follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Hari-hari Aruni setelah pembatalan pertunangan terasa seperti mimpi buruk yang panjang. Setiap sudut rumah, setiap benda, bahkan aroma masakan ibunya, seolah mengingatkannya pada apa yang telah terjadi. Ejekan "perawan tua" kini terasa semakin menyakitkan, bercampur dengan stigma "gagal menikah" yang tak terucapkan. Ia merasa hancur, malu, dan lelah.
"Nak, kamu tidak bisa terus seperti ini," ujar Bu Aminah suatu pagi, melihat Aruni hanya berdiam diri di kamar. "Kamu harus bangkit. Allah pasti punya rencana yang lebih baik untukmu."
Pak Burhan pun mencoba menghibur, meskipun ia tahu luka di hati putrinya sangat dalam. "Betul kata Ibu, Nak. Mungkin ini memang bukan jalanmu. Kita harus ikhlas."
Tapi keikhlasan itu terasa begitu jauh. Aruni tahu, satu-satunya cara untuk mengobati luka ini adalah dengan pergi. Pergi dari semua kenangan, dari semua bisikan, dan dari rasa sakit yang terus menghantuinya. Ia membutuhkan udara baru, pemandangan baru, dan orang-orang baru yang tidak tahu apa-apa tentang kisah pilunya.
"Ayah, Ibu," kata Aruni suatu malam, saat mereka berkumpul di ruang keluarga. "Aku ingin pergi ke Jakarta. Menjenguk Tante Dina."
Pak Burhan dan Bu Aminah saling berpandangan. Ada kekhawatiran di mata mereka, tapi juga pemahaman. Mereka tahu, Aruni membutuhkan jarak dari semua ini.
"Kamu yakin, Nak?" tanya Pak Burhan lembut.n "Sendirian?"
Aruni mengangguk mantap. "Iya, Ayah. Aruni ingin sendiri dulu."
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu? " tanya Bu Aminah yang ikut khawatir melihat keadaan Aruni yang putus asa.
"Aku akan resign, bu. Dan jika bisa aku ingin mencari pekerjaan sebagai guru disana. Aku ingin mendapatkan suasana baru di lingkungan baru. "
Pak Burhan dan Bu Aminah langsung berpandangan mendengar keinginan anaknya itu. Haruskan mereka melepaskan Aruni, anak yang selama ini bersama dengan mereka dan tidak meninggalkan mereka sama sekali.
"Jika kamu pergi, kami akan kesepian nak? " ucap bu Aminah mengatakan kekhawatirannya.
"Sudah, bu. Jangan halangi Aruni. Biarkan dia pergi dan menenangkan diri dulu. " Pak Burhan menghentikan istrinya untuk melarang kepergian anaknya.
"Tapi, ayah–, "
"Tidak apa-apa Aruni pergi, dia sudah dewasa, sudahbisa menjaga dirinya. Kita berikan kesempatan kepada Aruni menengkan diri dulu dari omongan miring tetangga. Kita sekua tau seprti apa pedasnya ucapan tetangga kepada anak kita. Jadi biarkan saja dulu. " Jelas pak Burhan panjang lebar.
"Mungkin sekarang saatnya kita fokus pada Aldo. dan menjadikannya sukses seperti kakaknya. " imbuhnya lagi.
Mendapatkan penjelasan dari suaminya Bu Aminah pun terdiam dan tidak memberikan reaksi apapun.
Dia tau dan tidak menutup telinga mendengar omongan tetangga tentang anaknya. Tapi mau bagaimana lagi, omongan tetangga terkadang lebih tajam dari pisau. Karena itulah dia juga berfikir, mungkin Aruni membutuhkan tempat baru untuk memulai hidupnya lagi.
"Baiklah, nduk. Kamu boleh pergi. Ayah sama ibu akan menghubungi Dina, "
Aruni mengangguk dan tersenyum senang mendengar persetujuan orang tuanya tentang keputusannya untuk pergi menjauh sementara waktu ini.
Dan, beberapa hari kemudian, dengan berat hati, Pak Burhan dan Bu Aminah mengantar Aruni ke Stasiun kereta api untuk pergi ke Jakarta. Aruni memeluk kedua orang tuanya erat, mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka. Ia membawa sebuah tas berisi pakaian seadanya dan hati yang masih terasa rapuh dan belum sembuh sepenuhnya.
Kereta ekonomi jurusan Jakarta sudah menunggu. Aruni memilih tempat duduk di dekat jendela, berharap pemandangan yang lewat bisa mengalihkan pikirannya. Ia mengeluarkan novel dari tasnya, mencoba fokus pada cerita, tapi pikirannya terus melayang pada Ahmad, pada rencana pernikahan yang hancur, dan pada kata-kata pedas Bu Yanti. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.
"Maaf, apakah kursi ini kosong?" Sebuah suara bariton yang ramah membuyarkan lamunan Aruni.
Aruni mengangkat wajahnya. Seorang pria asing berdiri di sampingnya, dengan senyum tipis di bibirnya. Ia mengenakan kaos berwarna biru muda dan celana pendek dengan tas ransel berat di punggunggnya. Benar-benar seperti turis asing. . Rambutnya kecoklatan dan sorot matanya tampak teduh. Usianya mungkin lebih muda darinya. Tapi siapa yang tau, antara wajah dan usia pria asing terkadang tidak sama.
"Oh, iya. Kosong," jawab Aruni, sedikit kaget. Ia segera menghapus sisa air matanya dan merapikan kerudungnya.
Pria itu meletakkan tas ranselnya di rak bagasi di atas, lalu duduk di kursi sebelah Aruni. "Terima kasih," katanya. "Perjalanan ke Jakarta cukup panjang, ya."
A
runi hanya mengangguk. Ia tidak dalam mood untuk berbasa-basi, tapi ia juga tidak ingin terlihat tidak ramah. Ia kembali menatap keluar jendela.
"Saya Rico," pria itu memperkenalkan diri. "Anda...?"
Aruni menoleh. "Aruni." jawabnya singkat
"Senang berkenalan dengan Anda, Aruni," kata Rico ramah. "Kalau boleh tahu, mau ke mana ini? Pulang kampung atau...?"
Aruni ragu sejenak. "Mau berlibur ke rumah saudara di Jakarta."
"Oh, begitu. Jakarta memang kota yang menarik, tapi kadang bikin pusing juga dengan macetnya," Rico tertawa kecil.
Percakapan singkat itu berlanjut dengan topik-topik ringan. Rico bercerita tentang pekerjaannya sebagai seorang youtuber pemula. Dan mencoba mengeksplor Indonesia dengan segala keindahannya.
Dia menceritakan tentang tempat-tempat menarik yang pernah ia kunjungi. Aruni mendengarkan, sesekali menimpali dengan pertanyaan singkat. Perlahan, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Rico tidak bertanya tentang statusnya, tidak ada tatapan iba atau pertanyaan sensitif. Ia hanya bercerita dan mendengarkan, membuat Aruni merasa nyaman.
Waktu berlalu tanpa terasa. Perjalanan yang seharusnya membosankan, kini terasa sedikit menyenangkan berkat kehadiran Rico yang terus mengajaknya mengobrol. Aruni menemukan dirinya bisa tertawa kecil menanggapi lelucon Rico walau dengan bahasa Indonesia yang belum fasih, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan. Ia bahkan sempat menceritakan sedikit tentang pekerjaannya sebagai guru SD.
"Wah, itu bagus dan pekerjaan yang sangat mulia. " Rico mengapresiasi pekerjaan Aruni.
Ketika kereta mulai memasuki area kota Jakarta, tanda-tanda stasiun akhir sudah terlihat.
"Wah, tidak terasa sudah sampai ya," ujar Rico
Aruni mengangguk. "Iya."
Rizky mengeluarkan kartu namanya. "Jika ada waktu luang di Jakarta, mungkin kita bisa bertukar cerita lebih banyak lagi. Saya senang berbicara dengan Anda, Aruni."
Aruni menerima kartu nama itu dengan senyum tipis. "Terima kasih, Rico."
Ketika kereta berhenti di Stasiun Pasar Senen, Aruni dan Rico sama-sama turun. Mereka berjalan berdampingan menuju pintu keluar, di tengah keramaian stasiun.
"Semoga liburanmu menyenangkan, Aruni," kata Rico sambil tersenyum.
"Terima kasih, Rico. Semoga pekerjaanmu juga lancar," balas Aruni.
Mereka berpisah di keramaian. Aruni mencari taksi online yang sudah ia pesan, sementara Rico melambaikan tangan sebelum menghilang di antara kerumunan penumpang. Aruni menatap kartu nama di tangannya. Sebuah nama, sebuah nomor telepon. Pertemuan yang tak terduga, tapi entah kenapa, meninggalkan kesan yang hangat di hatinya yang rapuh.
Setelah sampai di rumah Tante Dina, Aruni disambut dengan pelukan hangat. Ia menceritakan sebagian kecil dari apa yang ia alami, tanpa terlalu banyak detail tentang Ahmad. Tante Dina hanya mendengarkan dan mencoba menghiburnya. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aruni bisa tidur dengan lebih tenang tanpa bayang-bayang Ahmad.
Beberapa hari Aruni habiskan di Jakarta. Ia menemani Tante Dina berbelanja, mengunjungi beberapa tempat wisata, dan mencoba untuk melupakan masa lalunya. Saat semua sudah terasa lebih baik, Aruni mulai bicara dengan tantenya itu.
"Tante, aku ingin mencoba melamar pekerjaan sebagai seorang guru, " kata Aruni.
"Kamu ingin bekerja disini? lalu pekerjaan mu disana?" tanya Tante Dina penasaran.
"Aku sudah resign, tante. Aku ingin membuka lembaran baru disini, dengan orang baru yang nggak suka julid dengan masalah norang lain.