Bella, seorang gadis ceria berusia 21 tahun, diam-diam menyukai Alex, pria berusia 33 tahun yang sukses menjalankan perusahaan keluarganya. Perbedaan usia dan status sosial membuat Bella menyadari bahwa perasaannya mungkin hanya akan bertepuk sebelah tangan. Namun, ia tak bisa mengingkari debaran jantungnya setiap kali melihat Alex.
Di sisi lain, Grace, seorang wanita anggun dan cerdas, telah mencintai Alex sejak lama. Keluarga mereka pun menjodohkan keduanya, berharap Alex akhirnya menerima Grace sebagai pendamping hidupnya. Namun, hati Alex tetap dingin. Ia menolak perjodohan itu karena tidak memiliki perasaan sedikit pun terhadap Grace.
Ketika Alex mulai menyadari perhatian tulus Bella, ia dihadapkan pada dilema besar. Bisakah ia menerima cinta dari seorang gadis yang jauh lebih muda darinya? Ataukah ia harus tetap berpegang pada logika dan mengikuti kehendak keluarganya? Sementara itu, Grace yang tak ingin kehilangan Alex berusaha sekuat tenaga untuk memiliki Alex.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Lebih
Saat obrolan dengan teman-teman Grace semakin membosankan
Alex mengangkat ponselnya di bawah meja dan mulai mengetik pesan cepat ke William:
"William, tolong telepon aku dalam lima menit. Alasan kerjaan urgent di kantor. aku perlu alasan buat pergi dari sini."
Tidak butuh waktu lama, ponsel Alex bergetar. Dengan ekspresi serius, dia langsung mengangkatnya.
"Halo, ya? Ada apa, Will?" suaranya terdengar sedikit tegang, seolah benar-benar sedang menghadapi masalah kantor.
Sambil mendengarkan "penjelasan" dari William, Alex mengangguk-angguk, lalu menghela napas panjang. "Serius? Oke, aku langsung ke sana."
Semua mata di meja tertuju pada Alex. Grace langsung memasang wajah curiga. "Kantor? Ini hari Minggu, Alex."
Alex memasukkan ponselnya ke saku dan menatap Grace dengan ekspresi lelah. "Kalau urusannya mendesak, nggak ada libur, Grace. Ini soal keuangan perusahaan. Aku harus beresin sebelum Senin."
Grace masih ingin protes, tapi teman-temannya mulai saling berbisik, merasa tidak enak menahan Alex lebih lama.
Alex berdiri, mengambil jaketnya yang tersampir di sandaran kursi. "Kamu pulang aja sama teman-temanmu. Aku pergi dulu."
Grace tidak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum tipis. "Oke, hati-hati."
Alex hanya mengangguk lalu pergi, meninggalkan Grace dan teman-temannya yang masih duduk di sana. Begitu dia keluar dari restoran, dia menghela napas lega.
Bebas.
Tapi sekarang, mau ke mana? Ke kantor beneran atau ke tempat lain?
Alex berdiri di parkiran, menatap layar ponselnya setelah mengirim pesan kepada Edward. Beberapa detik kemudian, balasan masuk.
Edward: Sore ini aku bisa, sekarang lagi beresin perlengkapan musik buat dipindahin ke studio. Mungkin kita bisa ngobrol di sela-sela itu?
Alex tersenyum tipis. Ia mengetik balasan dengan cepat.
Alex: Oke, aku datang sore ini. Sekalian lihat-lihat studio baru.
Edward membalas dengan emoji jempol.
Alex memasukkan ponselnya ke saku. Ada sedikit rasa antusias dalam dirinya. Entah kenapa, berbicara dengan Edward selalu terasa lebih santai dibandingkan dengan orang-orang lain di sekitarnya.
Setelah mengirim pesan kepada Edward, Alex memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah. Ia ingin mengganti mobilnya dengan Ford pickup miliknya, supaya Edward bisa lebih mudah membawa perlengkapan musik ke studio.
Sesampainya di rumah, ia langsung menuju garasi. Dengan cepat, ia mengganti mobil sedan mewahnya dengan Ford pickup yang jarang ia gunakan. Mesin dinyalakan, dan Alex melaju kembali ke jalan dengan perasaan tenang.
Saat mobil Alex berhenti di depan rumah Edward, Bella yang kebetulan duduk di dekat jendela langsung melihatnya. Matanya membesar, hatinya sedikit berdebar.
"Bang! Kak Alex datang!" serunya, buru-buru bangkit dari duduknya.
Edward yang sedang mengemas segera keluar. "Seriusan?"
Mereka berdua berjalan ke teras, tepat saat Alex turun dari mobil pickupnya. Dengan santai, Alex melepas kacamata hitamnya dan menyeringai melihat Edward.
"Mobilnya udah aku bawa. Kamu tinggal membawanya ke mobil" kata Alex, menepuk kap mobilnya.
Edward tersenyum lebar. "Gila, bro! Kamu nggak perlu repot-repot gini juga."
Bella diam di samping Edward, memperhatikan Alex.
"Sekalian masuk aja dulu, Kak," ucap Bella akhirnya.
Alex meliriknya sebentar sebelum mengangguk. "Boleh juga, aku haus."
Bella diam-diam merasa senang bisa melihat Alex lagi. Dia menyajikan minuman untuk mereka.
Setelah menyajikan minuman, Bella kembali sibuk mengemas barang-barang yang akan dibawa ke studio. Tangannya lincah melipat kain, memasukkan beberapa kabel ke dalam tas, dan menyusun beberapa buku musik ke dalam kardus. Tapi sesekali, tanpa sadar, matanya melirik ke arah Alex yang sedang asik mengobrol dengan Edward.
Alex tampak begitu santai, duduk dengan satu kaki disilangkan di atas kursi, sementara tangannya memegang gelas minuman. Senyumnya beberapa kali terlihat saat ia tertawa kecil mendengar cerita Edward. Ada sesuatu dalam cara Alex berbicara dan tertawa yang membuat Bella tanpa sadar memperhatikannya lebih lama.
Saat Bella menunduk untuk merapikan satu kotak lagi, ia merasakan tatapan seseorang. Ketika ia menoleh, ternyata Alex sedang menatapnya. Mata mereka bertemu.
Bella langsung pura-pura sibuk, mengambil barang di dekatnya tanpa melihat apa itu. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat.
Edward, yang menyadari interaksi kecil itu, hanya tersenyum kecil. Lalu mengatakan,"Lex, mungkin nanti Bella akan sering ikut aku ke studio untuk membereskan studio, tau sendirikan cowok mana ada yang apik."
Alex tersenyum tipis, lalu menatap Bella sebelum berkata dengan nada santai, "Ya nggak masalah. Malah bagus."
Bella cepat-cepat menunduk, wajahnya sedikit memanas. Ia tidak tahu apakah Alex hanya bercanda atau memang serius. Tapi yang pasti, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan cara pria itu melihatnya hari ini.
_____
Sementara di mall, Grace duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap teman-temannya dengan kesal. “Gue udah bilang dari awal, kalian itu seakan baru ketemu gue, jadi tanya kenapa gue bisa sama Alex di mall! Kenapa kalian malah gitu sih?” suaranya sedikit ditahan agar tidak menarik perhatian orang di sekitar.
Sandra, yang duduk di sebelahnya, menghela napas. “Sorry, Grace. Itu reflek aja. Kan kita udah lama nggak ketemu Alex, terus saking excitednya, jadi lupa rencana awal.
Karin menambahkan, “Lagian Alex juga nggak keliatan terlalu peduli tuh. Dia kayaknya nggak terlalu merhatiin apa yang kita omongin.”
Grace memutar matanya, menyesap minuman dinginnya dengan kesal. “Justru itu! Kalau dia cuek, makin susah buat gue bikin dia lebih deket. Harusnya kita bisa lebih smooth, biar dia nggak langsung curiga kalau ini semua udah gue atur.”
Nicol tertawa kecil sambil memainkan sedotan di gelasnya. “Udahlah, Grace. Lo kan tetep bisa deketin dia pelan-pelan. Lagian, lo emang serius banget sama Alex?”
Grace menatap Nicol tajam. “Serius lah! Lo pikir gue mau buang-buang waktu buat orang yang nggak gue mau?”
Agnes yang sedari tadi diam akhirnya ikut bicara. “Kalau lo emang beneran mau Alex, lo harus lebih hati-hati, Grace. Jangan sampai keliatan terlalu ngatur. Cowok kayak dia biasanya nggak suka dikekang.”
Grace terdiam sejenak, pikirannya mulai memutar ulang kejadian tadi di restoran bersama Alex. Dia bisa merasakan betapa bosannya Alex, bahkan pria itu sampai sengaja merokok hanya untuk menghindari pembicaraan mereka.
“Gue tahu, makanya gue harus cari cara lain,” gumamnya pelan. Matanya menyipit penuh rencana. “Gue nggak bakal kalah sama cewek itu.”