NovelToon NovelToon
SENORITA DEL AMOR

SENORITA DEL AMOR

Status: tamat
Genre:Misteri / CEO / Roman-Angst Mafia / Tamat
Popularitas:30.2k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

Series #1

•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••

Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.

Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 : Kelas Tanpa Masa Depan

...•••Selamat Membaca•••...

Pagi berikutnya, angin dari selatan membawa debu tipis ke gang-gang Hebron. Udara hangat menempel di kulit sejak sebelum fajar. Sofia dan Maula mengenakan rompi relawan yang sama, tapi kali ini mereka tak membawa stetoskop melainkan buku gambar, spidol warna, dan alat tulis yang dibeli dari toko kecil semalam.

Tujuan mereka adalah sekolah komunitas darurat di daerah Tel Rumeida. Sekolah ini tak lebih dari tiga ruangan sempit yang dulunya adalah bengkel sepeda. Lantainya kasar, bangkunya campuran plastik dan kayu bekas. Di luar jendela tanpa kaca, terlihat tembok tinggi dan menara pos penjaga Israel.

Anak-anak mulai berdatangan. Tak ada bel. Tak ada seragam. Hanya anak-anak dengan mata lelah tapi ingin tahu. Jelas kalau mereka siap untuk menimba ilmu hari ini, tanpa peduli bahwa bisa saja hidup mereka berakhir hari ini.

Guru utamanya, seorang perempuan muda bernama Hadeel, menyambut mereka dengan pelukan cepat. “Hari ini mereka akan menggambar,” katanya dalam bahasa Inggris yang fasih. “Bukan untuk nilai. Hanya untuk menumpahkan apa yang tak bisa mereka katakan.”

Kelas pertama dimulai dengan dua belas anak, usia 7 sampai 12 tahun. Mereka menggambar rumah, mimpi, dan ketakutan.

Gambar yang bukan hanya sekadar pemandangan hijau nan asri, bukan juga gambar rumah di tengah persawahan bertingkat yang hijau.

Maula duduk di samping seorang bocah laki-laki bernama Samer. Ia menggambar satu rumah kecil yang dikelilingi pohon zaitun. Lalu, tanpa banyak bicara, ia menggambar helikopter, api, dan tubuh-tubuh tergeletak tak utuh.

Di sudut kertas, dia menggambar sebuah seorang wanita dengan kepala yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya, lalu seorang anak kecil datang menutupi kepala itu dengan sebuah kain putih yang Maula lihat seperti hijab.

Maula bertanya, “Siapa itu?”

“Umma.”

“Lalu yang ini?” tunjuk Maula ke mayat yang tak jauh dari gambar si wanita.

“Baba,” jawabnya singkat. Ayahnya. Maula menahan napas.

Samer kemudian menggambar dirinya sendiri berdiri di atas rumah yang hancur. Lagi-lagi Maula memegangi dadanya, untuk anak seusia Sameer, harusnya dia bukan menggambar hal menyedihkan itu.

Di sudut ruangan, Sofia menemani dua gadis kecil yang menggambar masjid al-Aqsa. Warna kuning pada kubah dipoles hati-hati. Salah satu dari mereka, Rima, 10 tahun, lalu berkata, “Orang Israel bilang aku bukan siapa-siapa. Tapi Ummy bilang, aku anak yang akan membawa negaraku pada kemerdekaan, aku masih punya Allah. Tuhan tahu semua yang mereka ambil dariku.”

Sofia tersenyum lirih, tapi hatinya runtuh. Seakan dia ingat dirinya yang dulu, kebahagiaan yang telah direnggut para zionis darinya. Masa kecil yang seharusnya berjalan mulus namun harus berakhir menyedihkan.

Salah satu gambar paling menyayat datang dari seorang anak perempuan bernama Mariam, yang menggambar dirinya di dalam kandang. Di luar kandang itu ada seekor burung.

“Kenapa kamu di kandang?” tanya Maula.

Mariam menoleh perlahan, lalu berkata, “Karena yang bebas hanyalah burung. Aku tinggal di Hebron, ini sudah biasa bagi kami.”

Maula menyadari satu hal, sesuatu yang dia miliki adalah anugerah terbaik. Kebebasan yang dia anggap tak berarti, nyatanya adalah hal yang begitu diharapkan dan diimpikan oleh mereka yang ada di sana.

Setelah kelas selesai, Sofia dan Maula membantu guru menyalin materi dari papan ke salinan kertas. Listrik sempat padam tiga kali. Ketika azan dzuhur berkumandang, sebagian anak langsung pulang melewati pos penjagaan di ujung jalan, tempat tentara berdiri dengan senapan terbuka.

Para penjaga seakan mengawasi gerak-gerik anak-anak yang padahal tidak membahayakan sama sekali.

Maula dan Sofia menunggu lebih lama. Mereka duduk bersama Hadeel, sang guru.

“Aku belajar filsafat di Birzeit,” kata Hadeel. “Tapi aku memilih jadi guru TK. Karena aku tahu kebebasan tidak bisa diajarkan lewat teori. Ia harus ditanamkan sejak kecil. Mengembangkan imajinasi anak-anak sudah lebih dari cukup bagi anak-anak di bumi Palestina ini.”

“Apakah kamu pernah merasa takut?” tanya Sofia.

“Setiap hari. Tapi ketakutan itu berubah. Dulu aku takut ditembak. Sekarang aku takut anak-anak ini kehilangan harapan. Hanya mereka yang akan membawa dunia pada perubahan, imajinasi yang tertanam dalam diri mereka membuat semangat membara dalam hati mereka untuk terus berjuang demi tanah mereka sendiri.”

“Kenapa kalian tidak pernah terpikir untuk keluar dari negara ini?” tanya Maula. Hadeel hanya tersenyum lalu menjawab dengan lembut.

“Mau ke mana? Pergi meninggalkan negara dan tanah kami sendiri? Mencintai tanah air sebagian dari iman, kami telah menapaki tanah surga, kami hanya akan pergi ke hadapan Allah saja setelah ini. Di luar sana iman terus diuji dengan berbagai godaan yang terlihat nikmat, terbungkus dengan rapi dengan sampul kesenangan. Tapi isinya hanyalah neraka dan kekejian, sementara di sini, kami dibungkus oleh penderitaan dan ancaman dan semoga saja isinya adalah keberkahan dari Allah.” Sofia menunduk, begitu juga dengan Maula yang tertunduk malu, dia merasa dirinya begitu banyak kekurangan setelah berbaur dengan orang-orang di sana.

...***...

Di penginapan malam itu, Maula menulis lebih lama dari biasanya. Ia tak bisa berhenti mengingat wajah Mariam, Samer, Rima serta apa yang mereka gambar hari ini.

[Aku lahir di dunia yang diajarkan bahwa penderitaan bisa dijelaskan dan kesenangan bisa diraih dengan mudah. Aku tumbuh dengan menyiksa dan menghabisi nyawa dengan mudah bahkan tanpa bebas. Tapi di sini, aku belajar bahwa ada penderitaan yang tidak bisa dijelaskan. Ada nyawa yang tak mudah untuk diselamatkan. Hanya bisa disaksikan lalu dikenang dan diperjuangkan. Itu pun jika mampu bertahan dari ledakan dan hujan api yang datang secara berkala.]

Sofia duduk di sebelahnya. Mereka tak banyak bicara. Hanya diam, mendengar suara lantunan azan dan desau angin yang membawa rasa kehilangan begitu dalam dari tanah yang dilupakan oleh dunia.

Dan di tengah keheningan itu, Maula tahu bahwa ia telah menginjak tanah suci, bukan karena sejarahnya, tapi karena luka yang terus menyala tanpa dimengerti oleh dunia.

...***...

Hari kelima di Hebron, Maula merasa tubuhnya mulai terbiasa dengan ritme kota yang tak pernah benar-benar tenang. Tapi jiwanya justru merasakan hal sebaliknya.

Semakin hari, semakin terkoyak oleh cerita-cerita yang tak masuk akal di kepala Eropa yang rasional.

Pagi itu, Sofia dan Maula ikut rombongan kecil relawan mengunjungi sebuah rumah yang baru saja diambil alih secara paksa oleh pemukim Israel.

Rumah itu milik keluarga Al-Kurd, tiga generasi tinggal di sana. Letaknya hanya dua blok dari klinik tempat mereka biasa bertugas.

Ketika mereka tiba, rumah itu sudah separuh kosong. Lemari dikeluarkan dan jendela dijebol.

Di dinding luar, tulisan berbahasa Ibrani dicoret dengan semprotan merah: “Tanah ini milik kami sejak Abraham.”

Seorang pria tua duduk di depan pintu. Namanya Abu Ziad dengan tangannya yang gemetar, tapi matanya tidak. Di pangkuannya adalah seorang cucu kecil yang menangis pelan seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Tatapan anak itu jelas menorehkan luka mendalam.

Rombongan Maula mendekat, Sofia memangku anak kecil itu dan mereka mulai menanyakan kondisi pada Abu Ziad.

“Saya lahir di rumah ini,” katanya dalam bahasa Arab yang diterjemahkan ke bahasa inggris oleh relawan lokal. “Ayah saya juga. Kami punya surat tanah dari tahun 1948. Tapi kemarin mereka datang dengan kertas baru dan tentara. Dalam satu jam, rumah ini bukan milik kami lagi.” Pandangan Abu Ziad penuh kekecewaan dan kehampaan, dia harus keluar dari rumahnya sendiri. Seolah surat dan sertifikat tak ada gunanya.

Maula melihat ke dalam rumah itu. Foto keluarga tergantung miring di dinding. Mainan anak-anak berserakan di lantai. Dan di sudut ruangan, kasur masih terlipat rapi seakan tubuh yang biasa tidur di atasnya belum sempat bangun.

“Kenapa tidak dilawan di pengadilan?” tanya Maula, meski pertanyaan itu terasa konyol.

“Kami tidak diakui di pengadilan Israel,” jawab Abu Ziad. “Kami ilegal di tanah tempat kami lahir. Bukankah itu keadilan yang tidak kami dapatkan di dunia fana ini? Tidak ada yang bisa memberi keadilan pada kami, termasuk dunia.” Maula memejamkan matanya, sakit dan ingin dia menghabisi zionis tapi apa daya? Dia datang sebagai relawan, bukan mau perang.

Sore itu mereka mendatangi kawasan Shuhada Street, jalan utama di Hebron yang ditutup total untuk warga Palestina sejak Intifada kedua. Di sana, toko-toko ditutup paksa dan jendela dibarikade.

Dan yang paling menghantam jiwa adalah jalan itu tampak sepi, bersih, steril karena orang Palestina dilarang melintasi bahkan berjalan di atasnya.

Bayangkan saja, kita asing dan terlarang di atas tanah air sendiri.

“Dulu aku jalan ke sekolah lewat sini,” kata Hadeel yang ikut bersama mereka. “Sekarang aku harus memutar dua kilometer. Karena aku bukan Yahudi. Ini sangat lucu.” Hadeel terkekeh kecil, yang mana Maula tahu bahwa kepedihan mendalam tersirat di kekehannya.

Maula menatap jalan yang kosong itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sesuatu dalam dirinya pecah. Seperti kaca retak yang selama ini menahan ledakan logika.

Sofia menggenggam tangannya diam-diam. Mereka berdiri di ujung jalan yang dulu hidup, kini dibekukan oleh aturan sepihak. Kamera pengawas mengintai dari tiap sudut dan dari balkon atas, terlihat pemukim muda duduk sambil memegang senapan.

Siap melepaskan peluru jika ada yang berani membantah.

Malamnya, Maula tak menulis apa pun di buku catatan. Ia hanya menempelkan foto kecil yang ia ambil diam-diam dari rumah keluarga Al-Kurd, seorang anak perempuan berdiri di ambang pintu yang telah dicopot, menggenggam boneka yang tinggal satu matanya.

Dan di bawah foto itu, Maula menulis satu kalimat :

[Tanah ini adalah bentuk perebutan paksa dari keserakahan mereka yang di mata dunia adalah pahlawan. Ini merupakan pencurian terbesar yang pernah ada, bodohnya, dunia malah mengakui kebijakan keji ini dan menganggapnya kehebatan]

Sebelum tidur, Sofia berkata pelan, “Aku sudah sering melihat ini. Tapi rasanya tetap seperti pertama kali.”

Maula menoleh. “Apakah dunia tahu semua ini?”

Sofia diam sejenak. Lalu menjawab, “Dunia tahu. Tapi dunia memilih untuk lupa.”

Mereka tadi sempat bermain bersama dengan anak-anak di sekolah lalu mengabadikan momen, membuat dokumentasi bahwa kemanusiaan jauh dari perlindungan di tempat ini. Ke mana HAM?

...•••Bersambung•••...

...----------------...

...----------------...

1
Radella
good
Syaqilla
awesome
Naxed2448
👍
Dewi Dejiya
awesome
Dinda Kirana
Awesome
Khadijah Jaelani
amazing
Iguana Scrub
luar biasa
adi_nata
motor itu kenapa tiba tiba ada ? sudah ada di rumah itu sebelumnya atau diantar seseorang ?
adi_nata: ya .. mungkin memang imajinasiku yang terbatas jadi terkadang agak bingung menangkap alur cerita. cuma bisa fokus pada satu titik keterangan.
🌺Shella BTS🌺: Oh ya beda pandangan ya, tapi kalo dri segi alur sih, mereka kan beberes di rumah dulu dan Rayden sempat bilang kalo rumahnya deket. Jadi ke supermarket ya pake kendaraan Rayden, deket lah bolak balik ke rumah dia 😁
total 6 replies
Khaira Delisya
ada lanjutannya gak Thor🥹🥹
Vebi Gusriyeni: Ada kakak, judulnya SENORITA PERDIDA
total 1 replies
adi_nata
lha dianya sendiri juga biadab.
Vebi Gusriyeni: Namanya juga psikopat
total 1 replies
adi_nata
seorang gadis belia bisa melalukan tindakan brutal semacam ini. luka seperti apa yang mendorongnya ?
adi_nata: oke siap author Vebi
Vebi Gusriyeni: Hehe aman, ntar baca aja dari awal biar gak bingung ya ☺ btw nanti kalo ada salah alur atau kekeliruan di tengah cerita bisa kasih respon dan saran, ntar aku perbaiki. Makasih udah kasih dukungannya ☺☺
total 4 replies
Yuyun Asrifani
Suka🥰
Bunda Rian Putra
terbaik
Ukhty Hawa
Baca dari season 1 sampai ke series ini benar2 menghayati, terbawa suasana hingga susah move on dari tokohnya 👍
Cherry Clode
good
Miami Zena
Awesome
Sader Krena
Amazing
Inay Inayah
keren
Flo Teris
awesome
Alya Nurhidayat
Best
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!