Kata orang, beda antara cinta dan benci itu sangat tipis. Kita bisa begitu mencintai dan sangat mudah berubah menjadi benci, begitu pula sebaliknya.
Begitupun kisah Cinta Arjuna, dimana benci mengalahkan logika. Namun, berubah menjadi cinta yang tidak terkira dan sangat pas rasanya disebut budak Cinta.
Zealia Cinta yang harus menderita dengan mengorbankan hidupnya menikah dengan Gavin Mahendra agar perusahaan yang dirintis oleh Omar Hasan (ayahnya) tetap stabil. Hidupnya semakin kacau saat dia menggugat cerai Gavin dan menjadi kandidat pengganti CEO di perusahaan tempatnya bekerja.
Arjuna Kamil, putra pemilik perusahaan menuduh Zea ada main dengan Papanya. Berusaha mendekati Zea untuk membuktikan dugaannya.
Siapa dan bagaimana rasa benci dan cinta mereka akhirnya berbalik arah? Simak terus kelanjutan kisah Zea, Arjuna dan Gavin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tapi Kamu
“Kamu nggak kecewa atau marah atau cemburu karena aku akan dijodohkan?” tanya Mauren.
“Tidak,” jawab Arjuna yang sedang fokus pada ponsel. Berkali-kali menulis pesan untuk Zea tapi kemudian dihapus, terus saja begitu tanpa ada keberanian mengirimkannya. Arjuna percaya jika Zea acuh padanya karena cemburu. Bermaksud membiarkan lebih lama untuk membuktikan kebenaran perasaan Zea.
“Arjuna,” rengek Mauren sambil menggoyangkan lengan Arjuna.
“Apaan sih? Lepasin, gue mau balik,” ujar Arjuna lalu menghempaskan tangan Mauren.
“Arjuna, aku gimana?”
Arjuna tidak peduli dengan teriakan Mauren, memilih pulang daripada ditempeli dengan wanita itu. Padahal Arjuna menunggu Leo berbicara dengan Papinya, menurutnya hal itu bisa ditanyakan nanti melalui telepon dari pada dia harus diganggu dirayu oleh Mauren.
Tidak bisa membayangkan bagaimana nasib pria yang akan menikah dengan Mauren. Pernah dekat dengan Mauren tapi menjalin cinta dan Arjuna tahu bagaimana kelakuan Mauren dan kehidupan malam perempuan itu.
...***...
Huft
Zea menyandarkan punggungnya pada sofa, meraba pipi yang tadi mendapatkan tamparan dari perempuan yang menjadi pendamping Ayahnya. Sebagai seorang anak yang harus berbakti pada orangtua, Zea sebenarnya sudah lakukan apa yang harus dikorbankan untuk Ayah dan Ibu tirinya.
Merestui kedua saat mengatakan akan menikah, walaupun kematian Ibunya belum genap dua bulan. Rela diabaikan dan tidak diperioritaskan saat kedua adiknya lahir kedunia. Bahkan merelakan kebahagiaan dan hidupnya saat menerima Gavin sebagai suaminya.
Dia juga ingin menemani sang Ayah di rumah sakit tapi penolakan dan pengusiran yang dia dapatkan membuatnya harus mundur dan mengalah demi kenyamanan pengobatan Omar.
“Besok, aku akan datang lagi. Semoga saja, wanita itu sudah lebih waras dan tidak mengamuk seperti tadi,” gumam Zea.
Beranjak dari sofa lalu meraih koper dan membawanya ke kamar. Memutuskan untuk beristirahat agar besok lebih kuat menghadapi kenyataan hidup.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan piyama, Zea berada di depan meja rias. Mengoleskan cairan dari salah satu tube produk kecantikan lalu menepuk nepuk wajahnya.
Teringat interaksi antara Arjuna dan Mery saat masih di hotel dan di pesawat. Penasaran dengan keberadaan keduanya saat ini, apakah masih bersama atau sudah kembali ke habitat masing-masing.
Zea berjalan menuju ranjang dan merebahkan diri di atasnya. Mencoba memejamkan mata, tidak lama kemudian kembali membuka mata dan beranjak duduk.
Mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Mengetik pesan yang akan dikirimkan pada Arjuna kemudian dihapus sebelum dia kirimkan.
“Ah, terserah dia mau ngapain. Apa urusannya denganku,” ujar Zea lalu meletakan kembali ponselnya dan menarik selimut menutupi tubuhnya.
Esok Pagi.
Zea sudah tiba di kantor, hari ini dia sudah bisa mengemudikan mobilnya sendiri walaupun masih merasakan ngilu dengan jari tangannya. Terbiasa berangkat lebih awal, bahkan saat tiba di lantai dimana ruangannya berada tampak belum ramai dengan kedatangan rekan kerjanya.
“Pagi, Ibu Zea. Wah rajin benar toh, padahal habis dinas luar. Kalau yang lain pasti ambil cuti atau datang siang deh,” sapa Ucup.
“Bagi juga Mas Ucup, kangen deh sama sapaannya. Berapa hari di luar, nggak ada yang sapa aku kalau pagi begini,” ujar Zea.
“Walah, saya harus bangga atau gimana nih. Ibu bisa saja toh, bikin saya jadi semangat kerja sampai tahun depan.” Zea terkekeh karena interaksi Ucup dengannya.
“Mulai besok saya deh yang sapa Ibu.”
Ucup dan Zea menoleh. Ada Arjuna yang berjalan mendekat, sempat menduga kalau pria itu akan datang terlambat ternyata Zea salah karena Arjuna bisa datang lebih awal.
“Ah kamu, jangan ya bu Zea. Juna hanya modus, kemana-mana banyak penggemarnya.”
Zea hanya tersenyum kemudian menuju ruang kerjanya. Mendengar pembicaraan Ucup dan Arjuna yang mana Ucup mengeluh karena Arjuna yang ditugaskan dinas luar bukan dirinya.
“Berisik, gue ada perlu dulu dengan Ibu Zea,” ujar Arjuna.
“Sampean mau ngapain, jangan buat mood Ibu Zea hancur karena diganggu kamu. Dia udah sapa aku barusan, rasanya … nyes banget disini,” ungkap Ucup sambil memegang dadanya.
“Lebay, gue yang udah pernah nyip*k dia aja nggak heboh,” gumam Arjuna sambil berjalan menuju ruangan Zea.
“Bu Zea,” panggil Arjuna.
“Kamu tahu sopan santun ‘kan? Biasakan ketuk pintu dulu,” tegur Zea tanpa menatap Arjuna
Arjuna berdecak dan duduk di depan meja Zea. “Kenapa sih?” tanyanya.
Zea pun menolehkan wajahnya, “Kenapa, gimana?”
“Kayaknya dari kemarin kamu aneh. Judes dan ….”
“Loh, bukannya dari awal memang mode saya memang begini.”
“Nggak, sebelumnya kamu tuh bikin gemes sekarang bikin lemes,” lirih Arjuna.
“Dasar omes, keluar kamu. Aku mau kerja.” Zea mengusir Arjuna, dia khawatir keteguhan sikapnya runtuh, karena Arjuna memang pandai merayu dan kalimat biasa yang diucapkan bisa membuat hati lawan bicaranya merasakan berbagai emosi.
“Ini juga saya lagi kerja. Arahan Pak Leo, tugas saya mendampingi Ibu Zea dan saya sedang melaksanakan tugas tersebut.”
“Itu tugas kemarin saat kita masih ada di Bali, sekarang aku nggak perlu didampingi. Lebih baik kamu ke lantai enam temui Mery. Dia perlu didampingi kamu tuh,” goda Zea.
“Owh iya bener, aku belum menghubungi Mery,” ujar Arjuna lalu mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan.
“Eh, jangan di sini. Sana di ujung berung atau diujung tanduk sekalian,”pekik Zea.
“Yaelah marah segala, bilang aja cemburu.”
“Hah, cemburu? Maksud kamu aku cemburu sama Mery?” tanya Zea.
“Iya kali, masa sama Ucup.”
“Keluar, Ucup memang benar kalau kamu hanya buat mood aku berantakan,” sentak Zea.
Arjuna terkekeh lalu menghampiri Zea, menggeser kursi yang Zea duduki menghadap ke arahnya kemudian meletakan tangan di pegangan kursi seakan dirinya sedang mengungkung tubuh Zea.
“Ju-juna, kamu ….”
“Sttt, diam.” Zea menahan nafasnya karena wajah Arjuna semakin dekat dengan wajahnya bahkan hembusan nafas Arjuna terasa hangat di pipi Arjuna.
Cup.
Arjuna mencium sekilas bibir Zea, “Bernafaslah!” titah Arjuna sambil mengacak rambut Zea lalu menegakkan tubuhnya.
“Kerja yang benar, nggak usah mikirin Mery. Aku nggak ada apa-apapun dengan dia, Cuma iseng aja bikin kamu kesal. Nanti siang makan bareng aku, ingat bareng aku.” Arjuna kemudian berlalu meninggalkan Zea.
“Hahh,” Zea membuang nafasnya. “Dasar Juna, apa maksudnya bikin aku begin pakai macam-ancam segala.” Zea masih memegang dadanya yang berdebar karena ulah Arjuna.
“Jadi kemarin dia sengaja seakan dekat Mery hanya untuk buat aku kesal. Maksudnya apa? Nggak mungkin dia suka sama aku ‘kan?” gumam Zea.
Sedangkan Arjuna saat ini sudah berada di lift akan menemui Leo. Semalam dia tidak sempat menghubungi pria itu karena ketiduran.
“Bisa ketuk pintu dulu ‘kan?”
Lagi-lagi Arjuna bersikap tidak sopan dengan langsung masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu. Tidak kepada Zea saja bahkan kepada Leo pun sama.
“Gimana kondisi Papi?”
Leo berdecak. “Seharusnya semalam kamu ikut masuk bukan malah kabur. Ada keluarga Mahendra menjenguk Papi kamu sekalian membicarakan pernikahan.”
“Papi mau menikah?” tanya Arjuna.
“Bukan Pak Abraham yang mau menikah, tapi kamu.”
“Hahhh.”
kpn kira2 zea bisa bahagia thor...
angel wes..angel..
piye jun....
bersambung....