Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Panggung Final Pasangan Kaki Lima
…kekacauan yang sesungguhnya.
Sebuah badai emosi dan godaan yang melanda mereka selama dua puluh empat jam berikutnya, memaksa Gunawan menghadapi bayangan masa lalu yang tak dikenalnya, sementara Dewi harus berjuang melawan pesona Arya yang licik.
Setiap detik terasa seperti seribu jarum yang menusuk, setiap kata dari para ‘penguji’ bagai racun yang mengikis kepercayaan. Namun, entah bagaimana, di tengah pusaran keraguan dan ancaman, ikatan yang tak terlihat itu justru semakin menguat. Mereka berdua berhasil bertahan, dengan hati yang remuk namun tekad yang semakin membaja.
Kini, seminggu setelah ujian semifinal yang menguras jiwa itu, Balai Warga bertransformasi menjadi arena yang jauh lebih megah, lebih hingar-bingar, dan dipenuhi aura persaingan yang mencekam.
Spanduk-spanduk berkibar dengan tulisan
‘GRAND FINAL: PASANGAN TERBAIK KAKI LIMA SE-JAKARTA RAYA’,
dihiasi lampu-lampu kelap-kelip yang memantulkan cahaya ke mana-mana. Aroma sate, bakmi, gado-gado, dan berbagai hidangan kaki lima lainnya berbaur di udara, menciptakan aroma bau yang menggoda namun juga menegangkan. Ribuan pasang mata, dari warga lapak hingga juri dari berbagai asosiasi kuliner bergengsi, memenuhi setiap sudut, siap menyaksikan pertarungan akhir.
Di tengah panggung utama yang kini lebih besar dan megah, Gunawan dan Dewi berdiri. Jantung mereka berdebar tak karuan, namun kali ini, bukan hanya karena ketegangan sandiwara. Ada sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan yang menjalar di antara mereka, sisa-sisa dari perjuangan yang mereka lalui bersama di babak semifinal. Ujian kesetiaan itu, entah bagaimana, telah mengukir bekas yang dalam, seperti bumbu yang meresap sempurna ke dalam masakan.
“Gimana, Wi? Siap?” bisik Gunawan, suaranya sedikit parau.
Ia melirik Dewi, yang kini mengenakan kebaya sederhana berwarna hijau daun, senada dengan kerudung yang membingkai wajahnya yang cantik. Gunawan sendiri memakai kemeja batik terbaiknya, yang terasa sedikit kaku di tubuhnya.
Dewi menelan ludah, mengangguk kaku.
“Harus siap, Gun. Ini pertarungan terakhir. Demi lapak kita.” Matanya menyapu kerumunan, lalu berhenti pada sepasang figura yang berdiri tak jauh dari mereka.
Budi dan Sita, pasangan pemilik ‘Bakmi Cinta Abadi’, yang kini tersenyum angkuh, seolah kemenangan sudah ada di tangan mereka. Budi mengenakan jas mahal yang mentereng, sementara Sita tampil dengan gaun malam yang berkilauan, jauh dari kesan ‘kaki lima’.
“Lihat mereka, Gun,” desis Dewi,
“Mereka kayak mau ke kondangan, bukan lomba kaki lima.”
Gunawan mendengus pelan.
“Biarin aja, Wi. Kita kan beda. Kita jualan rasa, bukan kemewahan.”
Seorang pembawa acara yang energik naik ke panggung, mengambil mikrofon.
“Selamat malam, hadirin sekalian! Selamat datang di Grand Final Lomba Pasangan Terbaik Kaki Lima Se-Jakarta Raya! Malam ini, kita akan saksikan kolaborasi kuliner dan kisah cinta terhebat dari para finalis kita!”
Tepuk tangan membahana. Gunawan dan Dewi saling menggenggam tangan, mencari kekuatan. Genggaman mereka terasa lebih alami sekarang, lebih menenangkan.
“Pertama, mari kita sambut! Pasangan fenomenal kita! Bapak Budi dan Ibu Sita, dari Bakmi Cinta Abadi!” seru MC.
Budi dan Sita melangkah maju dengan percaya diri yang berlebihan. Mereka membawa sebuah mangkuk bakmi raksasa yang dihias bunga-bunga palsu, dan sebuah narasi tentang ‘cinta abadi’ mereka yang terdengar seperti skrip iklan.
“Cinta kami itu seperti bakmi kami, Pak Juri,” kata Budi, suaranya dramatis.
“Panjang, tak terputus, dan selalu hangat.”
Sita menambahkan,
“Dan setiap suapannya, Pak, mengingatkan kami pada janji suci yang kami buat di hari pertama kami bertemu: untuk selalu mencintai, sampai akhir hayat.”
Mereka saling menatap dengan tatapan yang terasa hampa, lalu menyuapi bakmi satu sama lain dengan gerakan yang terlalu anggun. Penonton bertepuk tangan, sebagian besar terkesan dengan presentasi mereka yang mewah, namun Gunawan dan Dewi bisa merasakan ada sesuatu yang kosong di baliknya.
“Mereka lagi akting,” bisik Dewi, mencibir.
“Justru itu, Wi. Mereka pikir kita nggak tahu,” balas Gunawan,
“Tapi juri itu bukan cuma lihat yang di luar.”
Setelah presentasi Budi dan Sita yang terasa panjang dan klise, akhirnya giliran mereka tiba.
“Dan sekarang! Mari kita sambut! Pasangan inspiratif kita! Bapak Gunawan dan Ibu Dewi, dari Rujak Seblak Mesra!” seru MC, disambut tepuk tangan riuh dari warga lapak yang kini meneriakkan nama mereka.
Gunawan dan Dewi melangkah maju, membawa gerobak mini yang sudah mereka hias sedemikian rupa. Gerobak itu sederhana, terbuat dari kayu yang dicat ulang dengan warna cerah, dihiasi lampu-lampu kecil dan beberapa kain batik.
Di atasnya, ada dua kuali kecil—satu berisi bumbu rujak yang diulek halus, satu lagi berisi kuah seblak yang mengepulkan asap pedas. Di sampingnya, tersusun rapi bahan-bahan segar: buah-buahan untuk rujak, dan aneka kerupuk serta bakso untuk seblak.
“Selamat malam, Bapak dan Ibu Juri yang terhormat, dan seluruh hadirin!” Gunawan memulai, suaranya stabil, lebih percaya diri dari biasanya. Ia menatap Dewi, senyum tipis terukir di bibirnya. “Kami Gunawan dan Dewi, dari Rujak Seblak Mesra. Malam ini, kami tidak hanya akan menyajikan makanan, tapi juga kisah. Kisah tentang dua rasa yang berbeda, yang akhirnya menemukan keharmonisan.”
Dewi mengangguk, mengambil alih.
“Betul sekali. Kami ingin menunjukkan bahwa cinta itu, seperti masakan kami, butuh banyak bumbu. Kadang manis, kadang pedas, kadang asam, tapi selalu meninggalkan kesan yang mendalam.”
Mereka mulai berkolaborasi di atas panggung. Gunawan dengan lincah mengulek bumbu rujak, aroma kacang, gula merah, dan cabai langsung menyebar. Dewi tak kalah gesit, menyiapkan seblak, meracik kuah pedasnya dengan cekatan. Gerakan mereka sinkron, terkoordinasi, seolah mereka sudah melakukannya ribuan kali bersama. Tidak ada kecanggungan, hanya efisiensi yang elegan.
“Pak Juri,” kata Gunawan, sambil menyerahkan mangkuk rujak bumbu yang sudah jadi kepada Dewi, “Awalnya, kami ini seperti rujak dan seblak yang berdiri sendiri. Manisnya Gunawan, pedasnya Dewi. Kami pikir kami tidak akan pernah bisa bersatu. Ibaratnya, siapa yang mau makan rujak dicampur seblak, kan?” Ia terkekeh ringan, dan Dewi ikut tersenyum.
Dewi menerima mangkuk rujak itu, lalu mulai menuangkan kuah seblak pedas ke atasnya. Aroma pedas dan manis beradu, menciptakan kombinasi yang tak terduga.
“Tapi, Pak, Bu,” Dewi melanjutkan, menunjuk ke arah mangkuk yang kini berisi kolaborasi unik itu,
“Hidup ini penuh kejutan. Dan cinta, apalagi. Kami menemukan bahwa kadang, perpaduan yang paling aneh justru bisa menciptakan rasa yang paling luar biasa.”
“Kami namakan hidangan ini, ‘Rujak Seblak Mesra’,” kata Gunawan, menatap ke arah juri.
“Ini bukan cuma makanan, tapi filosofi. Filosofi tentang bagaimana dua individu yang sangat berbeda, dengan latar belakang dan karakter yang kontras, bisa belajar untuk saling melengkapi, saling menguatkan, dan bahkan saling mencintai.”
“Kami tidak akan bohong, Pak Juri,” Dewi menambahkan, suaranya jujur,
“Perjalanan kami tidak mudah. Penuh konflik, penuh sandiwara, penuh paksaan dari warga lapak. Tapi di setiap tantangan, di setiap kecanggungan, kami menemukan potongan-potongan kecil yang mulai menyatu. Seperti bumbu-bumbu yang perlahan meresap, mengubah rasa yang tadinya biasa menjadi luar biasa.”
Gunawan mengangguk.
“Seperti saat gerobak kami hancur, atau saat kami harus melewati ujian kesetiaan. Kami belajar bahwa di balik semua drama, ada satu hal yang tak bisa kami pungkiri: kami adalah tim. Tim yang peduli satu sama lain, tim yang ingin melihat lapak ini maju, dan tim yang... entah bagaimana, mulai merasa nyaman bersama.”
Ia mengambil sendok, menyuapkan ‘Rujak Seblak Mesra’ itu kepada Dewi. Mata mereka bertemu. Kali ini, tatapan itu bukan lagi sandiwara. Ada kehangatan, ada ketulusan, ada sebuah pengakuan bisu yang hanya mereka berdua pahami. Dewi menerima suapan itu, matanya berkaca-kaca, lalu ia membalasnya, menyuapkan Gunawan.
“Rasa ini, Pak Juri,” kata Dewi, suaranya bergetar,
“Ini adalah rasa perjuangan kami. Rasa manis dari harapan yang baru, dan rasa pedas dari setiap rintangan yang kami lewati. Tapi yang paling penting, ini adalah rasa... kebersamaan. Yang membuat kami yakin, bahwa meskipun tidak sempurna, hubungan kami punya pondasi yang kuat.”
Seorang juri wanita, dengan wajah serius sejak awal, kini tersenyum tipis. Juri lain juga terlihat mengangguk-angguk, terkesan. Penonton, terutama warga lapak, bertepuk tangan meriah, beberapa bahkan mengusap air mata.
“Kami mungkin tidak se-glamour pasangan Bakmi Cinta Abadi,” Gunawan melanjutkan, melirik Budi dan Sita yang kini terlihat tegang di belakang panggung.
“Kami tidak punya jas mahal atau gaun berkilauan. Tapi kami punya gerobak yang penuh cerita, bumbu yang tulus, dan sebuah harapan. Harapan untuk membangun masa depan bersama, di mana rujak dan seblak bisa berkolaborasi, tidak hanya di atas panggung ini, tapi juga di setiap langkah hidup kami.”
“Kami ingin, Pak Juri,” Dewi mengakhiri, menatap Gunawan dengan tatapan yang penuh arti,
“agar kisah kami menjadi inspirasi. Bahwa cinta itu bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di tengah gerobak yang bertabrakan. Bahwa cinta itu bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang kesediaan untuk mencoba, untuk berjuang, dan untuk saling melengkapi. Seperti... Rujak Seblak Mesra ini.”
Penonton berdiri, bertepuk tangan dengan gemuruh. Sorakan dan pujian memenuhi ruangan. Bahkan Budi dan Sita terlihat pucat, menyadari bahwa presentasi mereka yang dibuat-buat tidak bisa menandingi ketulusan (yang kini terasa nyata) dari Gunawan dan Dewi.
MC kembali ke panggung, wajahnya ceria.
“Luar biasa! Sebuah presentasi yang sangat mengharukan dan otentik dari pasangan Rujak Seblak Mesra! Sekarang, para juri akan mencicipi hidangan dan memberikan penilaian mereka. Mari kita tunggu dengan sabar!”
Juri-juri maju ke depan, mencicipi ‘Rujak Seblak Mesra’ yang disajikan. Ekspresi mereka berubah dari serius menjadi terkejut, lalu menjadi senyum puas. Mereka saling berbisik, menuliskan catatan, dan sesekali melirik Gunawan dan Dewi dengan tatapan kagum.
Budi dan Sita tidak bisa menyembunyikan kekesalan mereka. Mereka tahu, aura yang dipancarkan Gunawan dan Dewi jauh melampaui sandiwara. Ada sesuatu yang asli, sesuatu yang menyentuh hati.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, para juri kembali ke meja mereka. MC mengambil mikrofon lagi.
“Baiklah, hadirin sekalian! Proses penilaian sudah selesai! Dan kini, saat yang paling kita tunggu-tunggu! Siapakah yang akan menjadi Pasangan Terbaik Kaki Lima Se-Jakarta Raya tahun ini?!”
Jantung Gunawan dan Dewi berdebar kencang. Mereka saling menggenggam tangan erat-erat. Ini adalah momen penentuan. Bukan hanya untuk mereka, tapi untuk seluruh lapak.
“Dan pemenangnya adalah…” MC berhenti sejenak, membangun ketegangan,
“Pasangan yang berhasil memukau juri dengan kolaborasi kuliner unik, kisah cinta yang menginspirasi, dan presentasi yang paling otentik! Sebuah pasangan yang membuktikan bahwa perbedaan bisa menyatukan, dan bahwa cinta sejati bisa tumbuh di mana saja! Selamat kepada… Gunawan dan Dewi dari… Rujak Seblak…”
Suara MC tiba-tiba terhenti, mikrofonnya mendadak mati. Lampu sorot di panggung berkedip-kedip, lalu padam. Seluruh Balai Warga seketika gelap gulita, diiringi teriakan panik dari penonton. Di tengah kegelapan yang mencekam, hanya ada keheningan sesaat, lalu terdengar suara gemuruh kecil yang semakin membesar, seolah ada sesuatu yang bergerak, atau… ambruk…