Raffaele Matthew, seorang Mafia yang memiliki dendam pada Dario Alexander, pria yang ia lihat telah membunuh sang ayah. Dengan bantuan ayah angkatnya, ia akhirnya bisa membalas dendamnya. Menghancurkan keluarga Alexander, dengan cara membunuh pria tersebut dan istrinya. Ia juga membawa pergi putri mereka untuk dijadikan pelampiasan balas dendamnya.
Valeria Irene Alexander, harus merasakan kekejaman seorang Raffaele. Dia selalu mendapatkan kekerasan dari pria tersebut. Dan harus melayani pria itu setiap dia menginginkannya. Sampai pada akhirnya ia bisa kabur, dan tanpa sadar telah membawa benih pria kejam itu.
Lalu apakah yang akan dilakukan Valeria ketika mengetahui dirinya tengah berbadan dua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovleyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Kita Lakukan Secepatnya
Di dalam mobil, kedua kakak adik itu saling pandang. Baru saja mereka akan keluar dari parkiran bandara, tapi Brian sepertinya masih enggan menggerakan mobilnya tersebut.
"Kamu kenal dengan pria tadi Vale?" Tanya Brian.
"Yang tadi itu?" Balas Valeria, lalu gadis itu menggeleng.
"Tidak kak. Aku hanya pernah bertemu dengannya saat di kantor Papa. Dan tadi itu aku tidak sengaja menabraknya, jadi aku minta maaf." Imbuhnya.
Entah mengapa, rasanya Brian pernah mengenalnya. Tatapan itu dan wajahnya tampak tidak asing. Tapi ia juga lupa di mana bertemu dengan pria tersebut.
"Ya sudah, kita pulang ke rumah kakak sekarang." Akhirnya Brian lebih memilih meninggalkan parkiran dan segera menuju ke kediamannya.
"Halo keponakan kak Vale. Gemesnya, pengen aku makan pipinya yang chubby ini." Sesampainya di rumah sang kakak, yang jadi tujuan utama Valeria adalah menemui keponakannya yang super gemesin itu.
Dari ucapannya tadi, Valeria mendapatkan pukulan kecil di bahunya dari sang kakak yang berada di belakangnya. Membuat gadis tersebut meringis dan memanyunkan bibirnya seperti anak kecil.
"Sakit kak Brian!" Teriak Valeria menyentuh bahunya.
"Makanya kalau bicara jangan asal, kakak-kakak. Erin itu manggil kamu tante, bukannya kakak." Balas Brian.
Raut wajahnya Valeria seketika berubah. Seperti jijik, dirinya belum setua itu panggil tante. Dan ia inginnya dipanggil kakak saja oleh keponakannya tersebut.
"Aku maunya dipanggil kakak saja. Tante itu tua banget tau kak." Valeria menolaknya.
"Dasar anak nakal. Udah 19 tahun juga masih labil." Gumam Brian lalu berjongkok menyamakan tingginya dengan sang anak. Mengelus puncak kepalanya sayang.
"Erin sayang, coba panggil dia ini siapa?" Brian mengetes sang anak agar menyebut nama Valeria.
"Ante Ale Papa." Jawab Erin dengan pelafalan belum jelasnya.
Brian lantas tertawa. Sedangkan Valeria cemberut bibirnya. Sia-sia saja tadi dirinya menyebut kakak di depan keponakannya ini. Karena pada akhirnya keponakannya itu memanggilnya dengan sebutan tante.
"Dengar sendirikan? Erin sudah terbiasa panggil kamu tante, bukan kakak." Ujar Brian.
"Iya-iya aku kalah." Balas Valeria.
Kemudian gadis itu celingak-celinguk. Mencari keberadaan sang kakak ipar yang sejak kedatangannya tidak terlihat.
"Kak Ines dimana kak?" Tanya Valeria.
Lalu Brian menunjuk ke arah lantai atas. Dimana sang istri yang baru keluar dari kamar. Pandangannya tertuju pada adik iparnya, sebuah senyuman langsung mengembang di kedua sudut bibir Ines. Wanita tersebut juga sampai mempercepat langkahnya.
"Valeria akhirnya kamu datang juga." Sampai di lantai bawah, Ines langsung meraih tubuh Valeria. Memeluknya erat, menyalurkan rasa rindu pada adik iparnya ini.
"Aduh kak! Susah napas akunya ini." Rengek Valeria. Dan kakaknya itu malah tertawa.
Ines menarik hidung Valeria dan berpindah mencubit kedua pipi adik iparnya itu. Masih sangat menggemaskan baginya adik iparnya ini.
"Sekarang kak Ines malah menyakiti kedua pipi ku." Valeria mengaduh lagi.
"Habisnya kamu masih gemesin Vale." Balas Ines.
"Yang gemesin itu anak kakak. Coba lihat, pipinya saja sampai menggembung seperti itu." Ujar Valeria menengok sang keponakan.
"Kamu juga sama saja." Kata Ines.
Valeria menggeleng, jelas menolak dirinya dibilang chubby seperti keponakannya itu. Dirinya cantik dan pipinya normal-normal saja.
"Ayo kakak antar kamu ke kamar." Ines merangkul bahu Valeria dan membawanya pergi. Namun sebelum itu, ia menoleh ke suaminya.
"Kamu jagain Erin dulu sayang." Ujarnya.
****
Raffaele menatap pemandangan awan dari atas pesawat. Dari caranya memandang, pria itu sedang memikirkan sesuatu. Lalu Gilbert mendatanginya. Memberikan sebuah kabar yang sedikit menggembirakan.
"Tuan, ada perkembangan dari perusahaan Alexander Group. Kita berhasil membuat salah satu koleganya pergi." Ucap Gilbert.
"Bagus, terus lakukan secara teliti dan hati-hati. Aku tidak ingin kalian bertindak lama atau sampai melakukan kesalahan, atau kalian akan tau akibatnya!" Jawab Raffaele.
"Tuan tenang saja, kami akan melakukan dengan cepat." Gilbert paham dengan tuannya ini yang sangat tidak menyukai lelet.
Masih memandangi luar jendela pesawat. Raffaele teringat dengan sosok gadis tadi.
"Berapa lama gadis dia akan berada di Prancis?" Tanya Raffaele, tanpa menyebut nama.
"Maaf tuan?" Gilbert tidak paham.
Raffaele jadi menoleh dan seketika itu Gilbert mendapatkan tatapan tajam dari tuannya tersebut. Rasanya, Gilbert ingin menelan ludahnya saja sulit. Seakan tercekat di tenggorokan.
"Kamu berapa lama menjadi anak buahku? Memahami perkataanku tadi saja sulit." Suara Raffaele pedas.
"Maafkan saya Tuan." Gilbert membungkukkan badannya.
Ia baru ingat jika yang dimaksud oleh tuannya tersebut adalah gadis yang bertemu di bandara tadi. Yang ternyata merupakan putri bungsu Dario, musuh tuannya. Apakah tuannya ini memiliki rencana untuk membalas dendamnya juga lewat gadis tadi. Jika iya, sungguh malang nasib gadis tersebut. Karena harus berhadapan langsung dengan seorang Raffaele, mafia yang terkenal kejam pada musuh.
"Jadi bagaimana? Sudah mendapatkan informasi?" Tanya Raffaele sekali lagi penuh penekanan.
Gilbert mengangguk. "Sudah Tuan, dia akan berada di Prancis sekitar seminggu. Dan untuk kakaknya tadi, saya hanya bisa mendapatkan informasi jika dia bekerja di perusahaan mertuanya."
"Bagus. Kita harus bisa melancarkan aksi kita seminggu lagi, bertepatan saat kepulangan putrinya dari Prancis. Dan kalau bisa, jangan biarkan kakaknya ikut mengantarnya ke Swiss." Perintah Raffaele pada Gilbert.
"Baik tuan." Hanya patuh saja yang bisa Gilbert lakukan dihadapan Raffaele.
Dor!
Dor!
Beberapa kali tembakan terus dilancarkan. Malam ini, ketika Raffaele dan beberapa anak buahnya akan melakukan transaksi ilegalnya. Ada seorang penyusup yang terlihat dari pandangan Raffaele.
Tanpa ragu, pria itu melepas senapan pistolnya. Dan mengarahkan ke kaki seseorang yang saat ini tengah berlari mencoba kabur dari markas Raffaele.
Penyusup itu segera dapat dilumpuhkan. Beberapa anak buah Raffaele juga sudah menahannya. Lalu Raffaele sendiri, pria tersebut berjalan santai namun sisi dinginnya dan menyeramkannya menguar, membuat penyusup itu ketakutan.
Di tangannya masih memegang pistol. Dimainkannya dengan cara memutar senjata tersebut di jarinya. Raffaele tersenyum bengis.
"Siapa yang menyuruhmu memata-matai di markas seorang Raffaele?!" Tanya Raffaele, didongakan kepala pria penyusup tersebut dengan menyokong dagunya menggunakan pistol.
"S...saya...saya hanya disuruh tuan. Tolong lepaskan saya, saya mohon!" Suara pria tersebut ketakutan dan memohon ampun pada Raffaele.
Dari gerakan mata dan kepalanya, Raffaele meminta salah satu anak buahnya menggeledah pria di hadapannya ini.
Lalu, tak lama anak buah Raffaele memberikan sebuah ponsel milik penyusup tersebut. Dan juga sebuah perekam suara. Yang dimana, saat dirinya memutar alat tersebut suaranya terdengar di sana.
"Ternyata kamu orang suruhan Robert. Cukup berani sekali rupanya kamu masuk di markasku ini?" Suara Raffaele meremehkan. Tangan pria tersebut menyilang di depan dada.
"Kamu salah masuk, karena yang akan terjadi selanjutnya, kamu akan m4ti di tanganku hari ini." Nada bicara Raffaele berubah dingin dan tanpa candaan. Pria ini menyeramkan jika menjadi Mafia.
Sorot matanya tajam, tangannya mulai terangkat mengangkat senjatanya. Dan diarahkannya pistol tersebut ke arah kepala pria penyusup tadi. Yang lantas, membuat ketakutan pria tersebut hingga terus memohon ampun. Namun, hal tersebut mana mungkin diindahkan oleh seorang Raffaele. Raffaele tak mengenal ampun. Siapa pun penyusup yang memasuki markasnya, akan mati.
Tanpa ragu, Raffaele melepaskan senapannya dengan tepat sasaran. Membuat pria tersebut ambruk dan cairan merah mengenai kemeja Raffaele, serta anak buahnya. Raffaele tertawa bengis. Tawanya sangat keras, dan kejam. Melihat pria itu tewas dengan begitu mengenaskan.
Kemudian ia melemparkan senjatanya tadi ke arah anak buahnya. Dan dirinya melenggang pergi dari tempat tersebut.
"Urus mayatnya, bereskan jangan sampai tercium orang lain!" Titah Raffaele, sembari terus melanjutkan langkahnya.
"Gilbert, besok harinya bukan? Persiapkan semuanya tanpa kesalahan!" Raffaele sudah sangat tidak sabar menunggu hasilnya.