Gita seorang istri yang tidak begitu di anggap keberadaanya oleh sang suami, tapi karena cinta membutakan Gita, hingga akhir di saat ulang tahun pernikahan yang ke satu tahun Gita yang ingin memberikan kejutan pada sang suami justru ia yang terkejut karena.
tanpa sengaja Gita melihat perselingkuhan sang suami dengan ibu kandungnya sendiri. hari itu ia mendapatkan kado penghianat ganda.
karena shock Gita pergi keluar dan mengalami kecelakaan, disaat itulah ia di nyatakan meninggal tapi tiba tiba tetak jantungnya kembali.
tapi itu bukan Gita yang dulu karena tubuh Gita sudah di masuki oleh seorang ratu penguasa jaman kuno yang mati karena penghianat. dan kini berada di tubuh Gita.
ingin tau kelanjutannya yuk mulai baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela besar vila Rafael yang kini juga menjadi vila Keira. Udara terasa tenang, hangat, dan penuh damai—seperti hatinya saat ini.
Di dapur, Keira berdiri dengan celemek lucu bergambar kucing dan tulisan: "Chef Ratu Batu." Ia sibuk membuat pancake berbentuk hati.
“Aku bisa mencium baunya dari lantai atas,” ujar Rafael yang baru saja turun dengan rambut masih sedikit basah karena mandi.
Keira menoleh, tersenyum lebar. “Kamu suka maple atau cokelat hari ini?”
“Yang ada cintanya,” jawab Rafael sambil memeluknya dari belakang, mencuri ciuman di pipi.
Mereka tertawa bersama, tanpa tekanan, tanpa bahaya, tanpa rahasia. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama… segalanya terasa sederhana.
Beberapa Waktu Kemudian
Setelah sarapan, Rafael mengajak Keira naik helikopter pribadi ke sebuah pulau kecil yang ia beli secara diam-diam. Pulau itu masih alami, dan rencananya akan dijadikan pusat relaksasi dan seni untuk perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan.
“Ini milikmu,” kata Rafael.
Keira terdiam, matanya membulat. “Raf…” tanya Keira bingung
“Aku tahu kamu ingin berbuat lebih banyak. Anggap ini sebagai hadiah—dan sebagai tempat pelarian kita saat dunia terasa terlalu bising.”
Keira tersenyum, menatap Rafael dengan mata berkaca-kaca. “Aku gak tahu harus bilang apa...”
“Cukup bilang ‘aku bahagia’, dan itu sudah cukup untukku,” jawab Rafael lembut.
Di Tempat Lain – Keterpurukan Yulia
Sementara itu, di sebuah apartemen tua di pinggiran kota, Yulia terduduk di lantai dengan rambut acak-acakan dan mata sembab.
Dion telah pergi. Harta mereka tersita karena kasus penipuan perusahaan Dion. Rumah, mobil, hingga semua tas mewah yang dulu ia banggakan... raib begitu saja.
Ia menghidupkan televisi dengan tangan gemetar. Acara berita menampilkan potongan gambar dari pembukaan pusat rehabilitasi seni untuk perempuan—dengan Keira dan Rafael sebagai sponsor tanpa nama.
Wajah Yulia memucat.
“Dia… dia yang seharusnya… tidak bisa berdiri lagi,” bisiknya getir. “Bagaimana mungkin dia masih bisa tersenyum…”
Wajah Keira yang damai, elegan, dan penuh cahaya terpampang sesaat sebelum layar berganti iklan.
Yulia membanting remote.
Semesta telah membalas.
Kembali ke Pulau
Malamnya, Rafael dan Keira duduk di bawah langit penuh bintang. Api unggun kecil menyala, dan mereka menyeduh teh jahe bersama.
“Terima kasih karena sudah tetap di sini,” ucap Keira.
Rafael menoleh. “Terima kasih karena tetap kuat, bahkan saat semua orang meninggalkanmu.”
Keira tertawa kecil. “Dulu aku selalu berharap bisa membalas semua sakitku. Tapi sekarang… aku hanya ingin hidup tenang dan memberi arti.”
“Dan kamu sudah melampaui itu semua, Kei.”
Dalam diam, mereka saling menggenggam tangan. Tak butuh banyak kata—hanya keheningan dan hati yang mengerti bahwa cinta yang datang setelah luka… adalah cinta yang tak mudah goyah.
...----------------...
Sore itu, langit Jakarta berwarna jingga keemasan saat Rafael menggenggam tangan Keira di dalam mobil, menuju kediaman orang tuanya. Untuk pertama kalinya sejak semua badai mereda, Rafael ingin memperkenalkan Keira secara resmi kepada keluarganya. Bukan hanya sebagai kekasih, tapi sebagai wanita yang ingin ia nikahi.
“Apa kamu gugup?” tanya Keira sambil tersenyum menahan degup jantungnya.
“Sedikit,” sahut Rafael. “Tapi yang lebih penting, aku mau kamu tahu... kalau apapun yang terjadi di rumah nanti, kamu tetap orang yang paling berharga untukku.”
Keira mengangguk. “Dan kamu juga.”
Kediaman Keluarga Rafael
Setibanya di rumah besar keluarga YZ, Keira disambut hangat oleh Ayah dan Ibu Rafael. Bahkan pelayan rumah ikut tersenyum ramah menyambut tamu istimewa itu. Keira, dengan sikap sopan dan anggun, membuat semua orang terkesan.
Namun suasana berubah dingin ketika seorang wanita tua—Nenek Mardiana, sahabat lama nenek Rafael—muncul dari ruang tengah bersama cucunya, Clarissa.
Clarissa adalah wanita cantik dari keluarga terpandang. Rambutnya tergerai sempurna, wajahnya riasan halus, dan sikapnya seperti bangsawan tua. Sejak kecil, ia sering dipertemukan dengan Rafael dalam acara keluarga. Dan kini, tanpa Rafael tahu, ia dan neneknya kembali muncul dengan harapan yang sama: menjodohkan mereka.
Begitu melihat Rafael masuk bersama Keira, senyum Clarissa langsung menegang.
“Oh… jadi ini wanita yang kau ajak?” ucap Nenek Mardiana datar, menatap Keira dari ujung kepala hingga kaki.
Clarissa tersenyum tipis. “Cantik... dalam cara yang… sederhana.”
Keira hanya tersenyum sopan, menahan diri.
“Clarissa baru saja menyelesaikan studi desain di Prancis. Ia juga aktif dalam kegiatan sosial, sama seperti Rafael dulu,” tambah Nenek Mardiana sambil melirik cucunya penuh harap.
Tapi Rafael menjawab tegas, “Clarissa sahabat masa kecilku. Tapi sekarang aku tidak mencari masa lalu. Aku sudah menemukan masa depan—dan dia ada di sampingku.”
Semua terdiam. Keira menunduk sejenak, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
Malam Lamaran
Usai makan malam, Rafael membawa Keira berjalan ke taman belakang rumah—tempat di mana ia biasa bermain saat kecil.
Dari balik pohon-pohon tua yang rindang, cahaya lilin kecil berkelap-kelip, membentuk jalur menuju satu meja kecil dengan satu kotak beludru di atasnya.
Keira tertegun.
“Aku ingin melakukan ini sejak lama… tapi baru sekarang semesta mengizinkan,” kata Rafael sambil berlutut dan membuka kotak itu—sebuah cincin zamrud tua, warisan ibunya.
“Keira... Will you marry me?”
Air mata Keira tumpah. Ia tak berkata-kata, hanya mengangguk dengan senyum tergetar.
Rafael menyematkan cincin itu ke jarinya, lalu berdiri dan memeluknya erat.
Dari Jendela Lantai Atas
Clarissa berdiri di balik tirai kamar tamu lantai dua. Matanya menyipit melihat kejadian itu.
“Dia tidak pantas untuk Rafael,” gumamnya dingin. “Wanita itu menyihirnya.”
Di belakangnya, Nenek Mardiana memijat pelipis. “Tenang, sayang. Kita belum selesai. Rafael bukan tipe pria yang mudah terpikat… pasti ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu.”
Clarissa menoleh dengan senyum miring. “Dan aku akan cari tahu apa itu.”
Pagi hari setelah lamaran, suasana rumah keluarga YZ tampak tenang di permukaan, tapi ada riak tak terlihat di antara para penghuni. Clarissa, yang semalam menghilang sebelum pesta kecil ditutup, kini muncul dengan tampilan sempurna—gaun putih kasual, senyum manis, dan secangkir teh di tangan.
Keira sedang duduk sendiri di taman kecil, membaca agenda kerja sambil menunggu Rafael yang masih berbicara dengan ayahnya di ruang kerja.
Clarissa melangkah ringan ke arahnya. “Keira, boleh aku duduk?” tanyanya lembut.
Keira menutup buku agendanya, menoleh, dan tersenyum tipis. “Tentu, Clarissa. Silakan.”
Clarissa duduk, mengambil napas dalam. “Aku hanya ingin mengenal calon istri Rafael lebih dekat. Kita akan jadi bagian dari lingkaran yang sama, bukan?”
Keira mengangguk. “Itu hal yang baik. Aku juga ingin mengenal teman-teman lamanya.”
Bersambung
sukses terus thor. . karya mu aku suka👍👍👍👍semangat😇😇💪💪💪