Sinopsis:
Nayla cuma butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Tapi hidup malah ngasih tawaran gila: kawin kontrak sama Rayyan, si CEO galak yang terkenal perfeksionis dan nggak punya hati.
Rayyan butuh istri pura-pura buat menyelamatkan citranya di depan keluarga dan pemegang saham. Syaratnya? Nggak boleh jatuh cinta, nggak boleh ikut campur urusan pribadinya, dan harus bercerai setelah enam bulan.
Awalnya Nayla pikir ini cuma soal tanda tangan kontrak dan pura-pura mesra di depan umum. Tapi semakin sering mereka terlibat, semakin sulit buat menahan perasaan yang mulai tumbuh diam-diam.
Masalahnya, Rayyan tetap dingin. Atau... dia cuma pura-pura?
Saat masa kontrak hampir habis, Nayla dihadapkan pilihan: pergi sesuai kesepakatan, atau tetap tinggal dan bertaruh dengan hatinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang andika putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita lama dan luka yang masih basah
Setelah drama di depan kosan Shilla, Rayyan akhirnya bawa gue pergi. Katanya, "Gue butuh lo. Tapi kayaknya lo juga butuh napas. Jadi ayo... kita kabur bentar."
Gue pikir dia ngajak staycation biasa.
Ternyata…
Dia bawa gue ke vila pribadinya di Puncak. Tempat yang bahkan sopirnya pun gak tau arah pastinya—karena dia nyetir sendiri.
Vila itu… tenang banget. Bangunan modern minimalis, banyak kaca, pemandangan langsung ke hamparan pepohonan pinus.
"Ini tempat gue ngilang kalau stress," katanya sambil naro koper gue di kamar.
Gue jalan keliling ruangannya. Nyaman banget. Tapi… ada satu kamar yang pintunya ketutup rapat dan dikunci.
Gue iseng nanya, "Itu kamar siapa?"
Rayyan langsung diem. Tatapannya berubah. Tapi dia jawab juga, "Nanti aja gue kasih liat. Gak sekarang."
Gue angguk, walau penasaran setengah mati.
Malamnya, kita makan mie rebus bareng.
Bukan makanan fancy, bukan candlelight dinner. Tapi justru itu yang bikin hangat. Kayak... kita bukan siapa-siapa. Cuma dua orang yang lagi cari aman dari dunia.
Habis makan, Rayyan nyalain playlist. Lagu-lagu mellow lawas. Kita duduk di sofa, diem. Tapi hatinya ribut banget.
Gue akhirnya buka suara.
“Ray, makasih ya… udah nyari gue, udah bawa gue ke sini. Gue gak nyangka lo segitu pedulinya.”
Dia senyum tipis. “Gue juga gak nyangka... gue bisa segila itu.”
Gue ngelirik. “Eh, yang bener nih... lo suka beneran, atau cuma karena lo gak mau kehilangan saham?”
Rayyan langsung nengok. “Gue bakal buktiin, Nay. Tapi jangan sekarang. Gue butuh waktu buat nepatin semuanya.”
Gue diem. Tapi dalam hati… gue mulai percaya lagi. Walau belum full, tapi udah gak sekelam kemarin.
Tengah malam, gue kebangun. Haus.
Pas jalan ke dapur, gue lihat kamar yang tadi dikunci… kebuka.
Lampunya redup.
Gue pelan-pelan masuk.
Dan di sana… ada satu meja, dan sebuah kotak kayu di atasnya.
Gue maju, buka pelan-pelan. Isinya... penuh foto-foto masa kecil Rayyan. Tapi yang bikin gue bengong, ada satu tumpukan surat. Surat dari... ibunya.
Beberapa masih tersegel. Tapi satu surat paling atas kebuka, dan isinya...
"Untuk Rayyan kecil... Maaf kalau Ibu gak bisa ada terus. Tapi kamu harus tau, kamu anak paling kuat yang Ibu punya. Jangan pernah percaya kalau cinta itu cuma soal untung rugi. Suatu hari nanti... kamu akan nemuin orang yang bisa nyembuhin semua luka. Jangan lepasin dia, Nak."
Gue gak sadar, air mata gue jatuh.
Dan pas gue berbalik...
Rayyan berdiri di ambang pintu.
Matanya merah. Bukan karena marah. Tapi karena... luka lama yang kebuka lagi.
Gue berdiri di kamar itu, masih megang surat dari ibunya Rayyan.
Dia berdiri di ambang pintu, diem.
Tapi dari cara dia ngeliat gue, gue bisa ngerasain... dia rapuh.
Rayyan masuk pelan-pelan, nutup pintu di belakangnya.
Dia gak langsung ngomong. Cuma duduk di lantai, nyender ke tembok, dan nutup wajahnya pake tangan.
Gue ikut duduk di sebelahnya. Gak nanya. Gak maksa.
Cuma duduk.
Beberapa menit kemudian, dia akhirnya buka suara.
"Gue ditinggal nyokap waktu umur 9 tahun. Dia ninggalin gue di rumah kakek-nenek, terus pergi gitu aja. Bokap gue... ya lo tau lah, lebih sibuk mikirin perusahaan daripada anak sendiri."
Suara Rayyan bergetar.
"Gue dulu sering nungguin dia tiap sore, duduk di jendela. Tapi dia gak pernah balik. Sampe akhirnya, ada surat-surat itu. Nenek gue yang nemuin. Katanya, nyokap ninggalin mereka sebelum sempet kasih ke gue."
Gue naruh tangan gue di atas tangannya.
Dia ngelirik, senyum miris.
"Gue gede dengan pikiran: semua orang yang gue sayang bakal pergi. Makanya gue dingin, jarang percaya orang. Termasuk sama lo waktu awal."
Gue diem, nahan tangis.
Rayyan lanjut, suaranya makin pelan.
"Tapi lo beda, Nay. Gue gak ngerti kenapa... tapi tiap kali lo ngilang, hati gue kayak ketarik. Tiap kali lo nangis, gue ikut sesek. Tiap kali lo senyum... gue pengen waktu berhenti."
Dan detik itu juga, gue gak tahan lagi.
Gue peluk dia. Kenceng.
“Lo gak sendirian sekarang,” bisik gue. “Gue di sini, Ray. Dan kalau lo masih mau gue tetep ada… gue gak akan kemana-mana.”
Dia balas peluk gue. Tapi kali ini… bukan pelukan suami kontrak.
Ini pelukan dua orang yang lagi sembuhin luka masing-masing.
Besok paginya, kita sarapan bareng. Suasananya beda. Lebih hangat, lebih... jujur.
Rayyan buka HP-nya, lalu nunjukin satu hal yang bikin gue kaget.
"Gue suruh pengacara gue hapus pasal saham dari kontrak kita."
Mata gue membesar. “Lo serius?”
Dia angguk. “Gue pengen lo di hidup gue bukan karena kontrak, bukan karena surat. Tapi karena lo emang mau.”
Dan hari itu, gue mulai percaya...
Kalau cinta itu bukan soal awalnya, tapi gimana dua orang mau bertahan dan jujur meski masa lalu mereka berantakan.