Istriku menganut childfree sehingga dia tidak mau jika kami punya anak. Namun tubuhnya tidak cocok dengan kb jenis apapun sehingga akulah yang harus berkorban.
Tidak apa, karena begitu mencintainya aku rela menjalani vasektomi. Tapi setelah pengorbananku yang begitu besar, ternyata dia selingkuh sampai hamil. Lalu dia meninggalkanku dalam keterpurukan. Lantas, wanita mana lagi yang harus aku percaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ponsel Dan Rencana Tahun Baru
🌸
🌸
“Ini.” Pria itu menyodorkan sebuah tote bag berukuran kecil tak lama begitu dia tiba di kediamannya pada sore hari.
“Apa itu, Pak?” Dan Asyla menerimanya dengan raut heran. Dibukanya tas yang terbuat dari kain tersebut kemudian mengeluarkan isinya.
“Hape?” katanya kemudian menatap ke arah majikannya.
“Iya.” Alendra balikbmenatap wajah Asyla dan benda yang dibelinya pada saat perjalanan pulang itu bergantian.
“Untuk siapa?”
“Ya untuk kamu lah, masa untuk art nya tetangga?”
“Kita ‘kan nggak ada tetangga, Pak. Villa terdekat jaraknya 300 meter dari sini.”
Alendra memutar bola matanya, jengah.
“Kalau untuk saya, kenapa?”
“Kenapa katamu?”
“Iya, kenapa Bapak kasih saya hape?”
“Memangnya kamu tidak perlu ya? Zaman sekarang mana ada orang yang nggak punya hape? Bagaimana mau berkomunikasi?”
“Bapak ini bercanda.” Asyla tertawa, “memangnya saya mau berkomunikasi dengan siapa? Orang tua nggak ada, saudara pun nggak punya.”
“Ya dengan saya lah, siapa lagi?” Pria itu buru-buru menjawab.
“Hum?”
“Kalau saya butuh apa-apa ‘kan nggak perlu teriak-teriak atau capek-capek keliling rumah cari kamu.” Terbayang bagaimana sulitnya beberapa hari ini ketika dirinya membutuhkan bantuan Asyla untuk menyiapkan kebutuhan atau sekedar meminta kopi, dan Alendra kerap kali menemukan wanita itu sedang menyusui anaknya. Yang entah mengapa selalu menimbulkan perasaan yang lain di hatinya.
Terusik? Terganggu? Atau apa?
Akhir-akhir ini bahkan dirinya selalu merasa gelisah dan salah tingkah jika berada dekat dengan asisten rumah tangganya itu. Jantungnya seringkali berdebar tak karuan, dan yang lebih parah adalah ada perasaan yang tak seharusnya hadir karena Asyla merupakan pegawainya.
“Misal, kalau saya sedang tanggung menyelesaikan sesuatu di ruang kerja dan butuh kopi, kan bisa telepon kamu. Nggak harus turun dulu yang akhirnya membuat mood saya berantakan.” Rasanya alasan itu cukup masuk akal dan Asyla sepertinya bisa menerima.
“Baiklah. Tapi ….” Hampir saja wanita itu membuka kotak yang ternyata segelnya sudah terlepas, “pasti ini nggak gratis, kan?” tanya nya kemudian.
“Apa? Itu … mmm ….”
“Potong gaji lagi, Pak?” sebelah alisnya tampak terangkat.
“Eee ….” Sedangkan Alendra menggaruk kepalanya yang tak gatal. Rasanya aneh sekali jika dirinya memberikan benda itu secara cuma-cuma. Tapi alasan apa lagi yang harus dia lontarkan agar tak menimbulkan kecurigaan? Karena pada faktanya, dia memang dengan sukarela ingin memberikan fasilitas untuk Asyla.
“Anggap saja itu fasilitas kerja. Ya, fasilitas. Ehm ….” Dia melonggarkan lilitan dasi di bawah kerah kemejanya.
“Fasilitas?”
“Iya, fasilitas. Agar memudahkan dalam bekerja. Lagian, sepertinya kamu memang memerlukannya, kamu tau terkadang kita membutuhkan nya di saat darurat.”
“Darurat apa?”
“Ya apa saja. Misal kalau ada dokumen yang ketinggalan sementara saya sudah sampai di kantor ‘kan saya bisa minta tolong kamu untuk cari dan antarkan.”
Asyla terdiam.
“Sudah, pakai saja. Itu bisa kamu kembalikan kalau misal sudah nggak bekerja lagi dengan saya.” Alendra berniat menyudahi percakapan, pasalnya dia mulai merasa gugup dengan tatapan aneh wanita itu.
“Iya juga ya?”
“Ya.”
“Eh, tapi … kan saya kerja sama Bapak pasti lama, jadi balikin hapenya juga pasti lama juga? Nggak apa-apa?”
“Sudah, jangan pikirkan itu. Haya … bekerja saja dengan baik!” Alendra mulai kesal sehingga dia segera pergi ke kamarnya di lantai atas untuk menghindari Asyla.
***
Dia menatap benda pipih yang berpendar-pendar dengan suara pelan itu sejak tadi. Alendra memang telah menyeting semuanya termasuk memasangkan kartu dan nomernya sekalian sehingga memudahkan Asyla untuk menggunakannya. Dan memang benar saja, pria itu sudah mengirimkan pesan.
“Bagaimana? Bisa tidak?”
Asyla segera membukanya.
“Dipikirnya aku ini bagaimana, ya? Tentu saja bisa. Dikira nggak pernah pegang hape apa?” Asyla menggerutu.
“Sudah bisa, Pak.” Lalu dia mengirim balasan.
“Syukurlah. Saya sengaja membeli yang nggak terlalu canggih. Takutnya kamu kesulitan.”
“Ck!!” Asyla berdecak sambil memutar bola matanya.
Memangnya untuk apa canggih-canggih? Toh hanya dipakai untuk komunikasi saja dengan majikannya. Begitu pikirnya.
“Asyla?” Lalu pesan dari Alendra kembali masuk.
“Ya, Pak?”
“Kamu sekarang sedang apa?”
Asyla mengerutkan dahi. Kenapa pria ini bertanya begitu?
“Bisakah saya minta kopi? Pekerjaannya belum selesai.”
“Ck!” Asyla berdecak lagi. “Bukannya tadi sudah ya?” Namun tak urung juga dia bangkit sambil mengikat rambut panjangnya secara asal, lalu keluar dari kamarnya dan bergegas ke dapur untuk membuatkan Alendra kopi.
*
Pintu diketuk dari luar dan perlahan Asyla mendorongnya, lalu dia masuk membawakan nampan berisi cangkir kopi permintaan Alendra.
“Ada lagi yang Bapak butuhkan?” tanya nya setelah meletakkan cangkir dan mengambil bekas kopi sebelumnya.
“Tidak ada, terima kasih.” Alendra menjawab tanpa menoleh karena fokus pada pekerjaannya yang harus selesai malam ini.
Memeriksa lalu lintas keuangan perusahaan sebesar itu memang membutuhkan konsentrasi tinggi dan harus teliti, agar tidak ada kesalahan di dalamnya. Tanggung jawabnya besar, karena untung rugi usaha pemilik tergantung pada perhitungannya.
“Beneran? Mau saya buatkan makanan lagi, mungkin?” Namun Asyla masih berdiri di sana menunggu perintah selanjutnya.
“Tidak usah, Syl. Saya hanya butuh kopi agar bisa tetap terjaga. Pekerjaan ini harus selesai sebelum tahun baru.” Kertas-kertas itu, dan layar komputer yang menyala masih menjadi perhatiannya, dan Alendra tampak tidak terpengaruh sama sekali.
“Oh, baiklah kalau begitu. Soalnya saya mau tidur, tadi saja hampir matiin lampu kalau Bapak nggak nge chat.”
“Hmm ….” Alendra hanya menggumam.
“Baiklah kalau gitu, saya tinggal, Pak?” ucap Asyla yang memutar tubuh lalu melenggang ke arah pintu. Dan di saat yang bersamaan Alendra melirik, dan hal itu membuatnya terdiam sebentar. Memperhatikan lenggak-lenggok wanita 23 tahun itu yang keluar dari ruangannya.
Lekuk tubuhnya yang cukup berisi tampak lebih jelas karena dia mengenakan daster yang seminggu lalu dibelikan. Pinggangnya cukup ramping untuk ukuran perempuan yang pernah melahirkan, hanya bokongnya saja yang terlihat besar.
“Oh, astaga! Kenapa aku malah memikirkan bokongnya?” Alendra mengusap wajah saat lekukan indah itu berkelebat di pelupuk mata.
Kopi yang tadi Asyla letakkan diteguknya cepat-cepat meski akhirnya dia berteriak juga karena panasnya menjalar di mulut dan lidah.
“Sialan!!” Yang membuat Asyla sejenak menghentikan langkah di tengah-tengah tangga lalu menoleh.
“Memangnya kerjaannya seperti itu, ya? Sampai teriak-teriak.” katanya sambil menatap ke arah atas sebelum akhirnya dia meneruskan langkah untuk turun ke lantai bawah dan kembali ke kamarnya.
***
“Eh, serius ini tahun baru kita nggak ada acara apa-apa?” Listy seperti biasa memulai percakapan saat mereka tengah berkumpul untuk makan siang. Alendra bersama beberapa staf terdekat yang ikut bergabung karena mereka mulai akrab pun memalingkan perhatian.
“Memangnya mau ada acara apa?” Danang, manager pemasaran pun menyahut.
“Ya nggak tau, makanya saya tanya Bapak.”
“Memangnya kamu punya ide apa? Jangan liburan keluar kota lah, saya malas.” ucap pria seukuran Alendra itu lagi.
“Mau di Bandung aja?”
“Iyalah. Di umur segini saya sudah mulai malas pergi jauh.”
“Bapak bilang begitu kayak yang udah tua aja?” cibir Listy yang menunggu respon Alendra setelah mengutarakan idenya.
“Ya … lumayan. Hahaha.” Danang pun tertawa.
“Eh, kata siapa Bapak sudah tua? Umur segini mah cukup lah.”
“Iya, cukup tua.” Danang tertawa lagi.
“Ya nggak dong, cukup matang iya.”
“Matang? kamu pikir saya buah?”
“Iya lah, mangga kan makin tua makin manis, Pak.” Wanita itu mengerling seolah tengah menggoda pria di sampingnya. Tetapi hampir semua orang yang ada di tempat itu tertawa. Sepertinya mereka terbiasa dengan candaan tersebut sehingga tak ada yang menanggapi secara serius.
“Jadi beneran nih nggak mau jalan-jalan ke luar kota? Mau di Bandung aja?” tanya Listy lagi.
“Kamu kenapa sih maksa banget? Perkara taun baru aja maunya ada acara terus.”
“Ya biar seru. Iya ‘kan Pak Danang?” Wanita itu berujar.
“Iyalah, kalau Listy yang bilang iyakan saja. Bisa panjang urusannya kalau menolak.”
Para staf itu tertawa lagi.
“Oke kalau begitu. Bandung bagian mana yang sekarang lagi seru-serunya untuk taun baru?”
“Ah, ke mana-mana macet sekarang. Apalagi taun baru.” sahut yang kain mengemukakan pendapat.
“Macet tapi seru, Pak Deri.”
“Jangan jauh-jauh lah. Ke Lembang saja.” Danang kembali bersuara.
“Lembang?” Lalu Alendra tertawa padahal sejak tadi dia hanya diam saja. “Lembang apalagi. Jalan depan rumah saya saja setiap hari macet, nggak kenal waktu. Entah itu hari libur atau hari biasa. Rasanya nggak pernah nggak macet.”
“Masa?” Listy menanggapi.
“Coba saja main-main ke sana sesekali.”
Sekretaris salah satu manager itu sedikit memicingkan mata dengan otaknya yang terus berputar mencari ide baru. Lalu dia menjentikkan jari saat sesuatu muncul di dalam kepalanya.
“Ya sudah, taun baruannya di rumah Pak Alendra saja. Gimana?” katanya, sambil bertepuk tangan. Merasa bangga karena telah memiliki ide yang sangat cemerlang.
“Ap-apa?” Namun hal tersebut membuat orang yang dimaksud tergagap.
“Ya, benar. Dari sana dekat ke Lembang, kan? Kalau mau bisa langsung naik lagi, tapi kalau nggak ya sudah, stay saja.” Danang menimpali.
“Ke villa saya? Ta-tapi—”
“Sudah lah Pak Ale, di sana saja ya? Kita belum pernah ‘kan berkunjung ke rumahnya Pak Ale?”
“Tidak usah berkunjung juga, tapi —”
“Jangan khawatir, soal akomodasi kita patungan. Listy yang atur.”
“Bukan soal itu, maksud saya —”
“Sudah, di sana saja. Kita ajak pak Direktur sekalian. Katanya dia nggak.jadi ikut ke Bali.” Danang memaksa.
“Lho, kenapa?”
“Istrinya lagi hamil muda, nggak kuat penerbangan jauh.”
“Lah, nambah lagi aja anggota baru direktur? Jadi berapa anaknya? Lima?”
“Kalau dengan yang ini, iya.”
“Banyak amat?”
“Bos mah bebas, Lis. Mau lima, sepulu, bahkan 12 juga silahkan. Asal kuat biaya nya.” Mereka kembali tertawa.
“Oke fix ya, taun baruannya kita di rumahnya Pak Ale. Harus pada ikut lho.” Listy mengetikkan sesuatu di ponselnya sebagai pengingat bahwa beberapa hari lagi mereka akan mengadakan acara.
🌸
🌸
Ini perempuan main nyelonong masuk tempat tinggal orang aja, bok permisi kek🤦♀️
Listy ini mangkin lama mangkin ngelunjak kayaknya
Ale bukan hanya ga rela kalo Syla disuruh-suruh tapi yang pasti dia ga rela Syla dilirik laki² lain.
Kekecewaan Ale akibat pengkhianatan sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan kehadiran, Syla dan Tirta.