"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - Kedatangan Tiga Mahasiswa Senior
Mutiara dengan sabar menanti kelanjutan kisah dari Reyesh.
"Sang ayah bilang begini : Aku bangga padamu, Nak... karena telah meredam emosimu. Dan kamu sekarang telah menjadi pemaaf. Tapi tahukah kamu, apa yang berbeda sebelum dan sesudah kamu tancapkan semua paku itu ke pagar?"
Mutiara dengan penuh perhatian mendengar cerita dari mentornya. Seolah anak kecil yang tenang saat diberikan dongeng malam hari.
"Sang anak menjawab: sekarang ada lubang di semua pagar rumah kita, ayah. Sang ayah pun memberikan sebuah nasehat indah yang sampai sekarang selalu kuingat, Mut!" ucap Reyesh. Matanya mulai berlinang. Ia terlihat tidak sanggup meneruskan cerita.
"Kenapa, Rey? Kamu nangis lagi?"
"Ng-nggak, kok! Aku cuma nggak tahan aja setiap kali mengingat kisah ini. Seolah terlalu jahat di masa lalu."
"Emangnya, apa yang dibilang ayah itu? Cepetan kasih tau!" pinta Mutiara, seperti rengekan anak kecil ketika dongeng nya dihentikan di tengah alur yang sedang seru-serunya.
"Katanya begini: Kamu bisa aja minta maaf sama orang lain atas perbuatanmu, atas kesalahanmu, Nak. Tapi ingat, seperti pagar yang telah berlubang itu, saat kamu berbuat atau berkata jahat kepada seseorang, mau kita sudah minta maaf atau belum, sakit hati itu akan tetap ada dalam hati mereka untuk selamanya. Terlepas dari mereka memaafkan kita atau tidak." tutup Reyesh, mengakhiri kisah antara seorang anak dan paku di pagar rumah.
Sontak saja, sepasang mata Mutiara ikutan basah dan berlinang. Bukan hanya karena kisah sang anak, tapi lebih kepada refleksi dirinya di masa lalu. Mutiara sadar, berulang kali berucap kasar, yang ia sendiri tidak sadar apakah ucapannya itu masih berbekas di hati orang atau tidak.
"Udah, ya! Aku nggak ada utang cerita lagi sama kamu." ucap Reyesh dengan perasaan lega.
"Sekarang, kamu malahan cosplay jadi filsafat ya? Ih, ngeri banget!" gocek Mutiara di tengah matanya yang masih sembap.
"Kurang-lebih."
"Sebenarnya, ada berapa jenis karakter dalam dirimu sih, Rey?"
"Aku punya 1001 wajah dan karakter." ucap Reyesh, bohong sambil bercanda.
"Oh, Abu Nawas, ya?" celetuk Mutiara sekenanya.
"Bukan! Kalo Abu Nawas Itu 1001 malam... Malih!" sentak Reyesh sedikit kesal dan gregetan.
"Ish! Jahat banget panggil aku Malih. Kalau aku si Malih, artinya kamu Pak Haji Bolot, dong?"
"Ogah!" tolak Reyesh.
"Nggak adil...!" protes Mutiara.
"Bodo amat!" balas Reyesh kembali.
"Tapi, Rey... boleh nggak aku sebutin satu permintaan?" tanya Mutiara. Kali ini wajahnya sangat serius menatap Reyesh.
"Apa? Kalo tentang 'urusan itu', lebih baik menyerahlah, Mut. Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa menaklukan diriku. Aku masih punya fokus besar, sehingga urusan itu kutaruh di dasar paling bawah." ucap Reyesh tegas.
Mutiara paham sekali ucapan sang jenius. Yang dimaksud 'urusan itu' pastilah perihal hati, perasaan, atau terkait hubungan antar lawan jenis. Sejak awal pertemuan mereka, Reyesh sudah bersikap dingin untuk urusan yang malah selalu diperbincangkan kawula muda pada generasinya saat ini.
Namun, sedikit banyak Mutiara dapat mengerti, apalagi seiring komunikasinya bersama Reyesh. Gadis itu perlahan paham, kalau si jenius dingin telah lebih dulu memberikan batasan diantara mereka. Sehingga, ketika dilanggar, mungkin jenius itu akan marah dan selalu emosi pada dirinya. Mutiara tidak ingin hal itu terjadi. Ia pun sadar dan memilih berdamai dengan perasannya.
"Nggak, bukan itu, kok. Tenang aja. Aku cuma ingin bertemu dengan adikmu suatu saat nanti. Boleh?" ucapnya dengan lembut.
Mendengar permintaan barusan, Reyesh tidak langsug menjawab. Tatapannya dingin, namun bukan ke arah Mutiara. Ia seolah sedang memikirkan hal berat atas permintaan sederhana Mutiara tadi. Gadis itu pun merasa, ada sesuatu yang sedang disembunyikan Reyesh, dan jenius itu lebih memilih untuk memendamnya sendirian.
"Boleh, kok. Tapi ada satu syarat." kata Reyesh membuat kesepakatan antara mereka.
"Apa syaratnya, jenius?" tanya Mutiara.
"Asalkan kamu serius belajar dan bisa tembus IP semester dua nanti minimal 3,85. Dan satu lagi, kamu sudah membayar lunas biaya bimbel ini. Masih sisa 10 juta lagi kan? Dan itu dibayar ketika targetmu 4.00 tercapai, atau minimal 3.90. Bagaimana? Syarat yang selaras dengan targetmu, kan?"
Tanpa berpikir panjang, Mutiara langsung mengiyakan, "Oke, deal yah?" gadis itu menjulurkan tangan, sebagai tanda formal kesepakatan kedua belah pihak.
Reyesh tidak menjawab, hanya memberikan respon berupa mengangguk kepala dengan pelan sambil tersenyum, lalu jenius itu juga menjulurkan tangan dan menjabat jemari lembut Mutiara.
Kesepatan selesai. Keduanya saling lempar senyum.
Kondisi cair dan hangat, semakin mempererat hubungan dan chemistry diantara mereka. Sayangnya, Reyesh masih memberikan batasan dan tidak mengakui perasaan lembut itu.
Keduanya kembali fokus pada pembelajaran. Reyesh memberikan beberapa soal dari materi kuliah dan contoh yang ia sampaikan kepada Mutiara. Sementara gadis itu, asyik sendiri dan fokus mengerjakan soal bertipe HOTS itu.
Mutiara yang tengah fokus mengerjakan soal sulit dari Reyesh, tiba-tiba mendengar suara tawa keras, sehingga mengganggu konsentrasinya. Ia ke arah pintu kelas, menoleh dan mendapati dua mahasiswa dan seorang mahasiswi senior berjalan mendekat dengan senyum mengejek.
Ketiga mahasiswa/i senior itu seangkatan dengan sang mapres Varel, namun beda fakultas dan jurusan. Salah satu dari mereka, pria bertubuh tinggi dengan kacamata tipis, melipat tangannya di dada.
"Wah, bidadari kampus... tumben lo serius banget belajar? Biasanya kerjaan lo cuma ngejek cowok culun dan sok ngerasa cantik di kampus ini!" ucapnya dengan nada meremehkan, sekaligus meluapkan kekesalan.
Dua temannya ikut tertawa kecil, tatapan mereka tertuju pada Mutiara dan Reyesh.
"Kalian ini, sok-sok an dan belagu pinjam kelas sama Pak Ujang. Baru semester dua aja, udah tengil, gayanya seperti calon lulusan terbaik!" tambah senior perempuan yang berdiri di tengah.
"Apa lo yakin bisa mendapatkan IP 4.00 di semester ini? Sesuai omongan songong lo waktu di kantin itu, hah?" tambahnya. Walau bagaimana pun, mahasiswi senior ini terkesan cemburu. Ia sangat iri dengan Mutiara yang cantik dan terkenal seantero kampus.
Mutiara menatap mereka tajam, berusaha menahan emosi.
"Tentu saja!" jawabnya singkat, penuh percaya diri.
Senior berkacamata itu menyeringai, ikut membantu temannya mengejek Mutiara.
"Kalau begitu, ayo kita buat taruhan!" katanya sambil cengar-cengir.
"Jika IP-lo semester ini kurang dari 3.8, lo harus mengikuti perintah kami. Gimana, sanggup?" tantang senior lainnya yang gemuk dan memiliki wajah sangat san-ge, ketika melihat lekuk indah dari tubuh Mutiara.
Mutiara mengerutkan kening.
"Oh, jadi ini tantangan baru dari kalian, selain kesepakatan gue sama kak Varel dan kawan-kawannya?" ucap Mutiara dengan percaya diri.
"Iya, urusan lo tetep sama Varel. Ini urusan kita. Kalo lo berhasil dapet IP 4.00, lo menang banyak!" tambah si genduk itu dengan tatapan buas ke arah Mutiara.
Bersambung.......