Hanum Salsabiela terpaksa menerima sebuah perjodohan yang di lakukan oleh ayahnya dengan anak dari seorang kyai pemilik pondok pesantren tersohor di kota itu. Tidak ada dalam kamus Hanum menikahi seorang Gus. Namun, siapa sangka, Hanum jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat sosok Gus yang menjadi suaminya itu. Gus Fauzan, pria yang selalu muncul di dalam mimpinya, dan kini telah resmi menikahinya. Namun siapa sangka, jika Gus Fauzan malah telah mencintai sosok gadis lain, hingga Gus Fauzan sama sekali belum bisa menerima pernikahan mereka. “Saya yakin, suatu saat Gus pasti mencintai saya“ Gus Fauzan menarik satu sudut bibirnya ke atas. “Saya tidak berharap lebih, karena nyatanya yang ada di dalam hati saya sampai sekarang ini, hanya Arfira..” Deg Hati siapa yang tidak sakit, bahkan di setiap malamnya suaminya terus mengigau menyebut nama gadis lain. Namun, Hanun bertekad dirinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
"His nyebelin banget sih, Gus." Hanum menatap sebal pria yang berjalan di sampingnya itu, bahkan Gus Fauzan terus mengikuti dirinya kemanapun, membuat Hanum jadi malu sendiri. Apalagi mengingat kejadian tadi yang di saksikan oleh ustadz Dafa dan Ustadzah Rahayu..
"Kamu kenapa sih? Nggak suka banget di ikutin sama saya? Orang itu biasanya seneng, di ikutin sama suaminya, lah malah kamu lain." Sahut Gus Fauzan ketus. Agak kesal karena Hanum seperti tidak senang di dekati dirinya.
Hanum menghela nafasnya kasar. "Saya lagi kerja, loh Gus. Gus juga kenapa kok malah berkeliaran nggak jelas begini? Bukannya Gus harus ke kelas ya?" Ucap Hanum sambil memicingkan matanya.
Gus Fauzan melengos. "Ya suka-suka saya dong. Saya berhak kemanapun. Lagian saya hari ini nggak ada kerjaan. Di gantiin sama ustadz Dahlan."
"Masa'?" Hanum mengernyitkan alisnya, dirinya seperti tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh Gus Fauzan.
"Kamu kenapa kepo banget sih. Udahlah, kamu jalan lagi. Ke ndalem sana, udah sore juga. Jangan berkeliaran nggak jelas, mau tebar pesona sama ustadz." Kata Gus Fauzan mendadak sewot.
Hanum berdecak. "Kenapa kalau saya tebar pesona? Nggak ada salahnya kan, kalau saya tebar pesona? Calon janda kan saya." Kata Hanum sambil kembali berjalan menyusuri lorong pondok pesantren, hari sudah sore dirinya akan kembali ke ndalem.
Rasanya sangat lelah seharian melakukan aktivitas, Hanum ingin beristirahat.
Gus Fauzan memandang Hanum dengan tatapan yang tajam, seolah mata itu bisa menembus jiwa. Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya menonjol, tanda kemarahannya sudah mencapai puncak. "Jangan harap kamu akan jadi janda, karena sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menceraikan kamu," pekiknya dengan suara yang menggelegar, memenuhi lorong yang sepi itu dengan getaran amarah.
Tangannya yang besar menyentak tangan Hanum, yang lembut dan tak berdaya. Hanum terkesiap, terkejut dengan kekuatan cengkeraman suaminya itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, dia tidak pernah menyangka bahwa suaminya, Gus Fauzan, akan bereaksi dengan cara seperti ini.
Hanum menatap suaminya, mencoba mencari apa maksud dari perkataan suaminya itu. "Bukannya kamu mau menikah lagi? Lantas untuk apa aku ada di hidupmu. Jangan mempersulit suatu hubungan Gus, karena saya juga tidak akan mau di madu.." suaranya tergagap, tak mampu melawan otoritas suaminya yang begitu kuat.
Gus Fauzan bergeming, tangannya yang mencengkram erat tangan Hanum tadi melemas. Perkataan Hanum membuatnya tertohok.
Hanum menghapus bulir bening di pipinya dengan kasar, nyatanya mau dirinya berusaha tetap tegar sekalipun, dirinya hanya manusia biasa, apalagi dirinya seorang perempuan yang memiliki sisi lemah.
Hanum tersenyum tipis menatap suaminya yang sikapnya hari ini sangat aneh, bahkan seolah pria itu sudah mencintainya, padahal sama sekali perasaan itu tak akan pernah ada untuk dirinya. Cinta suaminya hanya untuk orang lain.
"Gus, jangan pernah melakukan hal ini lagi, di saat saya sudah ikhlas dengan takdir hidup ini. Saya tidak mau sedikitpun ada kenangan indah apapun itu bersama Gus. Saya sudah pasrah. Terserah Gus mau menikah lagi, saya sudah tidak peduli. Tapi, akhiri hubungan ini, jangan jadikan saya yang kedua." Setelah mengatakan itu Hanum berlari meninggalkan Gus Fauzan yang terpaku di tempatnya. Gus Fauzan bahkan meremas rambutnya dengan kasar, tangannya memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa amat sesak.
Entahlah, perkataan Hanum, membuatnya frustasi. Gus Fauzan seperti tidak ingin kehilangan Hanum.
*
Gus Fauzan menghela nafasnya kasar. Ponselnya bahkan harus di nonaktifkan olehnya karena tidak mau terus menerus di hubungi oleh Arfira. Bahkan gadis itu terus memaksanya untuk menikah.
Gus Fauzan agak heran juga, padahal sebelumnya gadis itu menolaknya. Tapi kenapa sekarang terus meminta dirinya untuk menikah? Mintanya juga maksa, seolah dirinya telah melakukan hal yang membuat Gus Fauzan harus bertanggung jawab.
Gus Fauzan mendesah kasar, memilih mengabaikan ponselnya yang terus berdering, dirinya malah bangkit dari tidurnya, matanya langsung tertuju pada Hanum yang tengah tertidur di atas sofa sana. Padahal dirinya berniat untuk tinggal di rumah yang ada di belakang pondok pesantren ini, namun entah mengapa niat itu sirna, dirinya sama sekali tidak meminta hal itu pada sang Abi.
Dirinya tidak mau membuat jarak dengan Hanun yang akhir-akhir ini tampak sangat berbeda dari biasanya. Gadis itu bahkan bersikap cuek padanya. Walaupun di depan Abi, Ummi dan Ramiah gadis itu tetap melayani Gus Fauzan seperti kewajibannya sebagai seorang istri, tapi saat mereka hanya berdua saja, Hanum bahkan tidak melihat Gus Fauzan, sikapnya yang selalu baik dan penuh perhatian itu membuat gus Fauzan rindu dan merasa kehilangan, saat Hanum seperti saat ini.
Gus Fauzan berjalan menghampiri Hanum, dirinya langsung berjongkok di bawah sana, matanya menatap lekat wajah cantik yang damai saat tidur itu.
Gus Fauzan tersenyum, saat menyadari betapa sangat cantiknya istrinya itu. Sudah cantik, baik lagi, bahkan sangat penuh perhatian.
Tangan Gus Fauzan terulur membelai lembut pipi putih bersih itu. "Cantik begini" Gus Fauzan terkekeh kecil. Matanya memanas saat mengingat kejadian beberapa hari sebelumnya, saat dirinya memperlakukan Hanum dengan tidak baik. Bahkan, Gus Fauzan juga pernah membentak istrinya itu. Mengingat itu rasa sesal terus mengakar di dalam hatinya.
"Maaf. Maafkan saya, karena saya sudah tidak memperlakukan kamu dengan baik." Ucap Gus Fauzan dengan suara lirihnya.
Sampai beberapa menit, dirinya tersentak saat melihat Hanum membuka matanya. Gus Fauzan langsung membulatkan kedua bola matanya.
Hanum sungguh terkejut, dirinya memang terbangun karena ingin buang air kecil, dan siapa sangka saat membuka matanya, Hanum malah melihat wajah suaminya tepat ada di depannya. Hanum sama sekali tidak mendengar apa yang di katakan oleh suaminya tadi.
"Gus, ke-kenapa kok di sini?" Tanya Hanum sambil bangkit dari sofa itu, dan agak sedikit meringsut menjauh dari Gus Fauzan.
Gus Fauzan berdekhem, dirinya seperti maling yang ketahuan. Keringat dingin bahkan sudah mengucur deras di keningnya. "Emm itu..."
"Kenapa?" Tanya Hanum, yang tadinya Hanum ingin buang air kecil jadi urung saat melihat suaminya itu.
Gus Fauzan semakin bingung ingin beralasan apa. Namun seutas ide muncul di dalam kepalanya. Gus Fauzan dengan tiba-tiba memegang perutnya.
"Aduh... Saya sa-sakit perut." Kata Gus Fauzan-berekting kesakitan.
Hanum langsung panik, apalagi saat melihat keringat dingin yang membanjiri kening suaminya itu. Pasti suaminya sedari tadi menahannya, dan malu mau membangunkan dirinya. Itu persepsi Hanum.
Hanum langsung mendekat. "Gus tiduran aja. Sakit banget ya? Biar saya ambilkan air hangat sama obat ya." Kata Hanum.
Gus Fauzan mengangguk, berekspresi lemas. "Saya udah bolak-balik ke kamar mandi. Bahkan ini sudah yang ke lima kalinya. Aduuuh sakit banget, saya lemas... Nggak kuat jalan." Kata Gus Fauzan, berharap di papah oleh Hanum, dan berpura-pura tak sanggup bangun.
Hanum langsung membantu suaminya itu, "maaf ya Gus, terkesan lancang," kata Hanum karena sudah menyentuh tubuh suaminya.
Gus Fauzan mengangguk, membiarkan Hanum memapahnya, harum tubuh gadis itu menyeruak membuat Gus Fauzan ingin bersorak gembira. Tapi dirinya harus berpura-pura sakit.
"Aduhhh sakit banget."
"Mau ke rumah sakit aja, Gus? Biar saya bilang sama Abi."
"Eh nggak perlu. Cuman sakit perut, kasihan Abi dan ummi yang pasti udah tidur." Kata Gus Fauzan sambil menidurkan dirinya di ranjang sana, dan dengan sengaja menabrakkan bibirnya pada pipi Hanum saat Hanum membungkuk.
Hanum jelas tentu terkesiap, ingin protes tapi melihat wajah kesakitan suaminya, Hanum tidak jadi. Hanum berpikiran mungkin saja itu tidak sengaja.
"Saya ke dapur dulu, mau ambil obat sama air hangatnya." Ucap Hanum setelah menyelimuti Gus Fauzan.
Gus Fauzan mengangguk lemah, dan setelah melihat kepergian Hanum, Gus Fauzan langsung tersenyum lebar. Bahkan dirinya sampai memegangi bibirnya yang habis mencium pipi Hanum. Wajahnya bahkan merah merona mengingat kejadian tadi.
Rasanya Gus Fauzan ambyar...
*
Pagi itu benar-benar cerah, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah-celah daun yang bergerak lembut ditiup angin. Cahaya itu memecah kegelapan, menciptakan pola yang memukau di tanah yang masih basah oleh embun pagi. Setiap tetes embun di rumput tampak seperti mutiara yang berkilau, menyinari taman yang baru saja terjaga dari tidur malamnya.
Sinar matahari yang hangat itu juga menambah kejernihan pada warna-warna bunga yang mulai mengembang, merah muda, kuning, dan biru terlihat lebih hidup dibawah langit yang biru cerah. Udara pagi yang segar mengisi paru-paru dengan kesegaran, sementara kicauan burung menyambut hari baru dengan melodi yang ceria.
Hanum berjalan pelan menuju ke sudut pondok pesantren, dirinya ingin mengecek santri perempuan yang takutnya ada yang kabur, ataupun ada yang melanggar peraturan.
Namun, tiba-tiba dirinya di buat tersentak saat mendengar suara rintihan seseorang. Hanum langsung berjalan cepat menuju ke sebuah toilet yang ada di ujung sana. Toilet itu jarang sekali di pakai. Karena letaknya di ujung paling sudut pondok pesantren itu. Biasanya mereka-mereka lah yang ketahuan melanggar peraturan pondok pesantren yang ada di sana. Sekadar sembunyi atau lain sebagainya.
Jangan heran, jika santri perempuan begitu juga, karena mereka ada juga yang bandel.
"Astaghfirullah," Hanum memekik saat melihat seorang santri perempuan sudah jatuh di lantai sana, pandangannya langsung mengarah pada kaki perempuan itu yang mengeluarkan darah. Bahkan seragamnya juga penuh dengan darah.
"Kamu kenapa?" Tanya Hanum cemas sambil mendatangi santri perempuan itu.
Santri itu merintih. "To-tolong saya, Ning. Saya tadi ja-jatuh." Kata santri itu.
Hanum menganggukkan kepalanya. Saat ingin membantu memapah santri itu, santri itu tidak tahan berjalan.
"Saya cari bantuan." Kata Hanum dan langsung berlari pergi dari sana.
Sampai beberapa menit Hanum berlari, dirinya malah tidak sengaja bertemu dengan ustadz Dafa.
"Ustadz tolong saya."
"Ning Hanum kenapa? Ada apa?"
"Ustadz ikut saya." Kata Hanum, dan ustadz Dafa pun mengikuti Hanum.
*
"Ini nggak apa-apa kalau kita pergi? Nanti Gus Fauzan marah lagi" kata ustadz Dafa yang tak enak sebab kejadian kemarin. Bahkan Gus Fauzan saat berpas-pasan sama dia jadi menatapi dirinya datar. Tidak ada raut wajah ramah sama sekali. Hanya menjawab salamnya saja. Lalu melengos pergi. Ustadz Dafa jadi merasa tak enak hati jika jadi seperti itu. Padahal dirinya tidak ada hubungan apapun dengan Hanum.
Hanum jadi meringis merasa bersalah tentunya. "Maafkan saya, ustadz. Tapi keadaannya juga genting. Santriwati juga harus di bawa ke rumah sakit. Saya juga kurang tau cara ngobatinnya gimana. Kalau di biarkan bagaimana keadaan santri ini?" Sahut Hanum sambil melirik ke arah santri perempuan yang sedang merintih kesakitan. Tadi santri itu jatuh di kamar mandi, dan mengakibatkan pendarahan.
Ustadz Dafa jadi bimbang, dirinya bingung harus bagaimana, ustadz dan ustadzah yang lain sedang sibuk pada urusan mereka masing-masing, ustadzah Rahayu juga saat ini sedang pulang ke rumahnya.
"Aduhh" teriak santriwati itu, sambil memegangi perutnya yang terasa sakit.
"Astaghfirullah, darahnya banyak sekali. Ustadz, tolong segera bawa mobilnya!" Kata Hanum.
Tanpa pikir panjang, Ustadz Dafa langsung mengangguk, masuk ke dalam mobil dan melajukan mobil itu. Sedangkan Hanum sibuk dengan berdzikir sambil memangku kepala santri itu.
*
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Sahut ummi Sekar dan Gus Fauzan langsung menyalami tangan ummi-nya itu.
"Ummi lagi apa?" Tanya Gus Fauzan saat melihat umminya yang sibuk sekali.
"Ini lagi bikin kue,"
"Hanum kemana? Kok nggak di bantu Hanum aja? Tadi juga Fauzan nggak lihat dia di kantor."
"Astaghfirullah, maaf nak, ummi lupa bilang sama kamu, tadi Hanum hubungi ummi, katanya dia lagi antar santri perempuan yang jatuh di toilet."
Gus Fauzan tersentak. "Loh, dia kok nggak hubungi Fauzan, juga di kantor nggak ada heboh tuh."
Ummi Sekar menggelengkan kepalanya. "Ummi juga nggak tau."
"Dia pergi sama siapa?" Tanya Gus Fauzan.
"Sama ustadz Dafa tadi katanya."
Dan yakinlah, Gus Fauzan langsung melotot dengan rahang yang mengeras.
ada yah Gus macam itu
🤦🤦🤦🤦
bikin Emosi dan Kesel soal Gus Abal-abal yg sok Suci dan Bener itu 😡😤
biar ucapannya dilihat sendiri... siapa yg demikian hina nya melakukan apa yg dituduh kan nya itu 😡😡😡😤
itulah akibat nya, bergaul dengan lawan jenis walau disebut Klien..
intinya Barangsiapa telah melanggar aturan Alloh, pasti ada Akibat yg di Tanggung nya !!!