NovelToon NovelToon
Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Ketika Bar-Bar Bertemu Sabar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.

Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.

Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.

Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?

Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…

Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?

Baca selengkapnya hanya di NovelToon.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35

“Ya Allah…” Aira menjatuhkan badan ke kasur lagi.

“Kenapa pengantin gak boleh tidur sih…”

Bu Maryam menarik selimutnya. “Bangun.”

Aira terpaksa berdiri sambil menyeret kaki.

Begitu masuk kamar mandi dan uap air hangat menyentuh kulitnya, ia mendesah. “Hmm… enak juga sih.”

Tapi tetap saja, sambil mandi ia ngoceh sendiri. “Ini mandi paling mahal seumur hidup gue…”

Selesai mandi, Aira dipakaikan handuk tebal dan langsung digiring ke kamarnya untuk memakai salat terlebih dahulu.

Setelah salat subuh, Aira belum sempat bernapas lega. Ia sudah digiring duduk di meja riasnya. Peralatan make up sudah berjajar, MUA kampung sibuk menyiapkan kuas dan palet.

“Duduk ya, Neng.”

“Jangan banyak gerak.”

Aira duduk, matanya masih setengah terpejam. “Teh… ini muka aku masih pabrik setting loh.”

MUA tertawa kecil. “Nanti juga jadi cantik.”

“Aku kan udah cantik,” celetuk Aira polos.

Bu Maryam menepuk bahunya. “Sudah, jangan banyak komentar.”

Saat kuas pertama menyentuh wajahnya, Bu Maryam duduk di sampingnya sambil membawa mangkuk kecil.

“Buka mulut.”

Aira menoleh kaget. “Hah?”

“Makan.”

“Ma… aku bisa makan sendiri.”

“Tidak bisa,” sahut Bu Maryam tenang. “Nanti belepotan.”

Aira manyun, tapi tetap membuka mulut saat disuapi. “Ini rasanya kayak anak TK,” gumamnya sambil mengunyah.

“Dinikmati saja,” balas Bu Maryam sambil tersenyum tipis. “Tidak semua anak perempuan punya ibu yang masih bisa menyuapi di hari nikahnya.”

Kalimat itu membuat Aira terdiam sejenak.

Sendok berhenti di udara.

Dadanya terasa sesak, hangat, dan penuh. “Ma…” suaranya mengecil. “Jangan bikin aku nangis sebelum waktunya.”

Bu Maryam tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Tenang. Nanti nangisnya pas akad.”

Aira mendengus pelan. “Prosedur hidup aku hari ini ribet banget, Ma.”

“Tapi ini prosedur menuju ibadah panjang,” jawab Bu Maryam lembut.

Aira menatap bayangannya di cermin.

Wajah yang sama, tapi hidup yang sebentar lagi tak akan sama.

Dan untuk pertama kalinya pagi itu, Aira tidak protes lagi.

***

Suasana rumah Aira semakin ramai sejak matahari naik setelapak.

Bukan lagi riuh dapur atau tenda, tapi riuh langkah kaki, suara motor dipanaskan, dan anak-anak berlarian sambil membawa kado seadanya.

Di halaman rumah, mobil Aira sudah terparkir rapi, dihias sederhana dengan pita putih dan rangkaian bunga melati.

Sementara di luar pagar, motor-motor warga berjejer seperti iring-iringan hajatan besar.

“Eh, jangan lupa helm!”

“Anak-anak jangan berdiri di depan!”

“Pak, motornya jangan ngebul ke arah mobil pengantin!”

Suara saling mengingatkan bercampur tawa.

Pak Hadi berdiri di dekat mobil, mengenakan koko putih dan sarung terbaiknya. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan haru.

Bu Maryam sibuk merapikan ujung kerudung Aira yang sudah mengenakan busana akad sederhana tapi anggun. Tidak berlebihan... justru itu yang membuat Aira terlihat berbeda. Lebih dewasa. Lebih tenang.

“Ra,” Bu Maryam memegang tangan anaknya. “Nanti di pondok, kamu duduk yang tenang. Jangan banyak komentar dulu.”

Aira menelan ludah. “Iya, Ma… tapi kalau aku refleks ngomel gimana?”

“Ditahan,” jawab Bu Maryam sambil tersenyum. “Hari ini bukan hari debat.”

Pak Hadi mendekat. “Sudah siap?”

Aira mengangguk pelan. “Siap… setengah sadar.”

Pak Hadi tertawa kecil. “Yang penting niatnya sadar.”

Di luar pagar, Pak RT dan Pak RW sudah datang, disusul Pak Lurah dengan senyum ramah. Warga RT berdatangan tanpa diminta... seolah pernikahan Aira adalah pernikahan bersama.

“Masya Allah, rame ya,” ujar Pak Lurah.

“Jarang-jarang satu RT kompak begini.”

“Anak kita menikah, Pak,” jawab Pak Hadi lirih tapi bangga.

Anak-anak mulai bersorak kecil saat Aira keluar rumah. “Teh Airaaa!”

“Pengantin!”

Aira refleks melambaikan tangan. “Hush… jangan teriak. Aku belum sah.”

Ibu-ibu cekikikan.

Aira masuk ke mobil didampingi Bu Maryam.

Pak Hadi duduk di depan.

Saat mesin mobil dinyalakan, iring-iringan motor mulai bergerak.

Anak-anak di depan, ibu-ibu di belakang, bapak-bapak mengawal di sisi kanan kiri.

Jalan kampung yang biasanya sepi kini dipenuhi doa, senyum, dan rasa bangga.

Aira menatap keluar jendela mobil.

Sawah yang dulu ia keluhkan.

Jalan yang ia anggap terlalu sunyi.

Warga yang awalnya terasa asing.

Dadanya bergetar.

“Ma…” suaranya pelan. “Kenapa aku deg-degan banget ya?”

Bu Maryam menggenggam tangannya. “Karena kamu sedang melangkah ke hidup baru.”

Mobil melaju pelan menuju masjid pondok... tempat akad akan diucapkan, tempat satu nama akan resmi menyatu dengan namanya.

Rombongan dari rumah Aira tiba di gerbang pondok dengan iring-iringan yang tertib. Begitu mobil berhenti, para santri sudah berbaris rapi, mengenakan sarung dan koko putih, sebagian membawa rebana kecil.

Begitu kaki Aira menjejak halaman pondok, shalawat menggema.

“Shallallahu ‘ala Muhammad…

Shallallahu ‘alaihi wasallam…”

Suaranya kompak, tenang, dan menggetarkan.

Bukan sorak-sorai, bukan teriakan... melainkan doa yang dilantunkan dengan adab santri.

Beberapa santri putri berdiri di sisi lain, menunduk sopan sambil tersenyum. Ada yang berbisik pelan, ada yang matanya berbinar penuh harap.

Salah satu santri senior maju ke depan, memberi sambutan dengan suara mantap.

“Bismillahirrahmanirrahim.

Atas nama keluarga besar Pondok Pesantren, kami mengucapkan selamat datang kepada rombongan keluarga calon mempelai perempuan. Semoga langkah yang hari ini dipertemukan Allah menjadi langkah menuju sakinah, mawaddah, wa rahmah.”

Shalawat kembali menggema, lebih pelan namun khusyuk.

Aira menelan ludah.

Dadanya terasa sesak... bukan karena takut, tapi karena suasana yang terlalu sakral untuk dianggap biasa.

Seorang ustadzah mendekat dan menunduk hormat. “Neng Aira, mari… silakan ikut saya.”

Aira mengangguk.

Ia sempat menoleh ke arah Pak Hadi dan Bu Maryam.

Pak Hadi tersenyum, mengangguk pelan seolah berkata: Tenang, Papa di sini.

Bu Maryam mengusap dada, matanya berkaca-kaca.

Aira lalu diarahkan ke sebuah ruangan khusus di sisi ndalem, ruangan bersih dengan tikar pandan, bunga melati, dan sajadah yang sudah disiapkan.

“Neng, di sini dulu ya. Nanti setelah sah, baru dipertemukan,” ujar ustadzah itu lembut.

“Iya, Bu,” jawab Aira pelan.

Begitu pintu tertutup, Aira duduk sendiri. Tangannya saling menggenggam.

Napasnya naik turun tidak beraturan. “Ya Allah…” bisiknya. “Beneran ya… sebentar lagi.”

Tidak lama kemudian ustadzah tadi kembali masuk untuk menemani Aira.

Di sisi lain, Pak Hadi langsung masuk ke masjid pondok, didampingi Bu Maryam, Pak RW, Pak RT, Pak Lurah, serta para kerabat. Masjid sudah penuh oleh jamaah... santri, ustadz, dan warga yang hadir.

Di saf depan, kursi akad telah disiapkan.

Meja sederhana, kitab nikah, dan mikrofon.

Suasana masjid hening, penuh wibawa.

Tak ada musik. Tak ada tepuk tangan.

Hanya dzikir pelan dan shalawat yang terus mengalun.

Hari itu, bukan sekadar pernikahan. Tapi ijab kabul yang disaksikan langit dan bumi pondok.

Seorang santri putra maju ke depan mimbar. Usianya masih muda, suaranya jernih, sikapnya tenang. Ia menggenggam map cokelat berisi susunan acara.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab seluruh jamaah serempak.

Santri itu menunduk hormat, lalu melanjutkan dengan bahasa yang santun dan teratur... gaya khas MC pondok.

“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pada pagi hari ini masih memberikan kita nikmat iman, nikmat Islam, dan nikmat sehat, sehingga kita dapat berkumpul di masjid Pondok Pesantren ini dalam rangka menyaksikan dan mendoakan akad nikah saudara kita, Ustadz Fathur, dengan calon istrinya.”

Ia berhenti sejenak, memberi jeda adab.

“Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.”

MC menatap jamaah dengan penuh takzim.

“Para hadirin yang dirahmati Allah, acara akad nikah ini insyaAllah akan berjalan dengan susunan sebagai berikut:

Pembukaan, pembacaan ayat suci Al-Qur’an, lantunan shalawat, acara inti ijab kabul, dan doa penutup.”

Ia menunduk lagi.

“Untuk mengawali acara, marilah kita buka dengan bacaan basmalah bersama.”

“Bismillahirrahmanirrahim.”

Suasana masjid semakin khusyuk.

“Selanjutnya, kepada saudara kita santri Anas, kami persilakan untuk melantunkan ayat suci Al-Qur’an.”

Seorang santri maju. Ia membuka mushaf, menarik napas, lalu melantunkan ayat dengan suara merdu, tartil, dan penuh penghayatan.

Ayat tentang pernikahan dan ketenangan jiwa mengalun, membuat beberapa jamaah menunduk haru.

Selesai tilawah, MC kembali maju.

“MasyaAllah, semoga ayat yang dibacakan menjadi keberkahan bagi kedua mempelai.”

Kemudian ia memberi isyarat halus. “Acara selanjutnya adalah lantunan shalawat Nabi, dipimpin oleh grup hadrah santri.”

Rebana ditabuh pelan.

Shalawat bergema, memenuhi masjid dengan getaran cinta kepada Rasulullah.

Ustadz Fathur duduk tegak di saf depan, wajahnya tenang, tangannya bertaut di pangkuan.

Di ruangan lain, Aira ikut melantunkan shalawat lirih sambil menahan air mata, meski tak mendengar langsung.

MC kembali berdiri.

Nada suaranya kini lebih serius.

“Para hadirin yang dimuliakan Allah, tibalah kita pada acara inti, yaitu akad nikah.”

Masjid seketika hening.

Tak ada suara selain tarikan napas dan degup jantung.

“Untuk itu, kami persilakan wali nikah, Bapak Hadi, untuk menempati tempat yang telah disediakan.”

Pak Hadi melangkah maju.

Tangannya sedikit bergetar, namun wajahnya mantap.

MC melanjutkan dengan adab penuh. "Dan kepada Ustadz Fathur, kami persilakan.”

Ustadz Fathur duduk berhadapan dengan Pak Hadi.

Di antara mereka, penghulu telah siap.

Detik-detik itu terasa panjang.

Satu tarikan napas lagi... dan sebentar lagi, dua hidup akan disatukan dalam satu lafaz suci.

Penghulu menoleh ke kanan dan kiri, memastikan semua telah siap.

Suasana masjid Pondok Pesantren itu hening sepenuhnya... bahkan suara rebana sudah berhenti sejak tadi.

MC santri berdiri dengan suara lebih pelan dari sebelumnya. “Para hadirin dimohon untuk menenangkan diri. InsyaAllah akad nikah akan segera dilaksanakan.”

Penghulu membuka pembicaraan dengan suara mantap.

“Bapak Hadi, apakah Bapak sudah siap menikahkan putri Bapak?”

Pak Hadi mengangguk.

Telapak tangannya sedikit basah, tapi tatapannya teguh. “In syaa Allah, siap.”

Ustadz Fathur duduk lurus. Wajahnya tenang, namun matanya basah oleh harap dan doa.

Tangannya menggenggam tangan Pak Hadi... erat, mantap, penuh adab.

Penghulu kembali mengingatkan. “Akad nikah ini akan menggunakan lafaz ijab kabul dalam bahasa Arab. Mohon diucapkan dengan jelas dan tanpa terputus.”

Pak Hadi menarik napas panjang.

Beberapa hari terakhir ia mengulang-ulang lafaz itu dalam salatnya, di sela zikirnya, bahkan sebelum tidur.

Bukan karena gengsi, tapi karena ia ingin menyerahkan putrinya dengan cara paling mulia yang ia mampu.

Penghulu mengangguk. “Silakan, Bapak Hadi.”

Pak Hadi menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya.

Suaranya bergetar di awal... namun kemudian mantap. “Ankaḥtuka wa zawwajtuka ibnatī Aira Syakira binti Hadi

‘alā ṣadaqihā al-mażkūr ḥālan.”

Masjid membeku.

Sepersekian detik yang terasa seperti keabadian.

Tanpa ragu, tanpa terputus, Ustadz Fathur langsung menjawab dengan suara tegas dan jernih.

“Qabiltu nikāḥahā wa tazwījahā ‘alā ṣadaqihā al-mażkūr ḥālan lillāhi ta‘ālā.”

Hening.

Penghulu menoleh cepat ke para saksi.

“Sah?”

“Sah.”

“Sah.”

Serentak. Tegas. Tanpa keraguan.

MC santri spontan mengucap, “Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar…”

Masjid bergema oleh takbir.

Beberapa santri menunduk sambil mengusap mata.

Pak Hadi menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Bahu tuanya bergetar.

Ustadz Fathur menunduk lama. Bibirnya bergetar lirih. “Alhamdulillah…”

Penghulu tersenyum hangat. “Dengan ini, saudara Fathur telah sah menjadi suami dari Neng Aira binti Hadi.”

Satu lafaz.

Satu tarikan napas.

Dan satu hidup yang kini tidak lagi sendiri.

Sementara di tempat Aira, begitu gema takbir dari masjid terdengar jelas menembus dinding ruangan, tubuh Aira tersentak.

“Sa... sah?”

Ustadzah di sampingnya tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Iya, Neng… sudah sah.”

Kalimat itu seperti palu yang menghantam dada Aira.

“HAH?!”

Bersambung

1
Ilfa Yarni
loh knp kaget ustadz itu kan istrimu
Jihan Wati
penasaran malam pertama🤣
Ilfa Yarni
wah siapa tuh yg dtg tmn Aira yg dr kota itu ya
octa viani
lanjut min
Ilfa Yarni
duh aja aja yg julid ga senang liat orang bahagia
Ilfa Yarni
hahahahaha lg sedang guvupnua msh bisa jwb Pontan yg bikin orang ketawa dasar aira ustadz Fatur bisa awet muda trus nih di samping aira krn tertawa trus liat tingkah istrinya
Ilfa Yarni
aura serius dikit napa kn udah sah jd istri ustadz Fatur senyum dong jgn kaget begitu
Ilfa Yarni
dasar aira dia mau nikah msh aja bangun siang saudara ra sadar mau manten jadi istri ustadz fathur
Ilfa Yarni
semoga pernikahan Aira lancar ga sabar malam pengantin mereka rame kali ya hehe
Ilfa Yarni
hadeeh ada lg yg julid modelan seperti aura ini yg bikin suasana jadi, hidup dan berwarna ngerti tidak, wahai julid apa jgn2 anda iri dengki ya pasti itu sijulid pak rw dah
Ilfa Yarni
takut klo km nanti kecewa neng azwa
Ilfa Yarni
pernikahan tetap terjadi mknya ustadz fathur pindah itu rmh bukan haknya nanti setelah menikah dia tinggal drmh Aira kok
Ilfa Yarni
aduh ini pak rw knp ga bagus ya sifatnya ga cocok nih jd rw ga bisa jadi teladan ini mah apakah yai Huda kembaran pak jadi ya makin penasaran ceritanya
Ilfa Yarni
loh kok pd kaget liat aira ada apa kyai huda kok aku yg penasaran dan deg degan
Ilfa Yarni
mang niat baik itu ada aja rintangannya
Ilfa Yarni
bahahahahaha lucu banget aira
Ilfa Yarni
hahahaha lucu banget sih Aira ustadz Fatur nakal terrpingkal2 ketawa ga ya atau ngurut dada liat kerandoman aira
Jihan Wati
🤣🤣🤣
Ilfa Yarni
dasar Aira random alias bar bar bikin ketawa trus nanti ustadz fathur awet muda deh dgn tingkah Aira yg random
Ijah Khadijah: Terima kasih kak
total 1 replies
Ilfa Yarni
aku kli baca cerita Aira ini ketawa sendiri ada aja celotehannya itu nanti ustdz Fatur bisa awet muda nikah sama aira
Ijah Khadijah: Iya kakak😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!