Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Beberapa menit kemudian, terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Tak lama, bel pintu berbunyi.
Puri yang sejak tadi duduk gelisah di kursi tamu langsung berdiri.
Jantungnya berdetak cepat. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.
Di sana berdiri Karan, mengenakan kemeja rapi. Wajahnya tampak gugup namun berusaha tenang.
"Hai, Pur," sapanya pelan.
Puri hanya mengangguk dan memberi jalan. "Masuk, Mas."
Begitu Karan melangkah masuk, ia langsung melihat Mama yang sudah duduk di ruang tamu. Tatapan Mama tenang, namun penuh wibawa.
"Karan, silakan duduk," kata Mama dengan suara datar namun sopan.
Karan mengangguk sopan dan duduk di sofa seberang Mama.
Puri duduk di samping, tak berani berkata banyak.
Suasana hening sesaat sebelum Mama membuka pembicaraan.
Mama menatap Karan dengan tenang, tapi tatapannya tajam, seolah ingin melihat isi hati pemuda di depannya.
"Karan," ujar Mama, suaranya tenang namun tegas,
"Kamu tahu kenapa Mama minta kamu datang ke sini, kan?"
Karan mengangguk pelan. "Iya, Bu. Saya tahu."
Mama menyilangkan tangannya di pangkuan. "Mama nggak mau mempersulit.
Tapi Mama seorang ibu, dan Mama harus memastikan anak Mama nggak masuk ke dalam hubungan yang penuh risiko. Kamu dan Puri beda keyakinan. Itu bukan hal sepele."
Karan menunduk sejenak, lalu menatap Mama dengan mantap.
"Saya mengerti, Bu. Dan saya nggak main-main dengan hubungan ini. Saya sungguh mencintai Puri."
Mama mengangguk kecil, lalu bertanya dengan nada lebih serius, "Tapi apakah kamu siap dengan konsekuensinya? Apakah kamu pernah berpikir untuk pindah agama? Mama nggak bisa restui hubungan ini kalau kamu masih di keyakinan yang berbeda."
Karan terdiam. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ia menjawab jujur.
"Saya sudah berpikir panjang, Bu. Dan saya... siap mempelajari Islam lebih dalam. Bukan karena terpaksa, tapi karena saya ingin. Untuk Puri, dan untuk masa depan kami."
Mama tak langsung menjawab. Ia menatap Karan dalam diam, lalu menoleh ke Puri yang juga menahan napas.
"Kalau begitu, Mama ingin kamu buktikan. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Bicaralah dengan keluargamu juga. Ini bukan hanya soal kamu dan Puri," ujar Mama akhirnya.
Karan mengangguk mantap. "Baik, Bu. Saya akan buktikan keseriusan saya."
Karan dan Puri saling pandang dan Puri meminta Karan untuk mengatakan yang sebenarnya.
Setelah percakapan itu, suasana sempat hening. Karan dan Puri saling pandang, seolah ada sesuatu yang belum tersampaikan.
Mata mereka bicara, saling menyampaikan kegelisahan yang tertahan sejak lama.
Melihat itu, Mama mengerutkan dahi. "Kenapa kalian saling pandang seperti itu? Ada sesuatu yang ingin kalian bicarakan?"
Puri menggigit bibirnya, lalu menatap Karan penuh harap dan ketakutan.
"Mas... bilang aja sekarang. Jangan ditunda lagi."
Karan menarik napas panjang. Ia menunduk sejenak, lalu menatap Mama dengan wajah serius.
"Bu... saya ingin jujur. Saya akan bertanggung jawab atas semua yang telah saya lakukan," ucapnya dengan suara berat.
Mama menyipitkan mata, merasa ada yang janggal.
"Maksud kamu apa, Karan?"
Karan menelan ludah, lalu berkata dengan pelan tapi tegas, "Saat ini... Puri sedang hamil, Bu."
Ruangan itu langsung sunyi. Seolah waktu berhenti sejenak.
Mama menatap Puri dengan wajah pucat dan penuh keterkejutan.
"Puri... benar itu?" tanyanya dengan suara bergetar.
Puri tak mampu menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.
Mama menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan gejolak di dadanya. Ia tak percaya apa yang baru saja didengarnya.
Mama menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca, tapi matanya kini dipenuhi amarah dan kekecewaan.
"Astaghfirullah... Puri!" serunya dengan suara bergetar.
"Kamu bukan cuma salah... kamu sudah melakukan zina!"
Puri menangis semakin keras. "Ma... Maafkan Puri, Ma. Puri salah... Puri benar-benar menyesal."
Mama berdiri dari duduknya, tubuhnya gemetar. "Dan kamu... kamu melakukan ini dengan laki-laki yang bahkan bukan seiman!" serunya, menunjuk ke arah Karan.
Karan tertunduk, wajahnya diliputi rasa bersalah.
"Bu, saya akan bertanggung jawab. Saya benar-benar akan menikahi Puri dan—"
"Tanggung jawab?!" potong Mama dengan suara tinggi.
"Kamu pikir dengan menikahi anak Mama semua akan selesai?!"
Tiba-tiba Mama memegangi dadanya. Napasnya memburu. Wajahnya tampak pucat, dan tubuhnya mulai limbung.
"Ma? Ma!!" teriak Puri panik, melihat Mama kehilangan keseimbangan.
Dalam sekejap, Mama ambruk ke lantai.
"MA!!"
Puri langsung berlutut di samping tubuh Mama, mengguncangnya panik.
"Ma! Bangun Ma! Mas, tolong!!"
Karan langsung mengeluarkan ponselnya. "Kita harus bawa Ibu ke rumah sakit sekarang!"
Suara sirine ambulans meraung membelah malam. Di dalamnya, Karan duduk sambil memegangi tangan Mama yang tak sadarkan diri, sementara Puri menggenggam erat tangan satunya, air matanya terus mengalir tanpa henti.
Sesampainya di rumah sakit, Mama langsung dilarikan ke ruang UGD.
Seorang perawat meminta Puri dan Karan menunggu di luar.
"Dok, tolong selamatkan Mama saya..." isak Puri sambil memegang dada, tubuhnya gemetar.
Karan merangkul Puri dengan penuh kecemasan.
"Tenang, Pur. Mama pasti kuat. Kita tunggu kabar dari dokter."
Waktu terasa berjalan lambat. Setiap menit seperti satu jam.
Puri mondar-mandir di depan ruang IGD, wajahnya pucat dan matanya sembab.
Beberapa waktu kemudian, pintu ruang IGD terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius.
"Keluarga pasien?" tanyanya.
Puri dan Karan langsung mendekat. "Iya, Dok. Saya anaknya. Bagaimana kondisi Mama saya?"
Dokter mengangguk pelan. "Beliau mengalami serangan jantung ringan karena stres berat. Saat ini kondisinya stabil, tapi kami sarankan agar beliau benar-benar istirahat total dan tidak mengalami tekanan emosional dalam waktu dekat."
Puri mengangguk cepat, air matanya kembali menetes.
"Boleh saya lihat Mama sekarang?"
"Satu orang saja dulu, ya," ujar dokter.
Puri masuk ke ruang perawatan perlahan. Ia melihat Mama terbaring lemah, dengan selang infus di tangan. Matanya terbuka sedikit, tampak lelah.
"Ma..." bisik Puri sambil mendekat dan menggenggam tangan ibunya.
"Maafkan Puri, Ma... Maafkan semua kebodohan Puri."
Mama menatap putrinya lama. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tak berkata apa-apa. Hanya air mata yang perlahan mengalir di pipinya.
Mama menatap wajah putrinya yang penuh penyesalan. Dengan suara lemah, ia berusaha bicara.
"Pur..." katanya pelan, "Mama nggak mau kamu dan anak ini hidup dalam aib... Karan harus menikahimu secepatnya."
Puri terkejut, matanya membesar. "Ma...?"
Mama melirik ke arah pintu, lalu kembali menatap Puri.
"Tapi satu syarat Mama... Karan harus masuk Islam. Dan dia harus minta izin ke Mamanya sendiri. Jangan sampai nanti kamu jadi istri yang ditolak keluarga suami..."
Air mata kembali mengalir di pipi Puri. Ia menggenggam tangan Mama erat.
"Ma... jangan bicara seperti itu. Mama pasti sembuh... Mama nggak boleh mikir yang berat-berat."
Mama menggeleng lemah, lalu menatap Puri dengan pandangan penuh kasih.
"Jangan kecewakan Mama lagi, Nak. Mama mohon... Ini jalan satu-satunya yang bisa menyelamatkan kehormatan kita."
Puri menangis terisak. "Ma... Puri yang harusnya minta maaf. Puri yang sudah kecewakan Mama... Puri janji akan bertanggung jawab. Akan melakukan semuanya."
Mama mengangguk kecil. "Sampaikan ini ke Karan. Kalau dia benar-benar mencintaimu... dia akan melakukan semua itu."