NovelToon NovelToon
Milikku Selamanya

Milikku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / CEO Amnesia
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: erma _roviko

Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.

Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanya kau dan aku!

Cahaya pagi menyaring tirai gading di ruang kerja townhouse. Udara terasa dingin, tetapi ketegangan di antara Erick dan Aluna jauh lebih dingin. 

Erick sedang dalam rapat online penting, suara para eksekutif bersahutan dari speaker laptop. Aluna duduk tepat di sampingnya, di sofa kulit yang mewah, mengawasi setiap gerak-gerik suaminya, sebuah rutinitas yang kini menjadi kebutuhan mutlak.

Di tengah kebosanan formalitas bisnis yang asing, Aluna menerima notifikasi email.

Jantungnya melonjak saat melihat nama pengirim, seorang kolega lama yang kini mengepalai proyek konstruksi di luar kota. 

Aluna membuka email itu perlahan, seolah sedang membuka amplop berisi nasib.

Tawaran itu jelas dan menggiurkan, Project Manager untuk sebuah mega-proyek perumahan yang ambisius, dengan kebebasan desain yang hampir mutlak. Ini adalah proyek impian yang ia dambakan sepuluh tahun lalu, sebelum kariernya dibekukan oleh pernikahan dan tuntutan perusahaan.

Email itu bukan hanya tawaran kerja; itu adalah pintu keluar. Sebuah kesempatan untuk membuktikan bahwa Aluna masih Aluna yang idealis, seorang arsitek yang mampu meninggalkan jejak. Itu juga adalah kesempatan untuk melarikan diri dari bom waktu memori Erick, dari Bima yang mengintai, dan dari kepalsuan yang manis ini.

Aluna menatap layar, tangannya gemetar. Tangannya yang sekarang sering digunakan untuk mengelus kepala Erick, kini ingin meraih mouse untuk membalas. 

“Ya, saya terima.”

Ini adalah ujian nyata. Maukah ia memilih kebebasan, karier, dan kejujuran pada dirinya sendiri, atau ia memilih cinta posesif, keamanan finansial, dan kebohongan yang manis yang menjamin kehangatan di sisinya?

Di sampingnya, Erick menyelesaikan kalimatnya dengan nada tajam.

“... so, finalize the deal by the end of the day. No compromises.” Ia memejamkan mata, memijit pelipisnya.

Aluna menyingkirkan laptopnya, senyumnya dingin dan terkontrol. Ia tahu satu-satunya cara untuk menguji kedalaman cinta Erick yang sekarang adalah dengan mengancam satu-satunya hal yang ia takuti, ditinggalkan.

Aluna menunggu hingga malam tiba. Ia memilih momen yang tenang, momen intim yang dipenuhi kehangatan palsu. 

Erick memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di bahu Aluna, nafasnya teratur dan tenang. 

Aluna merasakan keamanan yang begitu rentan dalam pelukan itu.

“Rick,” panggil Aluna pelan, memastikan ia mendapatkan perhatian penuh suaminya.

“Ya, Sayang?” suara Erick terdengar mengantuk dan manja, kehangatan itu memabukkan.

“Aku mendapat tawaran kerja hari ini.”

Aluna merasakan tubuh Erick langsung menegang di belakangnya. 

Itu bukan lagi tegangan yang lembut, tapi kekakuan yang tiba-tiba, dingin, dan asing, seperti kawat baja yang tiba-tiba muncul di antara mereka. 

Kehangatan lenyap, digantikan oleh kebekuan yang familiar, kecepatan perubahan suasana hati yang ia takuti sejak insiden sentuhan bekas luka itu.

Erick tidak melepaskan pelukannya, tetapi cengkeramannya di pinggang Aluna menguat, hampir menyakitkan.

“Proyek besar di kota X,” lanjut Aluna, berusaha menjaga nada suaranya seringan mungkin, seolah ini adalah topik dekorasi rumah baru. 

“Itu proyek arsitektur perumahan yang sangat besar. Aku bisa mendapatkan kebebasan penuh dalam mendesain, yang tidak pernah kudapatkan di sini.”

Erick tidak menjawab, tapi keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada penolakan apa pun. 

Aluna bisa merasakan detak jantungnya sendiri berpacu dengan kencang di dada. Ia merasakan dirinya sedang menekan tombol merah besar.

“Rick?” tanya Aluna.

Erick akhirnya berbicara, suaranya rendah, tanpa gairah, dan dipenuhi ancaman yang terselubung. 

“Aluna, apa yang kau bicarakan?”

“Ini proyek yang bagus, Sayang. Aku bisa mengunjungimu setiap akhir pekan, atau kau bisa datang ke sana. Hanya beberapa bulan, sampai proyek desainnya selesai—”

Erick membalikkan Aluna menghadap dirinya dengan paksa. Matanya gelap, tidak ada lagi kehangatan yang tersisa di sana. Itu adalah pandangan dari pria yang baru sadar bahwa ia telah kehilangan sepuluh tahun hidupnya.

“Kau tidak akan pergi,” ucap Erick. Itu bukan permintaan, itu adalah perintah mutlak. Suaranya datar, tanpa emosi, sebuah resonansi dari CEO yang kejam.

“Kenapa tidak? Aku hanya ingin menggunakan keahlianku. Aku arsitek, Rick, bukan hiasan rumah!” Aluna mencoba memprotes, meski ia tahu pertarungan ini tidak akan dimenangkan dengan logika.

“Aku tidak mengizinkanmu. Kau tidak akan meninggalkanku!” ulang Erick.

Nada bicara Erick kini berubah, dari sekadar perintah menjadi kepahitan yang dipenuhi trauma. Ia menekan keningnya ke kening Aluna, matanya terpejam seolah sedang menahan rasa sakit fisik yang luar biasa.

“Aku baru saja bangun, Lun. Aku baru saja menyadari bahwa ada sepuluh tahun yang hilang! Sepuluh tahun yang kosong! Aku sudah kehilangan semuanya—perusahaanku, memoriku, mungkin harga diriku!” Suaranya bergetar, kini lebih rapuh, lebih manusiawi. 

“Aku tidak akan membiarkanmu mengambil satu-satunya jangkar yang kumiliki di tahun sialan dua ribu dua puluh lima ini.”

Erick membuka matanya. Pandangannya kini memohon, penuh air mata yang tertahan, tetapi kata-katanya penuh ancaman.

“Kau tidak akan pergi. Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku lagi.”

Kata ‘lagi’ itu menghantam Aluna seperti pukulan keras. Itu bukan sekadar penolakan karier, melainkan  trauma amnesianya. Dalam pikirannya, jika Aluna pergi sekarang, itu berarti mengulangi kehilangan dirinya selama sepuluh tahun yang tidak ia ingat. 

Aluna adalah miliknya, satu-satunya bukti nyata dari realitasnya, dan meninggalkannya berarti menghancurkan pondasi Erick yang baru.

Aluna melihat tatapan trauma yang bercampur keposesifan yang tak terkendali di mata Erick dan ia menyadari kebenaran yang tak terhindarkan, ia tidak sedang bernegosiasi dengan suaminya tentang perencanaan karier. Ia sedang menenangkan seorang pria yang jiwanya hancur dan rentan.

Melihat betapa dalamnya ketergantungan ini, ambisi Aluna yang baru saja bangkit kembali langsung mati. Keinginan untuk membuktikan diri di kota X terasa hambar dan tidak berarti, seperti angin lalu, dibandingkan dengan kekuatan cinta posesif yang melingkupinya.

Aluna meletakkan kedua tangannya di pipi Erick, ibu jarinya membelai tulang pipi suaminya, memaksanya menatapnya. Wajahnya kini lembut, tetapi penuh penegasan yang mutlak.

“Baik, Rick. Aku tidak akan pergi,” ucap Aluna, suaranya mantap, penuh kesediaan.

Air mata Aluna menetes, bukan karena kesedihan atas kariernya yang hilang, tetapi karena pengakuan betapa besar harga yang harus ia bayar untuk cinta yang begitu posesif dan mutlak ini.

“Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan menolak tawaran itu sekarang juga. Aku akan tetap di sini, di sampingmu.”

Mendengar konfirmasi ini, ketegangan di tubuh Erick perlahan mengendur. Matanya kembali hangat, dipenuhi rasa terima kasih dan lega yang luar biasa. Posesifnya telah menang, dan Aluna telah secara sadar memilihnya.

“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” bisik Erick, suaranya serak. Ia memeluk Aluna erat, membenamkan wajahnya di leher istrinya. “Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.”

Aluna mengambil laptopnya dari nakas. Di depan Erick, ia membuka email dari kota X. Jari-jarinya menari di atas tuts, mengetik balasan yang menandai akhir dari impian lamanya.

Erick membaca setiap kata email itu dari bahu Aluna. Setelah Aluna menekan tombol kirim, ia menutup laptopnya. 

Erick memeluknya dari belakang, mencium lehernya dengan penuh gairah dan kepemilikan.

“Sekarang, kau milikku sepenuhnya,” bisik Erick, suaranya serak, penuh kemenangan yang manis. “Hanya aku dan kau, Aluna. Tidak ada kota X. Tidak ada proyek impian.”

“Hanya aku dan kau,” ulang Aluna, memejamkan mata. Ia telah menutup pintu terakhir ke kebebasan masa lalunya. Ia sekarang terperangkap dalam sangkar emas, tetapi ia adalah tawanan yang dicintai dengan cinta yang absolut.

1
kalea rizuky
lanjut donk
erma _roviko: Siap👍
total 1 replies
kalea rizuky
Aluna pura2 bahagia g enak mending jujur trs cerai biar aja erik gila sebel q liat laki. gt
Soraya
hadiah pertama dari q lanjut thor
erma _roviko: siap😍😍
total 1 replies
Soraya
mampir thor
erma _roviko: Makasih kak😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!