Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
10
Sore hari, di teras rumah Dini yang sejuk, dikelilingi benang dan alat tenun (selain menjaga warung sembako Dini seorang pengrajin). Dini sedang sibuk menganyam tas kerajinan, dan Kania duduk di sebelahnya, membantu mengurai benang.
Kania sudah tidak bisa menahan rasa senang nya lagi. Ia memulai dengan membahas hal hal yang berubah dalam dirinya. Tersenyum sambil memilin benang Kania berkata ‘’Dini, kamu tahu kan, beberapa minggu lalu aku hanya berpikir tentang pekerjaan dan bagaimana caranya aku bisa sembuh dari depresi yang kuderita?”
‘’Tentu’’ jawab Dini. ‘’Tapi sekarang kamu terlihat jauh lebih baik, wajahmu sudah tidak tegang lagi. Itu semua karena angin pegunungan, kan?”
‘’Bukan hanya angin, Dini. Ada..Bara.’’
Dini menghentikan pekerjaannya. Matanya membesar, tetapi tidak terlalu terkejut. ‘’Akhirnya! Astaga, mbak Kania! Kamu kira aku ini buta? Sejak kamu mulai sering lari pagi dan langsung nongkrong di kedai dengan alasan ‘wifi, kerja’, aku sudah tahu. Apalagi Bara! Dia sekarang senyumnya lebih sering dari suaranya!”
Kania tertawa malu. ‘’Kami…kami sudah dekat. Akhir akhir ini. Kemarin malam, kami..’’
Dini menepuk bahu Kania penuh semangat. ‘’Tidak usah dijelaskan, mbak Kania! Matamu sudah bercerita segalanya! Aku sudah bilang, Bara itu pria yang paling baik di desa ini. Dia dingin dan datar, tapi kalau dia sudah memilih, dia itu sudah seperti pohon kopi—akarnya kuat sekali.’’
Dini lalu memberikan sebuah nasihat pada Kania. ‘’Dengar ya mbak tips dariku ; jangan pernah paksa Bara untuk bicara cepat. Dia butuh waktu untuk merangkai kata. Kalau dia diam, itu bukan berarti dia tidak peduli. Itu artinya dia sedang memikirkan kata yang paling tepat.’’
Kania merasa lega setelah menceritakannya. Ia memeluk Dini sebentar. ‘’Terima kasih, Dini. Aku takut aku salah langkah. Aku takut aku terlalu asing di sini.’’
‘’Kamu tidak asing mbak Kania. Kamu hanya perlu waktu untuk membersihkan debu kotamu. Dan mas Bara, dia butuh kamu untuk menujukkan padanya bahwa hidup ini tidak selalu harus tentang tanggung jawab, tapi juga tentang kebahagiaan sederhana.’’
Dini kembali ke tenunannya, tetapi senyumnya tak hilang. Ia berbisik ‘’Selamat ya mbak Kania. Sekarang, ayo, bantu aku mengurai benang ini. Tugasmu sekarang adalah mengurai kebahagiaan yang kusut.’’
Kania tertawa, hatinya penuh dengan rasa aman dan gembira.
Kania berjalan pulang dengan perasaan gembira setelah berbagi kabar dengan Dini. Dijalan setapak berbatu yang teduh, tak jauh dari rumah Dini, Kania, melihat Laras berjalan dari arah berlawanan. Laras mengenakan pakaian yang rapi dan membawa beberapa buku—ia pasti baru selesai mengajar atau urusan desa. Laras tidak menghindar, bahkan sedikit melambat, memastikan mereka akan berbicara.
‘’Hai, Kania. Kebetulan sekali bertemu di sini. Dari rumah Dini, ya?”
Kania tersenyum ramah, kini lebih percaya diri. ‘’Halo, mbak Laras. Iya, tadi mampir sebentar. Dini sedang sibuk menganyam.’’
‘’Wajahmu terlihat bersinar sekali, ada berita baik, ya?”
Kania tersenyum, tidak berusaha menyembunyikan kebahagiaannya. ‘’Iya, mbak, aku senang berada di sini, rasanya…’’
‘’Rasanya damai? Aku tahu. Desa ini memang memberikannya. Apalagi kalau ada seseorang yang menjaga kedamaianmu.’’
Laras tidak tersenyum. Ia menatap Kania dengan tatapan tajam, langsung menusuk inti masalah. ‘’Aku dengar kamu sudah merasa nyaman di kedai Bara. Kamu bahkan sudah menjadi bagian dari rutinitas paginya. Itu cepat sekali, Kania. Cepat sekali untuk seseorang yang bilang dia hanya ‘singgah’ dan ‘sedang penyembuhan’.’’
Kania merasa sentuhan cemburu dalam suara Laras. ‘’Aku tidak mengira akan selama ini. Aku juga tidak mengira…’’
Laras memotong dengan nada tajam. ‘’Aku mengerti. Tapi, coba pikirkan ini, Kania. Kamu mencari kedamaian dan kamu menemukannya di sini. Tapi Bara sudah bekerja keras seumur hidupnya untuk membangun kedamaian ini. Dia bukan fasilitas penyembuhanmu. Dia bukan objek yang bisa kamu nikahi, lalu kamu tinggalkan saat kamu sudah sembuh.’’
Laras menunjukkan betapa ia lebih mengenal Bara, dan betapa Kania telah dengan mudah mendapatkan hati Bara yang ia impikan.
‘’Bara tidak suka ketidakpastian, Kania. Dia butuh akar di sini. Aku tidak cemburu pada perhatiannya, aku cemburu pada kenyamanan yang ia berikan padamu. Kenyamanan yang kubangun dengannya selama bertahun tahun sebagai sahabat, tapi tidak pernah bisa kubuat menjadi cinta.’’
Kania merasa terluka, tetapi mempertahankan harga dirinya. ‘’Aku menghargai Bara, mbak Laras. Lebih dari apapun. Aku tidak berencana meninggalkannya. Aku berencana untuk mencoba membangun hidupku di sini.’’
Laras memberikan peringatan terakhir, yang merupakan bentuk paling jelas dari rasa cemburunya.
‘’Coba buktikan itu. Cinta di desa bukan tentang kencan yang romantis atau senja yang indah. Cinta di sini adalah tentang lumpur, musim kemarau, dan hasil panen yang gagal. Itu adalah kenyataan, Kania. Jangan campurkan liburanmu dengan hidupnya. Karena kalau kamu pergi, dia tidak akan hanya patah hati. Dia akan kehilangan ritme hidupnya.’’
Laras mengangguk singkat, ekspresinya dingin, dan berjalan melewati Kania. Kania berdiri di jalan setapak, kebahagiaannya sedikit teredam. Laras berhasil menanamkan benih keraguan. Apakah kebahagiaanku akan menjadi kehancurannya? Pertanyaan itu menghantuinya dan menjadi konflik internal utama pada Kania.
Setelah Kania kembali ke rumah kakeknya, yang kini terasa sunyi dan dingin setelah kegembiraan yang ia rasakan di rumah Dini. Kania sedang duduk di teras, tempat ia biasa menikmati senja dan mengerjakan pekerjaan freelance-nya. Matahari sudah mulai turun, tetapi Kania tidak merasakan kedamaian. Kata kata Laras berulang kali terdengar di benaknya.
Otak Kania memutar setiap perkataan Laras Jangan campurkan liburanmu dengan hidupnya.
Kania bertanya ‘’Apakah aku hanya sedang berlibur? Apakah aku hanya memanfaatkan Bara dan desa ini untuk menyembuhkan-ku? Begitu aku sembuh, apakah aku akan pergi dan meninggalkan kekacauan emosional di sini?”
‘’Cinta disini adalah tentang lumpur, musim kemarau, dan hasil panen yang gagal’’
Kania berpikir. ‘’Apakah aku siap untuk berjuang? Apakah aku bisa menjadi partner Bara yang tangguh, atau aku akan menjadi beban yang rapuh?”
Kegalauan terbesar Kania adalah menyadari bahwa Bara memiliki akar yang dalam. Bara tidak bisa meninggalkan desanya; seluruh hidupnya, identitasnya, dan warisan kakeknya ada di tanah itu.
Menurut Kania, jika ia memilih Bara, ia harus menciptakan akarnya sendiri—ia harus menemukan alasan untuk tinggal yang tidak bergantung pada Bara. Jika dia pergi, dia hanya akan kembali ke kekacauan yang sama.
Kania menyadari bahwa untuk membuktikan Laras salah, dan yang lebih penting, untuk membuktikan dirinya sendiri, ia harus berhenti menjadi pelaku penyembuhan dan menjadi penghuni sejati.
Kania harus menemukan caranya sendiri untuk berkontribusi pada desa, sesuatu yang berasal dari keahliannya dan bukan hanya dengan membantu memotong sayuran atau mengurai benang. Ia harus menciptakan pekerjaan yang mengikatnya pada tanah itu, sama seperti Bara yang terikat pada kebun kopi.
Kania tahu harus melakukan sesuatu yang sangat berani, mengambil resiko kegagalan, dan menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya di sini bukan untuk liburan, melainkan akar yang baru di tanam.
Bara baru selesai dengan rutinitasnya di kebun. Bara berjalan di jalan setapak, debu Tanah Merah sedikit menempel di celana jeans-nya. Ia berjalan menuju rumahnya, tetapi matanya secara alami melirik kerumah kakek Tirta, tempat Kania tinggal.
Bara melihat Kania yang sedang duduk di teras. Ia tidak membaca, tidak memainkan ponselnya, dan tidak juga bekerja, dan tidak tersenyum. Ia hanya duduk diam, memeluk lututnya, menatap kosong ke arah petak sawah yang kini memantulkan warna senja. Kania terlihat rapuh, dan Bara segera tahu bahwa keheningan Kania hari ini adalah jenis keheningan yang mengkhawatirkan, bukan menenangkan.
Bara mengubah arah. Ia tahu Kania sedang ada masalah, dan Bara tidak suka melihat Kania tertekan, apalagi setelah ia melihatnya mulai menemukan kebahagiaan.
Bara mampir sebentar ke dapur kedai untuk mengambil sesuatu. Ketika ia tiba di teras ruma Kania, ia tidak langsung duduk.
Dengan suara rendahnya Bara menyapa. ‘’Kania. Kenapa duduk di sini, sudah hampir gelap? Lampunya belum menyala.’’
Kania tersentak, mendongak.. ‘’Mas Bara! Aku…aku tidak sadar sudah hampir gelap. Kamu baru pulang, mas?”
Bara tidak menjawab. Ia hanya menunjukkan apa yang ia bawa—sebuah cangkir kopi hangat dan seikat bunga kecil liar berwarna putih dan ungu yang ia temukan di pinggir kebun.
‘’Tadi aku menemukan ini di perbatasan kebun. Wanginya—tenang. Dan ini kopi buatmu. Jangan diminum kalau sudah dingin.’’
Mata Kania berkaca kaca. Kania menerima bunga dan cangkir itu. ‘’Terima kasih, mas Bara.’’
Bara duduk di anak tangga teras, menjaga jarak yang menghormati kegalauan Kania.
‘’Kamu baik baik saja?”
Kania menghela nafas. ‘’Aku bertemu mbak Laras. Dia bilang…dia bilang aku seharusnya tidak mencampurkan liburan dan hidupmu. Dia bilang, aku akan lari saat melihat lumpur dan melihat hasil panen yang gagal.’’
Bara mengangguk. Ia sudah menduga ini, ia juga tidak menyalahkan Laras, tetapi ia harus meyakinkan Kania.
‘’Laras benar. Hidup di sini itu berat. Dan lumpur akan selalu ada.’’
Bara menoleh dan menatap Kania dengan tulus. ‘’Tapi Kania, aku tidak pernah memintamu mencintai lumpurku. Aku hanya memintamu untuk menerima kehadiranku. Aku tahu kamu sedang memikirkan banyak hal, tentang masa depanmu, dan masa depan tentang kita. Kamu tidak perlu memikirkannya sekarang.’’
Lalu Bara melanjutkan. ‘’Tapi satu hal yang aku tahu: aku sudah membuat pilihan. Kamu di sini karena kamu berani jujur pada kelelahanmu. Itu lebih berani daripada siapa pun yang pernah kukenal.’’
Bara berdiri. ‘’Aku harus pulang. Besok pagi, aku tunggu kamu di kedai. Aku sudah menyiapkan biji kopi yang langka, hanya untukmu.’’
Kania menatap Bara pergi. Kegundahan hati Kania tidak hilang, tetapi ia mendapatkan satu hal; kepastian Bara. Kini Kania tahu bahwa yang harus ia perjuangkan bukan Bara, tetapi dirinya sendiri, untuk membuktikan bahwa ia layak menjadi bagian dari lumpur dan ketenangan Bara.