Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
Sancha menggenggam cek itu erat, matanya merah membara. Rasa sakit di tubuhnya kalah dibanding luka yang mengoyak harga dirinya. 6.145 dolar—jumlah uang yang mungkin bisa menyelamatkan ayahnya, tapi juga simbol penghinaan yang tak bisa ia lupakan.
Ia melangkah ke arah pintu, tapi sebelum benar-benar keluar, ia menoleh sebentar.
“Untuk itu…” katanya dengan suara bergetar namun tegas,
“kau tak perlu mengaturku, Tuan Alaska yang terhormat. Uang ini akan aku gunakan untuk menyelamatkan nyawa. Tapi kehormatanku… tidak bisa kau beli.”
Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik yang dingin.
Gedung Mahkota.
Sancha keluar dengan langkah cepat. Rambutnya acak-acakan, pipinya masih basah, dan napasnya memburu. Beberapa karyawan melirik—ada yang kasihan, ada yang pura-pura tak melihat.
Tapi Sancha tak peduli.
Ia menaiki taksi tua di luar gedung, memegang cek itu seperti benda beracun. Tangannya gemetar, namun di mata Sancha, tampak ada sesuatu yang berbeda sekarang: nyala perlawanan.
Ruangan Kerja Alaska Alchui Mahendra.
Alaska berdiri di balik jendela tinggi. Tatapannya kosong, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal, tubuhnya tegap—tapi batinnya… kacau.
“apa yang telah aku lakukan kepada wanita itu,tapi itu adalah hukuman untuk nya,karena telah berani mencoba menjebak seorang Alaska.”
Alaska menarik napas dalam, tapi hanya menemukan kekosongan. Tangannya meraih gelas wiski yang belum disentuh, lalu melemparkannya ke dinding.
BRAKKK!
Pecahan kaca berhamburan.
Ali, tangan kanan Alaska, masuk terburu-buru dengan laporan.
“Tuan, saya baru dapat info dari jaringan kita obat yang tadi… itu bukan milik kita. Ada pihak luar yang menyelundupkannya ke minuman Anda.”
Alaska menoleh cepat.
“Selidiki,bawa dia ke ruangan bawah tanah…!”
Ali mengangguk serius.”siap tuan,saya akan mendapatkan siapa yang berani bermain dengan anda.”
Mata Alaska memicing. Namun bukan karena marah—melainkan karena bingung. Ia membayangkan mata Sancha… air matanya… suaranya yang memohon… dan caranya pergi dengan kepala tegak.
Dan kini… Alaska tak tahu lagi siapa yang patut ia percayai.
kamar Kecil Sancha..(Malam Hari setelah kejadian yang menimpa dirinya.)
Sancha duduk di lantai sempit. Ia menatap cek yang kini terlipat dan basah oleh air mata. Di sebelahnya, sebuah foto ayahnya—terbaring di rumah sakit dengan selang infus.
“Aku membayar harga terlalu mahal untuk bertahan…” bisiknya.
Ia memeluk lututnya, lalu bertekad.
“Tapi aku akan hidup. Aku akan selamat. Dan suatu hari nanti… pria itu akan melihat siapa sebenarnya aku.”
malam itu,Sancha berencana pergi meninggalkan Canada dan akan pergi ke pelosok yang tidak ada jaringan mencari dirinya,dan ia sudah berdiskusi dengan sahabat karib nya Meka.
Meka memiliki rumah tua namun masih bagus di luar kota Canada,New York,Sancha akan tinggal disana,ia bertekad tidak akan kembali,setalah ia menyelesaikan semua nya di Canada,mencukupi masalah ayah nya,memindahkan ayah nya ke panti orang tua untuk sementara waktu,supaya sinta tidak mengetahui nya dan berbuat jahat lagi.
MALAM TERAKHIR DI CANADA – APARTEMEN SEDERHANA
Sancha menatap koper kecil di hadapannya. Isinya hanya pakaian secukupnya, beberapa dokumen penting, dan foto ayahnya yang selalu ia simpan di dompet. Ia menghela napas panjang, seolah sedang mengucapkan selamat tinggal pada versi dirinya yang lama—gadis yang pernah menangis diam-diam, yang pernah dijatuhkan, tapi tak pernah dibiarkan hancur sepenuhnya.
Di sampingnya, Meka, sahabat karibnya, memasukkan alamat dan nama samaran ke tiket bus antarkota yang akan membawa Sancha ke New York.
“Semua sudah kuatur. Di sana, kau bisa mulai lagi. Tak ada yang akan mencarimu di rumah tua itu.”
Sancha menatap Meka, matanya merah. “Terima kasih… aku nggak tahu bagaimana hidupku kalau nggak ada kamu.”
Meka tersenyum pahit. “Aku cuma melakukan apa yang sahabat sejati lakukan. Kau pantas punya kesempatan kedua.”
rumah sakit,malam yang sama.
Sancha berdiri di samping tempat tidur ayahnya yang sedang tertidur tenang. Selang infus masih terpasang, tapi wajahnya tampak lebih baik dari sebelumnya. Ia baru saja menyelesaikan proses administrasi untuk memindahkan ayahnya ke panti perawatan lansia yang aman dan bersertifikasi.
“Aku titipkan Papa dulu ya… di tempat yang tak bisa dijangkau Sinta.” bisiknya sambil membelai tangan ayahnya dengan lembut.
Ia menatap ayahnya dengan senyum getir, lalu menambahkan dalam hati:
“Aku akan kembali saat aku sudah cukup kuat untuk membawamu pergi dari semua ini selamanya.”
Stasiun Antar Kota.
Angin malam menusuk kulit. Sancha mengenakan hoodie gelap dan topi untuk menyembunyikan wajahnya. Ia memeluk koper kecilnya erat-erat, berdiri di antara penumpang lain yang tak mengenalnya.
Meka berdiri di kejauhan, mengawasi sambil menahan air mata.
Sebuah bus dengan tujuan “New York – Utara” tiba perlahan. Lampu remnya menyinari wajah Sancha.
Sebelum naik, Sancha menoleh sekali lagi pada Meka. Tak ada kata perpisahan. Hanya anggukan singkat… dan senyuman kecil penuh makna.
Pagi Indah Di New York.
Sebuah rumah kayu tua berdiri tenang di antara pepohonan. Kabut pagi menggantung rendah. Tak ada suara kendaraan. Hanya burung dan desir angin.
Pintu terbuka perlahan.
Sancha masuk ke rumah itu. Sunyi. Aman. Jauh dari dosa dan luka.
Ia berdiri di tengah ruang tamu. Lalu tersenyum kecil.
“aku masih hidup…” bisiknya. “Dan Ini Awal Baru untuk seorang Sancha Mawalni Argarit.”
Rumah Sinta – MALAM HARI
Braaakk!!
Vas bunga antik pecah menghantam dinding.
Sinta, dengan gaun mewah dan rambut acak-acakan, berdiri di tengah ruang tamu yang porak-poranda. Napasnya memburu. Matanya membara. Tangan kanannya memegang secarik kertas—salinan bukti transaksi bahwa Sancha mencairkan cek dari Alaska.
“Berani sekali anak jalang itu membawa kabur uangku!!” raungnya.
Asisten rumah tangga hanya bisa berdiri membeku di sudut ruangan, takut jika menjadi sasaran berikutnya.
“Sudah kubentuk dia seperti boneka, dan sekarang dia melawan?! Meninggalkan negara ini?!”
Sinta menghempaskan semua dokumen ke lantai. Ia menghampiri meja kaca dan membuka laci tersembunyi. Di dalamnya ada satu benda kecil: ponsel khusus dengan satu kontak rahasia.
Ia menekan nomor itu. Suaranya berubah dingin, seperti es yang melelehkan kesabaran.
“Cari dia. Gadis bernama Sancha. Terakhir terlihat di Canada. Gunakan semua sumber daya kita. Periksa semua rumah sakit, bandara, bahkan penginapan kecil. Aku tak peduli berapa biayanya—aku ingin dia kembali padaku. Hidup… atau remuk.”
Telepon ditutup.
Sinta duduk di kursi tinggi, menyalakan rokok dengan tangan yang masih gemetar.
“Kalau aku tak bisa menjualnya ke Alaska… maka aku akan menjual dendamku.”
Senyumnya perlahan muncul… senyum mengerikan dari seorang wanita yang merasa kehilangan kendali atas boneka yang dulu ia atur seperti mainan.
AGEN RAHASIA SINTA BERGERAK
Beberapa pria berpakaian hitam mulai menyebar ke berbagai sudut kota. Mereka membawa foto Sancha, berpura-pura menjadi turis, sopir taksi, teknisi, bahkan penjaga hotel.
Mereka menanyakan satu pertanyaan:
“Apakah kalian pernah melihat gadis ini?”