Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.
Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.
Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENANTIAN CINTA HALAL
Bayu menatap langit biru yang perlahan memutih oleh cahaya matahari. Sesaat setelah mendapat restu dari Kiai Hasan dan Umi Fatimah, ia melangkah mantap menghampiri Aila yang duduk di bale bambu dekat taman kecil pondok pesantren. Aila tampak termenung, jemarinya meremas ujung kerudungnya yang lusuh. Wajahnya letih, tapi tatapannya tegar.
Bayu menarik napas. “Dek…”
Aila menoleh. “Iya, Mas?”
Bayu duduk perlahan di samping Aila, menjaga jarak. Suaranya lembut, tapi tegas.
“Aku udah bicara sama Abah dan Umi. InsyaAllah hari ini juga, kita keluar dari ndalem, kamu ikut Mas.”
Aila terdiam, menatap wajah Bayu penuh tanya. “Maksudnya… Mas Bayu mau bawa Aila, kerumah...?”
Ucapan Aila terhenti.
Bayu mengangguk pelan. “Iya.Mas putuskan bawa kamu ke rumah, Mas.”
Kening Aila berkerut. “Tapi, istri Mas Bayu, Mbak Zela…?” Aila menatap Bayu dengan wajah serius.
Bayu menghela nafas dalam.
“Mas, nggak mungkin biarin kamu ngontrak sendiri,” potong Bayu cepat. “Kamu sedang butuh ruang aman, dan aku tahu kamu nggak akan benar-benar pulih kalau tetap serumah dengan Abian.”
Aila menunduk. Ada getar di dadanya. “Tapi, gimana dengan Mbak Azela, bagaimana dengan perasaannya Mas...? dia kan sedang hamil tua. Aku...aku nggak enak…”
Bayu tersenyum tipis, menatap lurus ke depan. “Nggak ada yang nggak enak Dek. Justru karena itu. Azela juga nggak boleh sendiri. Aku sudah pertimbangkan semuanya. Kamu tinggal di lantai atas, Azela tetap di bawah. Rumah itu cukup besar. Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja. Untukmu, untuk Azela, untuk calon bayinya.”
Aila menggigit bibirnya. Matanya berkaca. Mas bayunya selalu memikirkan kebaikan Aila.
“Terima kasih… Tapi apa Mas yakin ini nggak bikin masalah baru...? Aku ini madunya, Mas...”
Bayu menoleh, menatap Aila dengan ketenangan yang tak biasa. Dalam hatinya, dia tahu. pernikahannya dengan Azela hanya nama di atas kertas, bukan dalam ikatan suci syar’i. Tapi ia tak ingin beban itu jatuh di pundak Aila. Tak ingin membuatnya merasa lebih bersalah.
“Satu-satunya masalah adalah kalau aku membiarkan kamu terluka dan tetap berada di tempat yang bikin kamu tertekan,” jawab Bayu. “Selama aku bisa melindungi, aku akan lakukan. Tanpa perlu kamu merasa jadi beban, dek.”
Aila mengangguk pelan. Air matanya menetes diam-diam.
Bayu menghela napas dan berdiri. “Aku siapin mobil. Kita pergi setelah dzuhur, ya.Nanti mas bantu kemasi pakaian dan barang-barang pentingmu.”
Aila menatap punggung Bayu yang menjauh, hatinya penuh perasaan campur aduk. Ia tahu, Bayu bukan hanya kakak, baginya. Ia adalah pelindung yang diam-diam selalu berkorban untuk Aila.
Siang itu, langit masih berwarna biru terang. Udara siang menyelimuti halaman ndalem yang biasanya hangat oleh canda dan sapaan. Tapi hari itu, suasana terasa berat. Seolah langit pun mengerti bahwa akan ada perpisahan yang menyisakan lara.
Aila berdiri di serambi ndalem dengan raut wajah menunduk, menggenggam jemarinya sendiri dengan erat. Di hadapan mereka berdiri Kiai Hasan dan Nyai Fatimah. Sementara di sisi lain, Abian dan istrinya turut menyaksikan, meski tanpa suara.
“Abah... Umi...” suara Bayu parau, suaranya sedikit bergetar saat menunduk hormat di hadapan kedua orang tuanya. “Mohon izin... Bayu membawa Dek Aila keluar dari ndalem. Bukan karena ingin menjauh dari panjenengan, tapi karena ini yang terbaik untuk ketenangan Aila... dan semua pihak. Maaf, Abah Yai... maaf Umi... Bayu sebagai anak mungkin belum bisa membahagiakan sepenuhnya, tapi izinkan kami membangun ketenangan kami... di luar.”
Kiai Hasan mengangguk pelan. “Ndak perlu minta maaf, Le. Kadang... rumah yang terbaik bukan hanya yang besar dan ramai, tapi yang bisa menentramkan hati penghuninya. Kalau itu keputusan kalian berdua... Abah ridho.”
Nyai Fatimah mengelus punggung Aila yang masih tertunduk. “Jaga diri, Nduk, jaga Mas Bayumu Umi titip Masmu. Jangan sungkan untuk kembali ke sini kapan pun kamu butuh. Umi tetap ibumu... dan ndalem ini tetap rumahmu.”
Aila tak mampu menahan air matanya. Ia mendekap tangan Uminya dengan penuh haru, mencium punggung tangan wanita yang selama ini telah menjadi ibu baginya.
“Maturnuwun, Umi... Abah... atas semua kasih sayangnya... Aila pamit, semoga Allah selalu menjaga panjenengan berdua.”
Lalu tanpa menoleh ke arah Abian dan istrinya yang berdiri membeku di sisi, Aila langsung melangkah masuk ke dalam mobil Bayu. Tak ada tatapan, tak ada sapa. Hanya angin yang melintas, membawa sisa rasa yang tak bisa diucapkan.
Kiai Hasan menepuk bahu Bayu pelan. “Jadilah imam yang sabar dan kuat. Kadang, cinta tumbuh bukan karena banyak kata... tapi karena ketulusan yang terus dijaga, Le”
Bayu membungkuk hormat terakhir kali. “Mohon doa restu, Bah, Mi...”
Kisi Hasan mengangkat satu tangan, sebagai simbol keridhoannya.
Mobil itu pun perlahan melaju, meninggalkan halaman ndalem, meninggalkan serpih kenangan dan luka yang belum selesai. Di dalam mobil, Aila menatap keluar jendela, sesekali mengusap air mata. Bayu menggenggam setir mobilnya, tidak berkata apa-apa, hanya menghadirkan tenang lewat tatapannya.
Karena bagi Bayu, selama ada Aila di sampingnya... ia siap menjadi rumah, meski tanpa atap dan dinding.
Suasana di dalam mobil begitu hening. Tak ada suara selain desau AC dan deru mesin. Aila duduk di samping Bayu dengan wajah menunduk, memeluk tasnya erat-erat di pangkuan, seolah menjadi pelindung terakhir dari badai yang baru saja ia lewati. Matanya sembab, pipinya masih sedikit basah oleh sisa air mata yang belum sempat ia hapus seluruhnya.
Bayu melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Tak enak melihat perempuan itu larut dalam duka yang tak kunjung reda.
“Mas minta Maaf, kalau suasananya masih begitu berat, untukmu,” ucap Bayu membuka percakapan dengan nada hati-hati. “Mas tahu, ini bukan pernikahan yang kau bayangkan, Dek.”
Aila tetap diam.
Bayu menarik napas pelan, lalu melanjutkan, “Tapi Mas jadi ingat, kisah zaman Rasulullah. Ada pernikahan yang terjadi bukan karena cinta, tapi karena taat... dan justru berujung pada berkah dan cinta yang tumbuh setelahnya.”
Aila menoleh perlahan, tatapannya kosong namun mulai mengendur.
“Pernikahan Zainab binti Jahsy dengan Zaid bin Haritsah,” lanjut Bayu. “Awalnya mereka juga tak saling mencintai. Tapi Rasulullah yang memerintahkan. Zainab tunduk. Walaupun akhirnya mereka berpisah, kisah itu mengajarkan tentang bagaimana cinta bukan selalu dasar pertama dari pernikahan, tapi ketaatan.”
Bayu melirik Aila sekali lagi. “Aku bukan Rasulullah, dan aku juga bukan siapa-siapa. Tapi aku hanya ingin bilang… kamu tiak sendirian dalam perasaan ini, Aila”
Aila menatap lurus ke depan, bibirnya mulai bergerak pelan, “Aku... nggak marah sama keadaan ini, Mas. Aku cuma butuh waktu.”
Bayu mengangguk pelan. “Mas ngerti. Kita nggak harus buru-buru. Nggak ada yang maksa kamu buat jatuh cinta, atau pura-pura bahagia. Aku cuma ingin kamu nyaman, itu aja.”
Aila terdiam lagi, tapi kini bahunya tak lagi sekeras tadi. Pandangannya mulai terbuka ke arah luar jendela.
“Kalau kamu capek, bilang. Kalau kamu butuh ruang, aku siap jaga jarak. Tapi jangan pendam semuanya sendiri, Aila. Karena sekarang, kamu nggak sendiri lagi, ada Mas, suamimu.”
Aila menutup matanya sejenak. Ada sesuatu yang pelan-pelan merambat di dadanya. Mungkin bukan cinta, tapi sebuah rasa tenang yang belum pernah ia rasakan selama beberapa tahun terakhir, selama Aila dekat dengan Abian.
“Terima kasih, Mas Bayu…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Mobil pun melaju menembus lengang siang hari, membawa dua hati yang masih belajar menerima.