Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri
*📝** Diary Mentari – Bab 2**
“Waktu kecil, aku pikir semua anak bangun jam lima pagi dan mencuci piring sebelum sekolah. Aku baru sadar kemudian, bahwa tak semua anak belajar disiplin dari air sungai yang dingin, atau cahaya perakpak yang harus dibakar sendiri agar tak mandi dalam gelap.”***
⸻
Pagi-pagi buta, ayam pun belum berkokok. Ibu sudah bangun, menyalakan api di dapur. Asap mengepul pelan dari tungku kayu. Aku bangun saat langit masih gelap, tanpa alarm, hanya dengan suara kayu patah dan derak sendok dari dapur.
“Ayo, Tar, jangan malas!”
Itu suara Ibu. Tegas, tapi tak pernah kasar. Suara itu jadi penanda bahwa hariku dimulai.
Aku mengikat rambutku dengan cepat, meraih perakpak—ikat daun kelapa kering yang sudah kusiapkan semalam. Aku menyalakannya, lalu berjalan menuruni jalan kecil menuju sungai. Tak ada lampu, tak ada listrik, hanya cahaya oranye dari nyala perakpak yang menari-nari di antara pepohonan.
Suara sungai mulai terdengar. Alirannya deras, kadang menabrak batu-batu besar. Udara pagi terasa menggigit kulit, tapi aku sudah terbiasa. Kubiarkan api dari perakpak menyala di atas batu besar di tepi sungai. Cahayanya cukup untuk melihat sekilas air, sabun, dan pakaian. Sambil menggosok tubuh, aku menggigil pelan. Tapi mandi di sungai adalah bagian dari hidup kami. Bukan karena pilihan, tapi karena memang begitu adanya.
⸻
Sekembalinya ke rumah, tugas belum selesai. Sapu halaman, cuci piring, isi tempayan dari sumur. Semua harus selesai sebelum aku berangkat ke sekolah. Senja, adikku, baru bangun saat aku menjemur seragam dan menyisir rambut dengan cepat.
“Mentari, roti gorengnya bawa dua ya, satu buat Bu Guru,” kata Ibu sambil membungkus dengan kertas minyak.
Aku hanya mengangguk. Aku tahu kenapa Ibu menyuruhku berbagi. Kami miskin, tapi Ibu selalu mengajarkan untuk tetap berbudi. “Orang miskin jangan pelit,” begitu katanya.
⸻
Perjalanan ke sekolah tak pernah mudah. Jalan tanah merah akan berubah menjadi kubangan kalau hujan semalam. Aku harus mengangkat ujung rok seragam agar tidak kotor. Sepatuku sering basah, tapi aku selalu berusaha tampil rapi.
Di sekolah, aku anak pendiam. Banyak teman mengira aku jutek. Padahal aku hanya tidak pandai bicara. Aku lebih suka menulis. Di balik buku tulis, aku mencatat perasaan—tentang rumah, tentang sungai, tentang keinginan besar yang tak bisa kuucapkan lantang.
⸻
Aku ingat suatu siang sepulang sekolah, aku kembali duduk di dapur bersama nenek. Api di tungku masih menyala. Nenek sedang mengupas singkong.
“Nek,” aku berkata perlahan, “Mentari ingin kuliah nanti…”
Nenek tidak langsung menjawab. Matanya menatap api, seperti mencari kata yang tepat dari nyala bara.
“Bagus itu,” katanya akhirnya. “Tapi jangan cuma ingin. Harus siap susah. Sekolah tinggi itu bukan soal uang saja, tapi soal kuat hati. Kamu kuat, Tar. Tapi jangan lupa juga, doa dan kerja keras harus jalan bareng.”
Aku mengangguk. Kata-kata nenek masuk seperti air ke tanah kering. Tenang, tapi meresap dalam.
⸻
Malamnya aku menulis lagi:
“Aku mandi di sungai, membawa cahaya dari perakpak. Aku belum punya lampu. Tapi aku punya harapan. Suatu hari, aku ingin jadi cahaya itu. Bukan cuma untukku, tapi untuk keluarga, untuk Kampung Karet.”
⸻
Waktu terus berjalan. Aku tumbuh dalam pola yang sama: bangun sebelum fajar, bekerja sebelum belajar, lalu kembali ke rumah dengan tubuh lelah tapi hati tetap penuh harap. Sekolah adalah pelarianku. Tempat di mana aku merasa dihargai karena nilai, bukan karena nama belakang atau uang saku.
Aku ingat suatu hari, seorang guru berkata di depan kelas:
“Anak pintar itu banyak. Tapi yang bisa bertahan sampai sukses, cuma sedikit. Bukan karena bodoh, tapi karena hidup tak memberi semua anak kesempatan yang sama.”
Aku terdiam. Seolah kata-kata itu ditujukan langsung padaku.
⸻
Sore itu, langit mulai memerah. Senja duduk di sampingku, main boneka dari kain perca. Di depan kami, Ibu sedang menjemur pakaian. Nenek memanggil dari dapur, minta tolong ambil daun pisang.
Aku berdiri dan berjalan menyusuri jalan kecil. Langit jingga menggantung di atas pohon kelapa. Aku berhenti sebentar, menatap awan yang berubah warna. Lalu berkata pelan dalam hati:
“Kalau langit bisa berubah… aku juga bisa.”
"Jika langit gelap aku bisa buat cahayaku sendiri"
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.