NovelToon NovelToon
Dunia Dzaka

Dunia Dzaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Keluarga / Trauma masa lalu
Popularitas:599
Nilai: 5
Nama Author: Bulan_Eonnie

Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.

Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.

Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.

Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DD 10 Sosok untuk Dilindungi

Dzaka tersungkur seraya memegangi pelipisnya yang sudah dibasahi cairan kental berwarna merah. Netranya menatap tajam pada bayangan yang berlari menjauh. Dengan gemetar dia mendudukkan diri.

Dia mengeluarkan ponselnya dari kantong celana dan menyerahkannya pada Ziya, sedangkan matanya tetap memerhatikan bayangan hitam yang semakin kecil. “Tolong telepon Raffa buat jemput lo!”

Gadis itu masih terdiam melihat darah di pelipis Dzaka. Namun, dia tersentak saat Dzaka menarik lengannya dan meletakkan ponsel di atas telapak tangannya. “T-tapi—” Belum selesai dia berucap, Dzaka sudah berlari menjauh.

“Bang Dzaka!” teriaknya sebelum punggung cowok itu menghilang di balik pepohonan. Ziya masih gemetaran memegang ponsel Dzaka. Untunglah ponsel Dzaka tak terkunci, ia bisa langsung mencari kontak Raffa.

Setelah nada sambung, terdengar sautan dari seberang. “H-halo, Bang Raffa.” Ziya berusaha menekan rasa khawatirnya dengan membuang jauh-jauh pemikiran buruk yang tengah memenuhi kepalanya.

“Kenapa, Zi? Kenapa ponsel Dzaka sama lo? Dzaka mana?” Rentetan pertanyaan dari Raffa membuat Ziya semakin gelisah. Pemikiran buruk itu semakin menekannya dan membuat tubuhnya gemetar.

“Zi!” Suara Raffa membuat Ziya tersadar kembali.

“B-Bang Dzaka ... batu—” Deru napasnya yang semakin memburu membuat Ziya kesulitan berbicara. Ia gemetar dan ketakutan.

“Dzaka?Batu? Ada apa sih, Zi?! Kalian di mana?” Raffa sepertinya juga sedang mengkhawatirkan Dzaka di seberang.

Ziya membiarkan air matanya meluruh untuk menghilangkan sedikit gelisah nya. “I-itu ... b-batu ... d-darah—”

“Lo di mana?!” Sekali lagi Raffa bertanya dengan tegas.

“Taman!” Setelahnya panggilan diputus sepihak oleh Raffa. Sedangkan Ziya masih bersandar pada pohon seraya memeluk dirinya sendiri. Isak tangisnya terdengar lirih di antara rintik hujan yang mulai turun ke bumi.

...----------------...

Kini gerimis sudah berubah menjadi hujan, sedangkan Dzaka masih berusaha mencari sosok yang tadi berlari menjauh. Pandangannya terhalang oleh derasnya hujan yang menerpa wajahnya. Meski begitu, dia tetap menoleh ke sekitarnya mencoba menemukan sosok itu.

Denyutan di kepalanya membuat Dzaka berhenti sejenak seraya memegangi kepalanya. Saat dia membuka mata, pandangannya semakin tidak jelas. Bahkan kini dia merasa tubuhnya mulai lemas.

Saat pijakannya goyah, Dzaka menopang tubuhnya dengan pohon di sampingnya. Dengan tertatih, dia tetap berusaha berjalan meski kini tak tahu harus ke arah mana. Wajah tampannya terlihat pucat pasi menahan rasa sakit yang bersarang di kepalanya.

“Gue gak boleh tumbang di sini. G-gue harus cari orang itu dulu!” Dzaka masih berusaha menyemangati dirinya sendiri untuk tak menyerah dengan situasi ini.

Mengandalkan pandangan yang memburam, Dzaka memaksakan diri untuk terus maju tanpa tahu apa yang akan menantinya. Berkali-kali dia hampir tersungkur karena tungkainya yang semakin lemah.

Tubuh Dzaka akhirnya benar-benar tersungkur di atas rerumputan yang basah. Dia dapat merasakan derasnya air hujan menghantam wajahnya yang pucat pasi. Ujung-ujung jarinya terasa sangat dingin dan memutih.

“Dasar lemah!” maki Dzaka kepada dirinya sendiri.

Meski rasa pusing mendominasi kepalanya, Dzaka kembali bangkit. Jika memang tidak dapat menemukan sosok yang dicarinya, setidaknya Dzaka ingin kembali ke tempat semula. Dzaka harap Raffa sudah menjemput gadis itu sebelum hujan turun.

Tubuh Dzaka mulai terasa kaku karena kedinginan terlalu lama berada di bawah hujan. Jika sedang baik-baik saja, mungkin Dzaka sudah sampai sejak tadi. Namun, kondisi fisiknya membuat Dzaka hanya mampu melangkah tertatih.

Ini hanyalah taman kecil yang ditumbuhi banyak pohon rindang. Seharusnya jika Dzaka terus berjalan, sebentar lagi dia akan sampai di tempat semula. Dengan harapan itu dia kembali memaksakan dirinya.

Saat Dzaka kembali kehilangan keseimbangan, ada tangan yang menopangnya dari depan. Dzaka yang merasa semakin lemah bahkan tak sanggup mengangkat kepalanya. Tubuhnya berakhir dalam dekapan sosok di depannya.

“Lo bego apa bodoh sih, Ka?!” sarkas sosok itu membuat Dzaka tersenyum samar. Suara yang begitu ingin ia dengarkan sejak tadi, kini sudah ia dapati. Rasanya Dzaka bisa bernapas lega sekarang.

“Gak ada orang bego yang jadi juara umum di SMA elite, Fa,” lirih Dzaka dengan suara yang semakin lemah.

“Pintar dan bego itu beda tipis, Ka. Meski lo pintar, tapi saat lo bertindak tanpa rencana, itu bener-bener bego.” Sosok itu membalas dengan serius mencoba menyadarkan Dzaka yang kadang tak memikirkan risiko.

“Maaf ... dan makasih, Fa!” Dzaka merasa kesadarannya semakin menipis. Tubuh Dzaka berakhir di atas punggung Raffa yang mengkhawatirkannya begitu dalam. Berkali-kali cowok itu menyesali kebodohan Dzaka.

Raffa langsung membawa Dzaka pulang menggunakan taksi, sedangkan motor mereka akan dijemput oleh anggota Geng River yang sudah dihubungi Raffa sebelumnya. Saat sampai di depan rumah Dzaka, Raffa memanggil para penjaga dan membawa Dzaka masuk.

“Loh Den Dzaka kenapa?” Bi Edah yang baru saja membuka pintu terkejut dengan kondisi Dzaka. Namun, dia meminta para penjaga untuk langsung membawa Dzaka ke kamar.

Bi Edah menyerahkan pakaian ganti Dzaka ke Raffa. “Mohon bantuannya, ya, Den Raffa,” ujar Bi Edah yang langsung pamit kembali ke lantai bawah untuk memasak bubur kentang untuk Dzaka.

Raffa mengganti pakaiannya dan pakaian Dzaka. Lalu ia mengambil kotak P3K untuk mengobati luka di pelipis Dzaka yang sudah mengering. Tatapan Raffa tajam melihat luka itu dan tangannya mengepal. “Gue gak akan biarin siapa pun nyakitin lo lagi, Ka!”

Dengan telaten Raffa mengobati Dzaka yang belum sadarkan diri. Wajah tampan yang pucat pasi itu malah membuat hati Raffa nyeri. Dia tahu berapa banyak luka yang dimiliki Dzaka. Dia juga tahu betapa rapuh sahabat baiknya itu di balik sikap tegarnya.

...----------------...

Dzaka membuka mata perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang memasuki penglihatannya. Kepalanya masih terasa pusing, tapi tubuhnya terasa hangat. Dzaka mencoba mendudukkan diri, tapi tubuhnya masih lemas dan tenggorokannya kering.

“Baru bangun itu gak usah duduk dulu,” ujar Raffa yang baru saja memasuki kamar Dzaka dengan semangkuk bubur kentang dan segelas susu kedelai.

“Bantu gue!” pinta Dzaka menjulurkan tangannya pada Raffa. l

Tatapan Raffa yang terlihat tak bersahabat membuat Dzaka mengernyit heran. Namun, dia memilih abai dan mengambil mangkuk bubur dari atas nakas. Belum sempurna mangkuk itu berada di atas pangkuannya, kini sudah beralih ke genggaman Raffa.

Sodoran sendok berisi bubur kentang membuat Dzaka tersenyum tipis.

“Gak usah senyum-senyum! Lo utang banyak sama gue!” kesal Raffa yang masih menyuapi Dzaka. Bukannya berhenti, senyum Dzaka malah semakin merekah di bibir pucatnya.

“Maaf ngerepotin dan makasih, Fa. Lo emang sahabat gue,” ujar Dzaka tulus membuat tatapan Raffa yang semula tajam perlahan melembut.

“Jangan pernah minta maaf karena ngerepotin gue, Ka. Gue seneng kalau lo ngerepotin gue. Gue jadi ngerasa kalau lo masih butuh gue.” Raffa ikut tersenyum seraya menyerahkan segelas susu kedelai pada Dzaka.

Dzaka menoleh ke luar jendela. Hujan masih turun deras dan langit masih saja gelap. Jika tadi ia tak bertemu Raffa, mungkin kini Dzaka sudah tergolek tak berdaya di taman. Mungkin kondisinya menjadi lebih serius jika para penjaga yang diutus ‘orang itu’  yang menemukannya.

“Kenapa kepala lo luka?” tanya Raffa mengalihkan atensi Dzaka.

“Kena batu.” Jawaban Dzaka malah membuat Raffa berdecak malas.

“Kenapa bisa?” Pertanyaan itu sudah sarat akan permintaan untuk penjelasan yang detail atas apa yang sudah terjadi.

“Gue cuma berusaha melindungi apa yang patut dilindungi.” Dzaka menghela napas pelan.

“Tapi gak sampe luka gini juga kali, Ka.” Raffa tak terima Dzaka mengorbankan dirinya begitu saja. Bukankah ada cara lain selain mengorbankan diri sendiri untuk melindungi orang lain.

Dzaka menepuk pundak Raffa pelan dan tersenyum. “Bakal lebih menyakitkan saat gue gagal nyelamatin dia hanya karena gue takut berkorban sedikit, Fa.”

1
Jena
Bener-bener bikin ketagihan.
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak❤️ Nantikan terus updatenya ya kak😊
total 1 replies
bea ofialda
Buat yang suka petualangan, wajib banget nih baca cerita ini!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih kakak sudah mampir❤️
total 1 replies
Mamimi Samejima
Teruslah menulis, ceritanya bikin penasaran thor!
Bulan_Eonnie🌝🦋💎: Terima kasih sudah mampir kakak❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!