Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Roni Hutagalung sudah berhasil ditangkap polisi. Secepatnya, proses penyelidikan dilakukan oleh Farhan bersama tim agar kasus bisa cepat diselesaikan.
Yuniza yang melihat langsung sosok Roni, jelas saja tertegun. Tubuh pria itu berisi, kepala setengah pelontos, serta memakai kacamata. Tentu tak jauh beda dengan ciri-ciri fisik yang dikatakan oleh Karmina.
Setelah proses penyelidikan sudah rampung, Roni Hutagalung ditetapkan sebagai tersangka dalang pembunuhan Andika. Pria itu keluar dari ruang penyidik dengan memakai borgol dan didampingi oleh empat anggota kepolisian.
Yuniza bergegas menghampiri Farhan yang sedang membereskan berkas-berkas. Farhan segera menoleh ketika menyadari kedatangan sang dokter forensik di ruangannya.
"Bagaimana? Apakah benar Roni Hutagalung dalang utamanya?" tanya Yuniza penasaran.
Farhan mengangguk. "Dia beralibi, kalau suami Anda akan menjadi saingan terberatnya tahun ini. Dia takut posisinya sebagai manajer umum digantikan oleh suami Anda. Selain itu, Pak Roni juga khawatir kalau kejahatan serta perselingkuhannya terungkap ke publik. Dia menyuruh rekan Pak Andika mencari berkas-berkas rahasia ini di kantor dan menghabisinya."
"Jadi, benar apa yang dikatakan Karmina?" lirih Yuniza termangu.
"Memangnya apa yang dikatakan anak sekolah itu sama Dokter Yuniza?" tanya Farhan mengerutkan dahi.
"Dia mengatakan semua yang Pak Farhan dengar dari Pak Roni. Dari berkas-berkas yang disimpan suami saya, sampai ciri-ciri fisik pelaku sebenarnya," jelas Yuniza memandang Farhan.
Farhan tertawa seraya berkata, "Itu semua cuma kebetulan saja, Dokter Yuniza. Siapa saja boleh berasumsi, tapi jika tidak ada bukti, semua itu tidak akan bisa dijadikan petunjuk."
"Tapi buktinya ada loh, Pak Farhan. Berkas-berkas yang disimpan suami saya misalnya. Apa mungkin Karmina ini anak indigo?" sanggah Yuniza tercengang.
"Anda sebaiknya jangan terlalu percaya dengan hal-hal mistis. Anda ini dokter, sudah seharusnya Anda berpikir lebih logis ketimbang percaya pada hal mistis," ujar Farhan disertai senyum geli.
"Apa Pak Farhan lupa? Saya ini dokter forensik. Di ruangan saya, sesuatu yang logis terkadang berkaitan langsung dengan hal mistis. Menurut saya, segala sesuatu tidak selalu harus dijelaskan oleh logika, termasuk dalam memecahkan suatu kasus. Terkadang, saya didatangi oleh seseorang yang telah tiada, bahkan sempat saya autopsi. Malamnya, saya mendapatkan pentunjuk berupa mimpi dari kilas balik peristiwa kematian orang itu," jelas Yuniza bersikukuh. "Apa itu belum cukup membuktikan, kalau kita perlu mempertimbangkan hal di luar logika untuk memecahkan sebuah kasus?"
Mendengar penuturan Yuniza, Farhan mengangguk takzim. "Saya menghargai pendapat Anda soal itu. Namun, sekali lagi saya tegaskan di sini. Sebagai anggota reserse, saya bertugas berdasarkan petunjuk, keterangan saksi, serta bukti-bukti yang ada. Saya harap, Anda juga bisa menghargai pemikiran saya."
Yuniza mengembuskan napas lemah dan mengangguk pelan. Ditatapnya Farhan dengan tersenyum tipis seraya berkata, "Baiklah, Pak. Bagaimanapun juga, saya berterimakasih banyak atas kinerja Pak Farhan bersama tim. Berkat kerja keras Bapak, semua pelaku kejahatan yang menghabisi suami saya berhasil ditangkap."
"Saya juga berterimakasih banyak atas bantuan Bu Yuniza dalam memberikan bukti-bukti baru sampai kasus ini terang benderang," ucap Farhan membalas senyum Yuniza.
"Sebaiknya Anda sampaikan terimakasih itu pada Karmina. Berkat anak itu, saya tahu, kalau kasus ini lebih berat dari yang saya duga," ujar Yuniza. "Saya pamit dulu, Pak Farhan. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," jawab Farhan.
Selepas Yuniza pergi, Farhan termenung sejenak di kursinya, memikirkan ucapan Yuniza mengenai Karmina. Sepertinya ia perlu sedikit melunakkan hati agar bisa memahami ucapan gadis SMA itu. Akan tetapi, ketika ia kembali lagi pada prinsipnya dalam mengagungkan logika, pria itu tak bisa menerima ucapan seorang gadis indigo yang bertentangan dengan pemikirannya.
Di tengah lamunannya, seorang anggota kepolisian tiba-tiba masuk ke ruangan Farhan. Seketika, pria tampan dengan rambut rapi yang selalu klimis itu terkejut bukan main menyadari kedatangan temannya.
"Hayooo ... lagi mikirin apa lu? Pasti kepikiran sama Yuniza, kan?" goda pria berseragam kepolisian itu.
"Dih! Apaan, sih? Gua lagi mikirin hal lain!" bantah Farhan gelagapan.
"Alah, nggak usah gengsi deh. Kalau lu suka sama Yuniza dari lama, sekarang waktunya deketin dia lagi. Mumpung udah nggak ada suami," ujar temannya itu.
"Lu tuh, ya ...." Farhan menggeleng cepat sembari menahan tawa geli. "Yuniza baru aja ditinggal mati suami, keadaannya masih beduka. Yang bener aja gua deketin dia? Hadeh ...."
"Siapa tahu, kan, dia butuh teman buat pelipur lara. Ayo, Farhan! Ini kesempatan bagus buat lu!" tuntut temannya menggoda.
"Enggaklah. Masih butuh waktu. Apa-apa itu harus dipikirkan matang-matang sampai tepat pada waktunya," sanggah Farhan dengan bijak.
"Tapi mau sampai kapan? Sampai dia bener-bener nggak berduka lagi gitu? Ah, palingan lu keduluan lagi sama cowok lain," ketus pria berseragam polisi itu.
"Itu nggak bakal terjadi. Lagipula, sekarang dia udah punya anak. Selain harus mencintai Yuniza, gua juga harus sayang sama anaknya, kan," jelas Farhan sesekali melirik temannya, sambil memasukkan berkas penyidikan ke dalam map.
"Terserah lu aja, deh. Yang penting lu nggak kelamaan ngejomblo. Bisa-bisa lu keduluan nikah sama anak-anak sekolahan yang kena kasus kemaren tuh," ucap temannya sambil melipat tangan.
Farhan tersenyum, kemudian beranjak dari ruangannya. Memang, kesempatan mendapatkan hati Yuniza terbuka lebar saat ini. Akan tetapi, ia harus berpikir matang-matang sebelum akhirnya memutuskan sesuatu yang penting mengenai masa depannya.
***
Sepulang sekolah, Dewa langsung datang ke rusun kediaman Franky. Tanpa berbasa-basi, lelaki itu mengemas barang-barangnya ke dalam tas.
Franky yang baru saja kembali dari warung, tertegun mendapati Dewa begitu tergesa-gesa memasukkan pakaian ke dalam sebuah tas besar. Dihampirinya anak lelaki itu sambil mengenyitkan kening.
"Kamu mau ke mana, Dewa?" tanya Franky memandang Dewa dengan heran.
"Saya mau pulang ke rumah, Bos," jawab Dewa sembari menutup ritsleting tas.
"Apa?" Franky terperangah. "Kondisi rumah kamu belum aman, Dewa. Kenapa kamu berani pulang ke sana?"
"Saya sudah membuat kesepakatan dengan Bu Wilda, istrinya Sahar Muzakir agar menarik para pengintai sialan itu dari rumahku," jelas Dewa menoleh pada Franky.
"Kapan kalian membuat kesepakatan? Apa kamu sengaja datang ke rumah Sahar?"
Dewa tersenyum tipis seraya berkata, "Saya tidak seceroboh itu, Bos. Saya membuat kesepakatan saat ada kesempatan."
"Memangnya kamu sempat bertemu dengan istri Sahar?"
"Ya. Kemarin, di kantor polisi. Saya sengaja mengancamnya jika dia nggak mau menarik para pengintai dari rumah saya. Bukankah kita punya bukti penjualan kosmetik berbahaya milik Bu Wilda?"
Franky tercengang dan berkata, "Kamu mengancamnya dengan bukti penjualan kosmetik punya dia? Astaga!"
"Iya."
"Bagaimana kalau dia berusaha melenyapkan kamu karena mempunyai bukti itu? Bukannya kamu bertekad untuk tetap hidup sebelum dendam kamu terbalaskan?" cecar Franky, merasa khawatir.
"Tenang saja, Bos. Saya sudah memikirkan antisipasi mengenai hal itu," jawab Dewa dengan santai, sambil menggendong tas berisi pakaian dan buku pelajarannya.
Franky mendesah kasar sambil menggeleng lemah. Ia tak habis pikir, anak buahnya nekat melakukan hal berbahaya tanpa memikirkan beberapa risiko.
"Lagi pula, saya percaya pada Tuhan Maha Pelindung. Bukankah dalam kepercayaan Bos juga begitu?" imbuh Dewa.
"Ya, saya percaya dengan itu. Saya tidak pernah sangsi dengan kuasa Yesus Kristus," jawab Franky.
Dewa tersenyum sembari mengangguk takzim. "Kalau begitu, izinkan saya pulang ke rumah. Saya yakin, Tuhan akan selalu melindungi saya di mana pun saya berada."
Franky mengembuskan napas pelan, sambil menatap Dewa dengan iba. "Baiklah. Kamu tetap waspada dan berhati-hati, ya. Atau mau saya suruh Pace buat nemenin kamu di rumah buat berjaga-jaga?"
"Nggak perlu, Bos. Saya bukan pangeran kerajaan yang harus dilindungi. Biarin aja Pace melakukan tugasnya dengan baik. Kalau sampai dia ketahuan merakit senjata di rumah saya, saya khawatir organisasi kita terbongkar ke publik," sanggah Dewa.
"Baiklah. Jaga diri kamu baik-baik, ya," ujar Franky menepuk pundak anak buahnya. "Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya. Oke?"
Dewa mengangguk dan tersenyum. Selanjutnya, ia berpamitan meninggalkan kediaman Franky.
Sementara Dewa menuruni tangga dan meninggalkan rusun, Franky termangu memandangi kepergian anak buahnya. Terbesit rasa iba, ingin menggantikan sosok ayah bagi anak buahnya yang sudah yatim piatu itu. Namun, di sisi lain, ia juga tak bisa menahan Dewa yang memutuskan ingin hidup mandiri.
Dewa melajukan motornya secepat kuda. Hatinya tak sabar ingin segera tiba di rumah yang sudah lama tak ditempati semenjak Jordi meninggal.
Setibanya di depan rumah, Dewa menghentikan motornya dengan mata terbelalak. Keinginan untuk menghuni kediamannya seakan tertahan oleh kehadiran Bu Wilda dan dua orang pria berbadan tinggi besar.
Alih-alih kembali ke rusun, Dewa turun dari motornya dan membuka helm. Dihampirinya wanita yang sedang duduk di beranda rumah dengan dada berdebar-debar.
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya Dewa menatap Bu Wilda yang beranjak dari kursi teras rumah.