagaimana kelanjutan perjuangan putri Huang Jiayu untuk membalas dendam, yuk ikuti terus kisah lika-liku kehidupan Putri Huang Jiayu.
🌹Hai.. hai.. mami hadir lagi dengan karya baru.
ini bukan cerita sejarah, ini hanya cerita HALU
SEMOGA SUKA ALURNYA..
JIKA TIDAK SUKA SILAHKAN DI SKIP.
JANGAN MENINGGALKAN KOMENTAR HUJATAN, KARENA AUTHOR HANYA MANUSIA BIASA YANG BANYAK SALAH.
HAPPY READING...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PENIPU DAN AROMA MEMATIKAN
Dengan langkah gentar dan hati berdebar,
Tiga sahabat lolos dari incaran mata.
Berkat akal bulus dan bau menyengat,
Namun bahaya mengintai di ujung gelap.
Di balik jerami, sebuah harapan tergenggam.
🍓🍓🍓
Derap sepatu baja para prajurit bergema di jalanan berdebu Desa Taiwai, bagai genderang perang yang memecah kesunyian senja.
Setiap hentakannya membuat debu-debu emas menari-nari di udara, diterangi sinar jingga matahari yang mulai menyerah pada malam.
Wong Rui, dengan wajah memerah dan keringat mengucur deras seperti air terjun mini, baru saja mendarat seperti meteor yang kepanasan di depan kedua sahabatnya.
"Lu Yan! Du Feng! Ada—ada banyak prajurit! Dan ada Jendral Lan Guo juga di sana!" teriaknya, sambil tangan berkeringat itu menumpu di lutut yang gemetaran.
Dadanya naik turun seperti tukik pandai besi yang dikompresi iblis. "Aku... hampir... tertabrak... kuda... jendral!"
Du Feng, yang sedang asyik menggaruk-garuk ketiaknya dengan ekspresi nikmat yang meragukan, hanya melirik.
"Wah, dia sendiri yang datang? Kasihan sekali hidupnya, tidak ada kerjaan lain selain mengganggu kita," Du Feng yang masih asyik dengan dunianya menciumi tangan yang selesai di buat menggaruk ketiaknya, seakan dia merasa melayang ke udara setelah mencium aroma yang— sangat memualkan itu,
" Ya sudahlah, biarkan saja. Toh kita juga tidak mengusik mereka, kan? Kecuali mungkin aromamu, Wong Rui. Itu bisa dikategorikan sebagai senjata biologis." Du Feng masih menanggapi kekhawatiran Wong Rui dengan santai seolah semua informasi barusan membahayakan bagi mereka.
"Bukan... itu... masalahnya!" Wong Rui masih tersengal, matanya melotot.
"Mereka akan menggeledah setiap rumah! Kata orang-orang, ada yang melaporkan dua kereta mewah tiba-tiba parkir di depan rumah warga! Mereka duga perampoknya bersembunyi di sini!" Ucap Wong Rui menggebu
Lu Yan, yang selama ini diam memperhatikan dengan tatapan tajam bagai elang, akhirnya bersuara.
Suaranya rendah tapi penuh wibawa, membuat Du Feng berhenti menggaruk. "Kita terjebak. Jika kita kembali ke hutan itu sangat mustahil," Dia berpikir dengan menggaruk dagunya pelan,
"Tapi menyamar seperti ini juga bukan solusi. Aroma 'khas' kita sudah menarik perhatian yang tidak diinginkan." Dia melirik ke arah Du Feng yang kembali sibuk dengan dunianya sendiri.
🍏🍏🍏
Sementara Di sisi Jendral Lan Guo
Suara teriakan dan perintah Jendral Lan Guo yang keras memenuhi udara. Para warga berhamburan masuk ke dalam rumah, menghindari kontak mata dengan para serdadu yang wajahnya dikeraskan oleh tugas.
"Dengarkan perintah! Periksa semua rumah! Jangan ada yang terlewat! Mereka pasti masih bersembunyi di sini!" gertak Jendral.
"Baiiik, Jendral!" sahut para prajurit serentak sebelum berpencar seperti semut yang diganggu sarangnya.
Dua prajurit mendekat ke arah kandang kuda. Du Feng dan Wong Rui bergerak secepat kilat. Du Feng menyambar cangkul dan mulai mencangkul tanah dengan semangat orang gila.
Sementara Wong Rui meraih pengki sampah dan menyapu dedaunan kering dengan energi seorang pertapa yang sedang membersihkan kuil.
Lu Yan, dengan gerakan tenang agar tidak mencurigakan, mengambil sikat dan mulai menyisir bulu kuda coklat tua di sebelahnya, bersiul kecil seolah-olah hari ini adalah hari terindah dalam hidupnya.
Tuan Mao, si pemilik kandang, adalah pria berperut buncit dan bermata sipit yang selalu melihat dunia seolah-olah semua orang berhutang uang padanya.
Ketika dua prajurit mendekat, tiga sahabat itu berubah menjadi para pelakon dadakan yang dipaksa naik panggung.
"Lo Ding, siapa dua orang ini?" tanya Tuan Mao dengan suara melengking, menunjuk ke arah Du Feng dan Wong Rui yang sedang pura-pura menggunakan cangkul dan serok.
Lu Yan melesat bagai anak panah.
"Aiyaaaa, Tuan Mao! Sudah kubilang, anda harus rajin minum sup ginseng merah!" teriaknya,
Tangannya melambai-lambaikan udara seolah sedang menghalau setan pikun.
"Ingatan anda semakin parah! Anda sendiri yang meminta mereka bekerja di sini tadi pagi! Melihat mereka mengemis, hati anda yang seluas samudera ini tergerak! Sungguh dermawan! Semoga dewa memberkati anda dengan umur panjang dan... dan ingatan yang lebih baik!" ucapnya dengan senyum merekah.
Du Feng melihat ada kesempatan. Dengan langkah penuh percaya diri—terlalu percaya diri—dia mendekat. "Benar, Tuan! Kami hanya ingin berterima kasih—"
"Berdiri di situ!" teriak Tuan Mao tiba-tiba, menyumbat hidungnya dengan jari.
"Demi para dewa, kau bau sekali! Seperti bangkai tikus yang mandi di lumpur busuk! Jangan mendekat!"
Du Feng berhenti patuh.
"Baik, Tuan. Saya akan berdiri di sini, di mana aroma saya bisa dinikmati dari kejauhan seperti dupa pengharum yang langka." Du Feng berdiri di tempatnya dengan senyum yang tidak luntur, sampai dia merasakan seakan giginya mulai kering karena terus tersenyum lebar.
Wong Rui, melihat gilirannya, dia pun mendekat maju. Dia mengangkat kedua tangan dan mulai membuat gerakan-gerakan acak yang sama sekali tidak menyerupai bahasa isyarat mana pun di dunia.
Tangannya berputar-putar, jarinya menunjuk ke langit, kadang ke hidungnya sendiri, seperti orang kesurupan yang sedang mencoba mengusir lalat hijau yang biasa hinggap di kotoran.
Du Feng, dengan ekspresi paling serius yang pernah dimilikinya, mengangguk-angguk paham. "Ah, iya. Begitu. Wah, menyentuh sekali."
Tuan Mao dan dua prajurit yang melihat itu mengernyitkan keningnya,
" Ada apa dengannya?" Tanya Tuan Mao yang sudah tidak tahan ingin bertanya alasan kenapa ada seseorang yang seperti kesurupan itu.
" Ah, dia teman saya tuan, dia seseorang yang tidak mau bicara" Ucap Du Feng, membuat semua orang menaikkan satu alisnya karena mendengar perkataannya barusan, Du Feng yang menyadari itu segera meluruskan,
" Aiyaaa, maaf tuan saya salah bicara, maksudku temanku ini orang yang tidak bisa bicara, dia hanya bisa menggunakan bahasa isyarat," Du Feng menjelaskan dengan wajah serius, Tuan Mao yang mendengar penjelasan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu apa katanya tadi? kau artikan agar kami mengerti" desak Tuan Mao, yang mulai bingung.
"Baik tuan, aku akan membantu mengartikan," Du Feng menarik napas dan dan—
"Dia bilang," Du Feng mulai menerjemahkan dengan penuh keyakinan,
" Bahwa dia sangat terharu dengan kebaikan Tuan Mao. Tuan Mao adalah manusia terbaik yang pernah dia temui sejak ibunya meninggal. Dia berjanji akan bekerja keras membersihkan kotoran kuda sampai berkilau seperti permata, sebagai balas budi. Dia hanya minta makan tiga kali sehari, dan tidak perlu dibayar."
Tuan Mao, meski bingung, melihat peluang. "Baik! Kalian boleh kerja! Makan tiga kali sehari! Tidak dibayar! Sekarang, cepat kembali kerja sebelum aku mengingat sesuatu yang lain!"
Para prajurit, yang sudah muak dengan bau dan pertunjukan aneh itu, akhirnya pergi. Begitu mereka menghilang, ketiga sahabat itu bersandar di dinding kandang, menghela napas lega yang begitu kuat sampai jerami di sekitarnya berterbangan.
"Napasmu sendiri bisa jadi senjata, Du Feng," gerutu Wong Rui, mengipasi udara di depan hidungnya.
"Misi berhasil, bukan?" bela Du Feng, tersenyum bangga.
Malam tiba dengan selimut kegelapan dan rencana melarikan diri. Lu Yan mendatangi Tuan Mao yang sedang menghitung uang.
"Tuan Mao, aku ingin membeli tiga kudamu. Dengan harga 60 tael emas," ujar Lu Yan langsung kepada intinya.
Tuan Mao tertawa terbahak-bahak, lemaknya bergetar. "Kau? Seorang budak bau keringat? Beli tiga kuda? Jangan bermimpi di siang bolong! hahaha"
Kantong emas yang diayunkan Lu Yan dan dibantingnya ke meja membuat tawa Tuan Mao tercekik. Matanya membelalak, seolah melihat dewa kekayaan turun dari langit.
"Bagaimana? Mau atau tidak? Kalau tidak, aku skan ke pedagang lain, mereka pasti mau."
"Tu—tunggu!" Tuan Mao meraihnya. "Baiklah, aku akan menjualnya, Tapi... tunggu dulu—" Ucap Tuan Mao seraya mengangkat tangannya menghentikan langkah Lu Yan yang ingin segera pergi dari sana.
" Kenapa kau bekerja di sini kalau kau punya emas sebanyak ini? Jangan-jangan... kalian buronan yang dicari prajurit tadi?" Tuan Mao bertanya dengan menyipitkan matanya.
Tanpa diduga, belati dingin sudah menempel di lehernya yang berlipat. Lu Yan mendekatkan wajahnya, matanya menyala dalam gelap.
"Kau tahu Tuan Mao? Orang yang terlalu banyak bertanya biasanya umurnya pendek. Aku membeli, bukan mencuri. Jadi, tutup mulutmu rapat-rapat. Atau kau mau kututup selamanya mulutmu dengan belati ini?" Lu Yan berbisik di telinga Tuan Mao dan sedikit menekan belatinya, hingga sedikit menggores kulit leher tuan Mao.
Tuan Mao gemetar seperti daun di angin kencang. "Ba—baik! Ambil saja kudanya! Jangan lukai aku!"
Beberapa saat kemudian, di bawah naungan bulan sabit yang pucat, tiga bayangan bergerak pelan. Du Feng dan Wong Rui menarik dua gerobak berisi jerami tinggi-tinggi, di belakang dua kuda.
Aroma menyengat mereka sudah bercampur dengan bau jerami dan obat-obatan, menciptakan parfum yang benar-benar unik. Lu Yan menunggangi kuda ketiga, yang gagah dan kuat, yang akan dia berikan kepada Jiayu.
Mereka menyusuri jalan sepi, hati berdebar-debar namun penuh harapan. Gerbang desa sudah dekat. Kebebasan hampir diraih.
Tiba-tiba, dari balik tumpukan jerami di samping jalan, sebuah bayangan muncul.
"Berhenti, kalian!"
.
.
🌹Hai...hai... Sayangnya Mami🤗
Hayoo kira-kira siapa yang menghentikan Lu Yan dan yang lain barusan?
Apakah yang akan terjadi dengan mereka?
Ikuti terus Cerita Mami Yaaa..
JANGAN LUPA KASIH LIKE & KOMEN DI SETIAP BAB, VOTE SERTA HADIAH JUGA YAAA...
TERIMA KASIH SAYANGKU😍🥰🥰