Malam tragis, telah merenggut masa depan Zoya. Menyisakan trauma mendalam, yang memisahkannya dari keluarga dan cinta.
Zoya, mengasingkan diri yang kembali dengan dua anak kembarnya, anak rahasia yang belum terungkap siapa ayahnya. Namun, siapa sangka mereka di pertemukan dengan sosok pria yang di yakini ayah mereka?
Siapakah ayah mereka?
Akankah pria itu mengakuinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Lagi
“Kamu, yang menculik anakku?”
Arga dan Candra, langsung menoleh ke arah Ardian, yang sedang ditatap Zoya. Mereka, terkejut ketika Zoya menuduh Ardian penculik, bahkan semua dokter di sana, padahal Ardian anak pemilik Astracare ini.
“Maaf, Dokter Zoya sepertinya ini salah paham. Ardian ini …,” ucap Candra terhenti, saat Ardian mengangkat telapak tangannya ke udara, seolah memohon untuk tidak memperjelas lagi. Sepertinya Ardian tidak ingin jika Zoya, tahu bahwa dia anak pemilik rumah sakit ini.
“Kita bisa bicarakan ini di tempat lain, biarkan Zayden istirahat.” Kata Ardian menatap ke arah Zayden yang tertidur lalu pergi meninggalkan UGD.
Sementara Zoya, dia terlihat canggung ketika ditatap semua orang. Zoya, pergi mengikuti Ardian.
“Mama,” lirih Zayda, yang langsung dihentikan Candra, ketika hendak mengikuti ibunya.
“Gadis kecil di sini saja, ya? Biarkan Ibu kalian berbicara dengan pak Letnan.” Candra, seakan tahu apa yang akan dibicarakan Ardian dan Zoya.
“Tapi, Pak. Saya itu harus menjelaskan kepada ibu saya, jika pak Letnan tidak bersalah.”
“Iya, saya tahu. Tapi lebih baik jaga saudaramu, dia, kan sendirian.” Tutur Candra menunjuk ke arah Zayden.
“Oh, iya, ya.” Zayda, akhirnya pergi menuju ranjang Zayden, dia duduk di samping ranjang tidur Zayden.
Sementara Ardian dan Zoya mereka sudah tiba di ujung lorong. Entah, ruangan apa yang pasti tempat itu sangat sepi. Netra, Zoya menatap sekeliling—yang merasa gelisah dan takut dengan keberadaannya di tempat yang sepi.
“Aku bisa jelaskan, jangan asal menuduh aku sebagai penculik,” tutur Ardian, yang sudah berbalik menghadap Zoya.
Sesaat Zoya, terpesona akan ketampanan Ardian. Tubuh pria itu yang sangat tegap, serta paras yang sangat rupawan, jauh berbeda ketika saat malam itu, yang hanya melihat Ardian dengan kebencian. Segera Zoya menepis pikiran itu dari kepalanya. Zoya, kembali teringat dengan tujuannya bicara dengan Ardian.
“Tapi nyatanya kamu menculik membawa anak-anakku.”
“Aku membawa mereka hanya sekedar ..."
“Kenapa kamu selalu mencampuri urusanku?” Pertanyaan, yang pertama kali Zoya, lontarkan. Seketika, Ardian terdiam.
Bagaimana tidak, semenjak kehadiran Ardian hidupnya seperti dipantau oleh CCTV. Kemanapun dia pergi selalu saja ada letnan itu. Bahkan, ketika dia pulang, Ardian pun ikut pulang. Seperti saat ini, Ardian sudah berani membawa anak-anaknya pergi tanpa izin darinya. Ardian, pun tidak tahu kenapa hatinya bergerak—menghampiri, lalu membawa mereka pergi, padahal sebelumnya Ardian tidak begitu menyukai anak-anak. Tapi kepada Zayden, Ardian merasakan hal yang beda.
“Tidak bisakah kamu hilang dari hidupku? Semenjak, malam itu kamu selalu saja menghantuiku, kamu sudah menghancurkan hidupku.”
Ardian hanya diam, mendengar setiap perkataan Zoya. Entah, sengaja atau tidak, ada yang Zoya bahas dari masa lalunya, tapi kenapa? Kenapa pada Ardian dan ada apa pada malam itu.
“Sudah, cukup. Jangan lagi mendekati anak-anakku. Dan, jangan pernah harap bisa bertemu lagi dengan anak-anakku.”
Ardian hanya diam tanpa kata sampai Zoya mengucapkan kata-kata terakhirnya. Ardian, diam—memendam semua pertanyaan itu sambil menatap kepergian dokter cantik itu menuju kamar rawat.
Ya, Zayden sudah dipindahkan ke kamar rawat. Sementara Ardian dia masih bingung memikirkan setiap perkataan Zoya.
...Bisakah kamu hilang, dari hidupku? Semenjak malam itu kamu selalu menghantuiku, kamu sudah menghancurkan hidupku....
...Jangan pernah lagi mendekati anak-anakku ...
“Ardian,” panggil Candra tapi Ardian masih bergeming. “Ardian, kita harus segera pulang, Jenderal Teddy, sudah menunggumu dan ….”
“Apa kau sudah mencari tahu tentang Zoya?”
Candra, termenung ketika Ardian memotong pembicaraannya. Bukannya menanyakan keadaan di rumahnya, yang sudah pasti ayahnya akan sangat marah. Tapi Ardian, dia malah meminta informasi tentang wanita—sukarelawan di Qodroh itu.
“Aku, sedang bertanya padamu Pak Candra!” Ardian berbalik yang menatap Candra tajam.
“Belum, tapi ….”
“Aku tunggu laporannya besok,” tegas Ardian, tanpa ingin tahu apa Candra menyanggupinya atau tidak.
Ardian, berlalu meninggalkan Candra, yang kebingungan. Candra, hanya bisa diam lalu mengikuti anak bosnya yang harus cepat dia antar karena jika tidak, sang Jenderal akan marah.
Ardian, sudah menunggunya di dalam mobil, dengan raut wajah tegas dan dingin. Candra, segera masuk ke dalam mobil yang langsung mengambil alih kemudi lantas melajukan mobilnya meninggalkan Astracare.
Sementara, Zoya, dia berada di dalam ruangan bersama Arga. Wajahnya terlihat gelisah yang memohon, supaya Arga mengizinkan anak-anaknya bermain di sini selagi Zoya bekerja. Arga, masih mepertimbangkan tetapi mendengar Zoya seorang single parent membuat hati Arga terenyuh, sehingga Arga mengizinkan.
“Baiklah, aku izinkan tapi … dengan satu syarat, anakmu jangan mengganggu dokter dan perawat yang sedang bekerja, dan juga tidak mengganggu ketenangan pasien,” jelas Arga yang duduk di kursi kerjanya sambil menatap Zoya, yang berdiri dengan penuh bahagia di hadapannya.
“Terima kasih, terima kasih Dokter Arga, karena sudah mengizinkan. Aku akan ingat semua pesanmu.”
“Tunggu dulu!” Zoya, hendak pergi tapi langkahnya harus terhenti karena suara Arga. Tubuh Zoya, langsung berbalik.
“Kau mengenal Ardian?” tanya Arga, tiba-tiba. Dengan sorot mata yang sangat penasaran.
“Kami bertemu di Qodroh, saat kami sama-sama bertugas di sana, selain itu kami tidak pernah bertemu,” jawab Zoya.
Arga, menatap terus kepada Zoya, berharap dia menemukan sesuatu seperti kebohongan atau hal semacamnya, tapi sayangnya Arga, tidak menemukan itu dari sorot matanya. Zoya, pamit sambil membungkuk hormat, lalu pergi meninggalkan ruangan Arga.
“Zayden, Zayda!” teriak Zoya, menghampiri kedua anaknya. Wajahnya terlihat gembira sekarang berbeda, dengan sebelumnya. Mungkin, karena Zoya, tidak akan lagi mencemaskan si kembar karena sekarang dia bisa membawa anak-anaknya bekerja.
“Mama!” Zayden, langsung memeluk ibunya.
“Kamu tidak apa-apa, kan? Apa masih ada yang sakit?” tanya Zoya, dengan rasa cemasnya, yang terus mengecek setiap inci tubuh Zayden.
“Mama, aku tidak apa-apa jangan lebay.” Zayden, menurunkan tangan ibunya.
“Iya, Mama terlalu lebay, tadi saja tidak menjemput kami,” tutur Zayda, membelalakkan mata Zoya.
“Siapa suruh kalian pergi? Mama, tadi mencari kalian ke sekolah, dan sepanjang jalan menuju pulang. Seharusnya kalian bilang dulu jika pergi ke suatu tempat jangan membuat Mama, cemas.”
“Bayangkan saja Mama, kita menunggu selama tiga jam.” Zayda, mengangkat tiga jarinya. Lantas bersedekap di bawah dada, sambil berkata, “Bagaimana kita tidak kesal.”
“Untung saja pak Letnan datang. Dia ingin mengantarkan kami pulang tapi sebelum itu dia membawa kami ke cafe dulu untuk makan. Tiga jam itu waktu yang lama Mama,” lanjut Zayda, dengan nada cerewetnya.
“Iya, Mama minta maaf.” Zoya, menghela nafas. Harus ekstra sabar menghadapi kedua anaknya yang pandai berdebat.
“Tidak! Zayda, tidak akan memaafkan Mama sebelum Mama meminta maaf pada pak Letnan.”
Zoya, terbelalak.
Apalagi ini, kenapa kedua anaknya terus membujuknya untuk mendekati Ardian, bukannya mendukung untuk menjauhinya. Jika seperti ini usaha Zoya untuk menjauhkan mereka akan sangat sulit.
“Kenapa Mama harus meminta maaf? Ada apa Zayda?” Zayden yang sangat penasaran akhirnya bertanya.
Zayda, melirik Zayden dengan ekspresi serius. “Tadi, Mama memarahi Pak Letnan, karena dituduh menculik kita.”
“Ck, ck, ck … Mama, itu sangat keterlaluan.” Zayden, menggeleng sambil bersedekap.
Zoya, semakin membulatkan matanya.
“Kalian ini aneh! Kenapa Mama yang di sidang, Mama melakukan hal yang benar, bagaimana jika—,” ucap Zoya terhenti saat Zayden, menunjukkan selembar foto padanya.
“Dengan foto ini, kami terlihat seperti keluarga bukan? Dua anak dan ayahnya.” Tunjuk Zayden, pada foto kebersamaannya dengan Ardian.
Mereka sempat berfoto bersama, di sebuah plaza city. Entah, kenapa Ardian mengajak mereka jalan ke tempat itu, membiarkan mereka bermain dan melakukan hal lain yang biasa dilakukan anak seusianya. Heran, memang heran. Bahkan, Candra pun hanya bisa menggeleng melihat tingkah Ardian, yang di luar nalar.
“Kalian mengambil foto, juga?” Zoya, terlihat marah. Dia menatap kedua anaknya sambil berkacak pinggang.
“Kenapa, Mama? Apa yang kami lakukan ini salah, kami hanya berfoto. Aku dan Pak Letnan sudah berteman saat kami di Qodroh.”
“Tidak! Mulai hari ini, Mama melarang kalian bertemu dengan Pak Ardian.”
“Jadi namanya pak Ardian,” ujar Zayda sambil manggut-manggut.
“Kalau begitu, kita panggil uncle Ardian saja atau ayah Ardian,” sambung Zayden, yang dibalas gelengan lucu oleh Zayda. Mereka seakan sudah sepakat dengan panggilan itu.
“Tidak! Mama, tidak setuju. Harus berapa kali sih, Mama bilang, dia bukan ayah kalian!”
“Lalu di mana ayah kami?” tanya Zayden, membuat Zoya membisu.
...----------------...
Maaf ya othor baru bisa update karena lama sibuk. Mana, dukungannya dong kok sepi ... buat othor gak semangat deh. Jangan lupa kasih like, vote dan poin sebanyaknya. Komentar jangan tertinggal ya ...
Ya Allah, semoga kembar gak akan kenapa-napa...
up LG nnti thor
Pak Letnan, yang pintar kenapa sih gak liat itu anak-anak ada kemiripan gak sama dia, dan tas DNA. Apalagi punya rumah sakit sendiri... Gereget aku...